HIDUPKATOLIK.com – Gereja tidak tinggal diam terhadap kasus kekerasan seksual yang terjadi. Agar tidak berulang, buku acuan penyusunan pedoman perlindungan terhadap kelompok rentan akhirnya dikeluarkan.
Badan Kerjasama Bina Lanjut Imam Indonesia (BKBLII) telah menyusun buku Pelayanan Profesional Gereja Katolik dan Penyalahgunaan Wewenang Jabatan sebagai respons atas kasus penyelewengan jabatan yang dilakukan oleh kaum klerus. Berikut petikan wawancara dengan Pastor Kristanto melalui aplikasi Whatsapp, Jumat, pekan lalu.
Di bagian awal buku disebutkan bahwa buku tersebut merupakan tanggapan atas Surat Kongregasi Ajaran Iman dan seruan Paus Fransiskus terkait kasus yang dilakukan oleh “kaum berjubah” serta penanganan bagi para penyintas kekerasan seksual. Apakah sebelumnya BKBLII pernah mengeluarkan buku hampir serupa? Apakah keuskupan dan tarekat juga memiliki buku pedoman pelayanan masing-masing termasuk menangani persoalan tersebut dan pendampingan bagi korban?
Kalau buku, setahu saya belum ada. Namun protokol yang ada di halaman 100 sekian itulah yang dihasilkan. Nampaknya, ini pandangan pribadi: para uskup Indonesia belum melihat bahwa persoalan di Barat dan Amerika banyak terjadi di Indonesia. Justru persoalan yang perlu diperhatikan adalah masalah yang berkaitan dengan orang muda serta ibu-ibu. Untuk ini pun Indonesia belum mempunyai datanya.
Dalam dua seminar yang diadakan oleh BKBLII dan MASI, kami mencoba mengumpulkan data. Namun, belum bisa untuk memotret keadaan atau wajah Indonesia seutuhnya. Seminar tersebut ditujukan kepada para uskup seluruh Indonesia dan provinsial tarekat hidup bakti dan diadakan di La Verna, Lampung dan Rumah Khalwat Tegaljaya Denpasar, Bali. Sayangnya, tanggapan para uskup belum maksimal. Semoga saja bisa masuk agenda yang perlu diperhatikan pada Sidang Sinodal KWI di Bandung bulan November mendatang.
Tarekat Serikat Yesus (SJ) sudah pernah punya protokol penanganan yang saat ini sedang atau sudah diperbarui.
Butuh waktu yang tak sebentar bagi BKBLII menyusun buku ini. Butuh enam tahun untuk merampungkan buku ini sejak surat dari Kongregasi Ajaran Iman keluar pada 2012 dan pernyataan Paus Fransiskus terkait kasus di atas. Mengapa begitu lama buku ini terbit? Bisakah dijelaskan secara detail proses dari awal hingga akhirnya buku ini terbit? Siapa saja yang terlibat dalam proses tersebut ?
Saya resmi menjadi Sekretaris Komisi Seminari (Komsem) Komisi Waligereja Indonesia (KWI) pada 15 Agustus 2017. Sebagai Sekretaris Komsem, saya juga menjabat sebagai Sekretaris BKBLII. Saat menata dan melihat buku-buku Komsem di kantor, saya melihat bahan-bahan untuk buku itu. Lalu saya menanyakan ke Ketua MASI, Pastor Petrus Sunu Hardiyanto SJ (Provinsial SJ) tentang bahan-bahan tersebut.
Lalu tim BKBLII saat itu, Mgr. Aloysius Sudarso SCJ sebagai ketua, Pastor Sunu sebagai Ketua MASI, dan saya, bertemu di kantor Komsem memperbincangkan bakal buku tersebut. Ada satu surat dari Paus Fransiskus yang masih harus diterjemahkan. Kemudian, kami membentuk tim ahli yang terdiri dari 15 orang: Uskup Palembang, Mgr. Aloysius Sudarso SCJ; Provinsial SJ, Pastor Sunu Hardiyanta SJ; Provinsial SSCC, Pastor Bonnie Payong SSCC; Provinsial CDD, Pastor Yuki Hartandi CDD; Minister Cap Sibolga, Pastor Yoseph Sinaga OFMCap; JPIC Capusin Medan, Pastor Hilarius Kemit OFMCap; formator, Sr. M. Marianne FSGM, Sr. Luciana RGS, Pastor Eko Sulistyo SJ, dan Pastor Fransiskus Yam Rewav MSF; psikolog, Pastor Sunardi SCJ dan Sr. Dorothe PI; hukum, Sr. Matilda PI; pastoral keluarga, Pastor Lusius Nimu, SSCC; Sekretaris Komsem, Pastor J. Kristanto; Komkat KAS, Pastor Ernest Justin SJ, Notulis Komsem KWI, Joko Hermawan. Kami menambahkan delapan modul gender, dan beberapa artikel yang ada di belakangnya.
Apakah setiap imam, biarawan, dan biarawati di setiap keuskupan dan tarekat diwajibkan untuk memiliki buku ini? Apakah nantinya BKBLII terlibat dalam mensosialisasikan isi buku ini atau dipercayakan kepada pimpinan keuskupan dan tarekat untuk mensosialisasikan isi buku tersebut kepada anggotanya masing-masing?
