HIDUPKATOLIK.com – Bencana sering terjadi di sekitar kita, mungkin juga pernah kita alami sendiri. Bentuknya ada berbagai macam, seperti gempa bumi, banjir, kebakaran, kekeringan, sakit berat, atau patah hati ditinggal kekasih. Dari mana semua kemalangan itu berasal? Perjanjian Lama punya jawabannya: dari Tuhan. Tuhanlah yang mengirim air bah, sehingga bumi tenggelam pada zaman Nuh (Kej 7:1-24). Tuhan pula yang membuat Miryam kena kusta (Bil 12:10), mendatangkan kekeringan di Israel (1Raj 17:1), serta menghancurkan dua kerajaan yang adalah umat-Nya sendiri (2Raj 17:7-23; 25:1-21). Sasaran Tuhan adalah orang berdosa, sebab semua bencana itu dimaksudkan sebagai hukuman bagi mereka.
Namun, yang hidupnya penuh masalah bukan hanya orang berdosa. Kemalangan juga mewarnai hidup orang benar. Hal ini sangat mengganggu, sebab dalam Perjanjian Lama umumnya diyakini bahwa orang benar pasti akan diberkati Tuhan, sementara orang jahat pasti akan dihukum oleh-Nya. Pergulatan yang panjang akhirnya membuahkan gagasan bahwa penderitaan orang benar bukan hukuman, melainkan pencobaan atau ujian dari-Nya. Gagasan ini dapat kita lihat dalam kisah Abraham (Kej 22:1-19) dan Ayub (Ayb 1:1 – 2:13). Kitab Kebijaksanaan Salomo menyatakan bahwa Tuhan menyiksa orang benar dalam rangka menguji dan memurnikan iman mereka (Keb 3:5-6).
Meskipun sangat populer, gagasan tersebut sekarang dipertanyakan. Bagaimana mungkin kita beriman kepada Tuhan yang menewaskan hampir seluruh umat manusia dengan air bah? Bagaimana mungkin Tuhan tega membunuh sepuluh anak Ayub .
Untuk menjawab kegelisahan ini, marilah kita membuka lembaran-lembaran Perjanjian Baru. Kehadiran Yesus mendatangkan pencerahan, sebab kepada kita, Ia memperkenalkan Tuhan sebagai Bapa yang penuh kasih. Sebagai Bapa, Tuhan tidak suka menghukum anak-anak-Nya. Ia suka mengampuni. Orang sakit juga dikasihi Bapa. Ia berkenan menganugerahkan kesembuhan (Luk 4:38-41). Karena itu, ungkapan “Tuhan menguji saya dengan penyakit” atau “Tuhan mengizinkan saya kena penyakit” atau “Tuhan memberi saya penyakit” sekilas terdengar saleh, tetapi sebenarnya sungguh tidak tepat. Tuhan bukan sumber penyakit!
Selaras dengan ajaran Sang Guru, berikut ini adalah pandangan Gereja Katolik mengenai hubungan antara Tuhan dan pengalaman-pengalaman hidup manusia. Pandangan inilah yang kiranya mendasari usul Paus Fransiskus untuk merevisi salah satu kalimat dalam doa Bapa Kami, dari “janganlah masukkan kami ke dalam pencobaan” menjadi “jangan biarkan kami jatuh ke dalam pencobaan”. Gereja menegaskan bahwa Tuhan itu mahakuasa, sekaligus mahabaik. Karena mahakuasa, Ia tidak perlu mencobai manusia, sebab segala sesuatu tentang kita diketahui oleh-Nya secara mendalam sampai sedetail-detailnya. Selain itu, Tuhan tidak mencobai kita karena Dia itu mahabaik. Penderitaan membuat manusia bersedih dan terluka. Ini bertentangan dengan kehendak Bapa yang ingin agar kita bahagia.
Penderitaan yang kita alami merupakan konsekuensi kehidupan. Sejauh hidup di dunia ini, kita akan mengalami peristiwa demi peristiwa, baik yang membahagiakan maupun yang menyedihkan. Di sinilah peranan Tuhan dapat kita rasakan secara nyata. Ia hadir untuk mendukung, meneguhkan, menghibur, melindungi, dan menyelamatkan kita.
Lalu, mengapa dalam Perjanjian Lama, Tuhan dikatakan mencobai dan menguji manusia? Jawabannya adalah karena demikianlah pandangan orang pada saat itu. Menekankan kemahakuasaan Tuhan, dahulu segala sesuatu dikembalikan kepada-Nya. Hal-hal yang menakutkan dan tidak dimengerti oleh manusia juga dipandang berasal dari-Nya.
Sudah saatnya pandangan tersebut kita tinggalkan. Belajar dari kesaksian para leluhur dalam Perjanjian Lama, Perjanjian Baru memperkenalkan Tuhan sebagai sosok yang penuh kasih. Demikianlah, seiring dengan perjalanan waktu, kita diajak untuk semakin dalam mengenal Dia. Pengenalan akan Tuhan adalah proses yang mesti berlangsung terus-menerus.
Jarot Hadianto
HIDUP NO.42 2018, 21 Oktober 2018