HIDUPKATOLIK.com – Pengalaman kehilangan silih berganti mewarnai hidupnya. Namun dari berbagai kejadian pilu itu ia belajar soal keikhlasan.
Benak Clara Armita Budiyanti masih merekam jelas peristiwa mencekam pada Minggu akhir Juli lalu. Sekitar pukul 07.00 WITA, Tita –sapaan ibu dua putra ini– melihat lampu-lampu gantung, kaca-kaca, dan perobatan rumahnya bergoyang. Tak lama berselang, bumi tempatnya berpijak terasa bergetar.
Tita buru-buru mengajak suami dan kedua buah hatinya keluar dari rumah mereka di Mataram, Nusa Tenggara Barat. Liukan perut bumi itu juga membuat para warga di sekitar kediamannya menghambur dari dalam rumah mereka masing-masing. Beruntung tak ada gempa susulan saat itu. Warga kembali beraktifitas. Tita dan keluarganya pergi ke gereja untuk Misa.
Seminggu berselang, pukul 19.46 waktu setempat, Lombok kembali digoyang gempa. Getaran kali ini, terang Tita, sangat kuat dan berlangsung lebih lama dibanding gempa pertama. Seluruh lampu penerangan di Lombok padam. Jerit dan tangis warga terdengar dari berbagai arah. “Di antara ribuan takbir, saya tak henti menyebut nama Tuhan Yesus,” ujar Kepala Subbagian Publikasi dan Dokumentasi di Sekretariat Daerah Kota Mataram itu.
Gempa Lagi
Saat gempa Tita sedang mempersiapkan perlombaan untuk organisasi massa Wanita Katolik Republik Indonesia wilayah Ampenan, Dekanat Nusa Tenggara Barat, Keuskupan Denpasar. Begitu tanah bergoyang, tanpa pikir panjang, Tita bergegas pulang ke rumah. “Saya mencemaskan anak-anak. Ternyata suami dan anak-anak sudah menunggu saya,” ujar Sarjana Komunikasi Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Yogyakarta ini.
Tita bersama keluarga keluarga mencari tempat aman. Sebab ada kabar yang beredar gempa barusan berpotensi menjadi tsunami. Sepanjang perjalanan, dari balik kaca mobil, Tita melihat penduduk berlarian atau melangkah terburu-buru. Syukur, tsunami tak menyapu wilayah itu.
Nyaris tak ada warga yang berani masuk apalagi beristirahat di dalam rumah. Demikian pula Tita dan keluarganya. Mereka dan warga tidur beratapkan langit. Malam itu menjadi pengalaman perdana Tita bersama keluarganya “berkemah” untuk waktu yang lama.
Jalanan di Kota Mataram lenggang. Hampir tak ada aktivitas di kantor, pasar, dan sekolah sehari setelah gempa kedua terjadi. Pusat gempa yang berada di Lombok Utara dengan kekuatan M 6,9 membuat bangunan di Kabupaten Lombok Utara hampir rata dengan tanah.
Kendati merasakan dan mengalami langsung bencana alam, Tita bersama beberapa temannya mendirikan sejumlah posko bantuan di Kota Mataram. Ia mencari terpal dan tenda untuk bernaung bagi para korban bencana alam. Padahal, mereka juga warga terdampak gempa yang sama.
Gempa kembali mengguncang Lombok pada Kamis 9 Agustus 2018. Goncangan kali ini berkekuatan M 5,9, berpusat di darat, dan berjarak semakin dekat dengan Kota Mataram. Banyak rumah dan gedung sekolah hancur. Karena terjadi berulang kali banyak warga yang trauma dan ketakutan.
Akibatnya tenda-tenda para pengungsi semakin banyak berdiri di tanah-tanah lapang dan jalan-jalan perumahan. Aktifitas umum seperti perkantoran dan pelayanan kesehatan berlangsung di luar bangunan atau gedung. Tita bersama teman-temannya kian berjibaku mencari terpal dan tenda bagi banyak pengungsi.