Sosialisasi buku paling mujarab adalah melalui para pimpinan keuskupan dan tarekat. Kami berencana mengadakan seminar yang ketiga pada 5-7 Februari 2019 di Tegaljaya karena masih banyak pemimpin yang belum mengirimkan atau belum kebagian tanggal seminar. Nyatanya dengan promosi via grup Whatsapp Unio, MASI, MABRI, IBSI dll, beberapa keuskupan sudah melakukan bedah buku dan mempelajari isi buku tersebut. Contohnya Keuskupan Tanjungkarang.
Dalam rapat para rektor seminari se-Indonesia (Seminari Menengah, TOR, dan Seminari Tinggi) di PPSM Muntilan 23 – 27 Juli 2018 lalu, buku ini dibagikan dan saya juga memberi pengantar di sana. Selain itu, peserta Kursus Formator Komsem KWI (1 Juli – 17 Des 2018) juga sudah mempelajari buku tersebut beserta kasus-kasusnya bersama Pastor Yam Rewav MSF (anggota TIM). Forum rektor ST di Yogyakarta juga telah membicarakannya. Hasil rapat Konferensi Pimpinan Antar-Tarekat Religius Indonesia 2017 lalu menugaskan MASI untuk bekerjasama dengan BKBLII untuk menyusun buku tersebut.
Apakah BKBLII mengetahui sejauh mana buku tersebut terdistribusi dan tersosialisasi di keuskupan-keuskupan dan tarekat-tarekat hingga saat ini?
Saya hanya mengetahui pemesanan yang dilakukan lewat Komisi Seminari. Adapun buku yang sudah dibeli lewat saya sudah lebih dari 700 buku. Saya juga menganjurkan untuk membeli langsung ke Penerbit Kanisius di Yogyakarta. Namun, saya belum menerima laporannya karena laporan penjualan dikeluarkan enam bulan sekali.
Para imam Keuskupan Agung Semarang dalam grup Whatsapp juga menanyakan, “Buku itu dibeli di mana?” Romo Santo-lah, yang sebelumnya adalah sekretaris Komisi Kepemudaan KWI, yang memuncul kannya di grup KAS.
Buku ini juga disosialisasikan melalui seminar-seminar. Seminar yang paling ramai dan hidup adalah seminar yang diadakan di Tegaljaya, 18-20 September 2018 lalu. Para uskup dan provinsial yang hadir merasakan manfaatnya dengan sangat baik. Kelompok ini sangat aktif, semangat, dan hidup.
Paguyuban Gembala Utama yang merupakan kumpulan para eks seminaris adalah mitra Komsem KWI dalam bidang pengembangan soft skill. Mereka juga akan membantu mensosialisasikannya di seminari-seminari melalui seminar-seminar.
Di halaman 129 poin nomor 33 dituliskan bahwa ada petugas sebagai fasilitator yang bersifat profesional dan di bawah pengawasan uskup diosesan atau pimpinan tarekat. Bagaimana upaya menjamin petugas tersebut menjalankan tugasnya secara profesional dan independen? Seandainya yang “tersandung” kasus itu justru uskup atau pimpinan tarekat bagaimana solusinya?
Kami bebas dan independen dalam kebersamaan. Bila saya yang tersandung, uskup saya dari Keuskupan Agung Semarang, Mgr Ruby, yang akan menjatuhkan sanksi. Tentu ini akan mempengaruhi tugas saya sebagai Sekretaris Komsem KWI. Nanti berurusan dengan ketua dan presidium KWI. Kalau yang tersandung uskup jangan tanya saya, hehe. Saya hanya imam biasa. Coba tanyakan ke Ketua BKBLII, Mgr. Aloysius Sudarso SCJ.
Apakah pedoman-pedoman dalam buku ini sifatnya sudah final? Adakah kemungkinan direvisi?
Buku tersebut berisi tiga undangundang yang ada di Indonesia. Bila UU tersebut diubah, maka kita juga akan merevisi buku ini. Sedangkan modul-modul yang ada adalah hasil terjemahan sehingga masih memungkinkan bila ingin disesuaikan untuk Indonesia.
Pada 2013, Takhta Suci mengumumkan terbentuknya satu komisi baru yakni Komisi Perlindungan Anak. Apakah mungkin BKBLII mengusulkan untuk membentuk komisi serupa sebagai tindak lanjut setelah terbitnya buku pedoman pelayanan ini?
Itu impian TIM juga. Bahkan ada ruang untuk penanganan dan pemulihan korban dan pelaku. Ini sudah menjadi bahan pembicaraan kami dalam rapat pengurus sekaligus untuk membantu kongregasi-kongregasi kecil yang memiliki sedikit anggota.
Langkah awal menyelesaikan draf sampai final protokol pencegahan, penanganan dan pemulihan korban dan pelaku. Kami belum menentukan uskup dan/atau provinsialat mana yang memberikan tempat dan memimpin tim tersebut. Buku ini memang masih terkesan seperti kumpulan tulisan. Memang tujuan pertamanya adalah penyadaran kepada banyak orang yang bersangkutan.
Elisabeth Chrisandra J. T. D
HIDUP NO.42 2018, 21 Oktober 2018