HIDUPKATOLIK.com – Dalam upacara perkawinan, saya mengamati ada perbedaan antara Romo yang satu dengan yang lain. Misal ada yang melakukan upacara sungkem sebelum janji nikah, tapi ada yang sesudah janji nikah. Menurut aturan liturgis, mana yang seharusnya?
Pasutri Yakobus Setio-Rina, Malang
Pertama, Gereja telah menerbitkan buku Tata Perayaan Perkawinan (TPP) yang memberikan panduan upacara perkawinan Katolik. Buku ini disusun berdasarkan Ordo Celebrandi Matrimonium (OCM), editio typica altera (1991) sekaligus sebagai revisi atas buku Upacara Perkawinan (UP) yang dibuat PWI-Liturgi, 1976. Buku ini juga sudah mendapatkan persetujuan (approbatio) dari Sidang KWI pada 12 November 2010 dan ditetapkan untuk masa ad experimentum selama lima tahun.
Kedua, ritus mohon restu atau sungkem tak ada dalam Ordo Celebrandi Matrimonium dan ditambahkan pada TPP untuk mengakomodasi kebiasaan yang berasal budaya Timur. Karena itu ritus mohon restu juga bisa ditiadakan.
Jika dilakukan, ritus mohon restu bisa ditempatkan sebelum atau sesudah upacara perkawinan (TPP no. 157). Jika ditempatkan sebelum upacara perkawinan, ritus mohon restu bermakna sebagai permohonan kedua calon mempelai untuk melangsungkan pernikahan. Keberatan yang bisa muncul ialah apakah calon menantu perlu minta restu kepada calon mertua untuk menikah? Apakah tidak lebih tepat jika masing-masing mempelai mohon restu kepada orangtua sendiri? Dan jika demikian, apakah mohon restu untuk menikah tidak akan lebih baik dilakukan di rumah saja?
Keberatan lain, bahwa seringkali ritus mohon restu membawa suasana haru sehingga kedua mempelai menangis. Akibatnya, acara janji nikah menjadi terhambat suasana haru itu, sehingga mempelai terbata-bata mengucapkan janji nikah atau bahkan sama sekali tak bisa mengucapkan.
Maka baik jika upacara mohon restu diletakkan sesudah janji nikah. Jika demikian, ritus mohon restu dimaknai sebagai permohonan kedua mempelai yang telah disatukan sebagai suami istri untuk awal dan perjalananan sebagai satu keluarga. Wajar jika sebagai suami istri mereka mohon restu, baik kepada orangtua maupun mertua.
Karena pertimbangan ini, sebaiknya ritus mohon restu dilakukan sesudah upacara pernikahan, yaitu sebagai restu untuk perjalanan keluarga baru mereka. Sedangkan permohonan restu untuk menikah dilakukan pada malam midodareni atau secara informal di rumah sebelum berangkat ke gereja.
Ketiga, inti Sakramen Perkawinan terletak pada kesepakatan perkawinan yang diungkapkan dalam tindakan timbal-balik saling menukar janji nikah. Makna saling menerimakan Sakramen Perkawinan lebih nampak dalam sikap berjabatan tangan. Sikap ini mengungkapkan makna kehendak untuk saling mencintai dan kesediaan saling memberikan diri. Di lain pihak, sikap meletakkan telapak tangan bersama di atas Kitab Suci kurang mencerminkan tindakan timbal-balik ini, seperti orang bersumpah dalam upacara kenegaraan atau pemerintahan, kurang mencerminkan tindakan timbal-balik. Tindakan timbal-balik saling menukarkan janji nikah juga lebih tepat diungkapkan dengan cara saling mengucapkan janji masing-masing daripada dengan bentuk tanya jawab.
Keempat, pernikahan adalah sesuatu yang suci, terlebih Sakramen Perkawinan. Maka lebih tepat jika pelaksanaan saling menukar janji nikah dilakukan di panti imam, meskipun tempat duduk mempelai tetap diletakkan pada panti umat. Jadi, sesudah penyelidikan kanonik, imam bisa mengundang kedua mempelai untuk naik ke panti imam dan saling menukarkan janji nikah di panti imam. Doa bagi mempelai juga bisa diletakkan langsung sesudah janji nikah dan dilakukan di panti imam. TPP tidak mengatur hal ini. Pelaksanaan upacara di panti imam juga akan mempermudah dokumentasi..
Dr Petrus Maria Handoko CM
HIDUP NO.08 2014, 23 Februari 2014