Kuatkan Saya
Tita lahir dan tumbuh dalam keluarga bukan Katolik. Penggemar masakan rendang ini mulai mengenal iman Katolik dari sang kekasih, Agustinus Herry Soebagio, yang kini menjadi suaminya. Ia menerima Sakramen Baptis tahun 1998. Sejak saat itu, ia aktif dalam kegiatan menggereja.
Bunda Maria menjadi teladan iman dan keutamaan hidup Tita, terlebih ketika menghadapi ujian hidup, seperti saat dokter memvonis dirinya menderita kanker payudara. Sel-sel kanker memaksa ibunda Ignatius Dandy Alviyando H. dan Alexander Kevin Leonidas ini kehilangan payudaranya. Setelah operasi pengangkatan payudara, ia masih menjalani enam kali kemoterapi.
Tak hanya itu, Tita juga harus mengikhlaskan kedua indung telurnya diangkat demi menghindari penyebaran sel penyakit mematikan itu. Saat ini, pengagum St Teresa dari Kalkuta itu harus mengkonsumsi obat secara rutin selama lima hingga sepuluh tahun untuk menangkal ancaman kanker.
Di luar penanganan medis, anggota Persatuan Wanita Olahraga Seluruh Indonesia (Perwosi) Kota Mataram ini juga getol menjaga pola hidup sehat.” Saya menjaga asupan makanan. Saya berusaha tidak membeli makanan di pinggir jalan, memperbanyak makan buah-buahan, tidak lagi mengkonsumsi makanan atau minuman yang mengandung pengawet, dan menghindari asap rokok,” ujar wanita yang dikenal supel dan ramah ini.
Kehilangan demi kehilangan silih berganti singgah dalam hidup wanita yang selalu terlihat ceria ini. Di tengah kesedihan kehilangan payudara, indung telur, serta gempuran gempa di wilayahnya, Tita mendapat kabar ibundanya di Bogor berpulang. Dalam doa disertai isak tangis, perempuan kelahiran Jakarta, 26 Februari 1977 bertelut dan mengajukan satu pinta kepada Sang Khalik: “Tuhan, kuatkan saya.”
Kejadian demi kejadian yang dialami menyadarkan dirinya bahwa semua yang ia miliki adalah kepunyaan Tuhan. Keyakinan itulah yang membantunya untuk memahami arti keikhlasan. “Saat saya mengikhlaskan segala sesuatu, saat itu pula Tuhan menggantinya dengan perasaan sukacita. Ajaibnya, pada saat saya merasakan tak ada lagi cara yang bisa ditempuh, selalu saja datang pertolongan. Saya yakin itu karena Tuhan yang menolong saya dengan cara-Nya dan pada waktu-Nya,” ujar anggota Forum Peduli ASI Kota Mataram ini.
Bagi Tita, Tuhan membiarkan dirinya menangis terlebih dulu agar ia dapat merasakan kelegaan. Atau Tuhan menginginkan dirinya mengalami situasi terpuruk agar sungguh merasakan sukacita kebangkitan kelak.
Melangkah, Kembali
Meski kehilangan orang yang dicintai serta suatu yang berharga dalam hidupnya sebagai seorang perempuan, Tita mengikhlaskan semua itu. Pada akhirnya, menurut anggota Persekutuan Doa Pembaruan Karismatik Katolik St Arnolud Janssen Mataram itu, semua yang hidup dan melekat di manusia akan kembali kepada Sang Pemilik kehidupan.
Sikap satu-satunya yang harus dimiliki oleh manusia adalah mengikhlaskan semua kepada-Nya bila saat itu tiba. Itulah yang menjadi kekuatannya meski yang ia cintai dan berharga raib dari dirinya. “Bersama Tuhan, saya melangkah. Dan kepada Tuhan pula kelak saya akan kembali,” ujar umat Paroki St Maria Immaculata Mataram itu.
Ivonne Suryanto
HIDUP NO.42 2018, 21 Oktober 2018