HIDUPKATOLIK.com – Buku ini diharapkan menjadi bahan acuan untuk menyusun pedoman perlindungan hak-hak anak dan orang dewasa rentan. Semoga Gereja menjadi rumah yang aman.
Gereja adalah rumah yang aman bagi keluarga-keluarga. Itulah harapan Paus Fransiskus yang tertuang dalam surat yang ia terbitkan pada 2 Februari 2015. Paus asal Argentina itu menandaskan, setiap keluarga Kristiani perlu tahu bahwa Gereja selalu memegang komitmen untuk menempuh segala upaya baik demi melindungi anak-anak dan anggota keluarga mereka yang rentan.
Gereja tak boleh menghindari skandal karena justru kewajibannya adalah menyatakan keberpihakan Kristus kepada mereka yang tertindas, teraniaya, terpinggirkan, terlecehkan, dan terabaikan. Pernyataan Bapa Suci itu muncul karena rasa belas kasihnya terhadap kisah miris para korban pelecehan seksual oleh para imam.
Pada Maret 2014, ia menggelar sebuah pertemuan dengan orang-orang yang menderita akibat ulah biadab sebagian kaum berjubah. Dengan keteguhan iman, mereka menanggung trauma dan membawa noda yang seolah sudah lekat dalam diri mereka.
Litani Skandal
Selama ini, bahtera Gereja acap kali berjalan terseok akibat hembusan badai skandal penyalahgunaan wewenang jabatan hierarkis dalam berbagai bentuk. Secara internal, kadang Gereja terlihat rapuh sampai Wakil Kristus di dunia ini pun harus menundukkan kepala dan memohon maaf kepada umatnya.
Secara terbuka, dalam Surat Pastoral kepada Gereja di Irlandia, Paus Benediktus XVI mengungkapkan sesal dan keperihan hatinya atas kesalahan fatal yang dilakukan segelintir pejabat hierarki. “Saudara-saudara telah sangat menderita dan saya sungguh mohon maaf. Saya tahu bahwa tak ada yang dapat membatalkan kekeliruan masa lampau yang harus kalian tanggung. Kepercayaan Saudara-saudara telah dikhianati dan martabat Saudara-saudara telah dilanggar.”
Takhta Suci secara konsisten menaruh perhatian serius terhadap persoalan-persoalan moral karena itulah marwah kehadiran Gereja di dunia, mewartakan Kabar Baik dan menawarkan jalan keselamatan bagi umat manusia.
Belakangan ini, Roh yang menggerakkan tersingkapnya kasus-kasus yang sering masih dianggap tabu itu semakin bergelora. Di berbagai belahan dunia, bermunculan aneka kasus pelecehan seksual oleh kaum klerus yang menjadi sorotan media. Hal ini juga didorong oleh kesadaran yang semakin tinggi di kalangan umat untuk ikut aktif berperan menjaga Gereja agar senantiasa berpegang pada perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Litani skandal pelecehan dalam Gereja sebenarnya sudah muncul sejak dekade 1950-an. Namun, isu tersebut membuncah dan menjadi konsumsi media sekitar tahun 1980-an. Itu pun terkonsentrasi di Amerika dan Kanada. Satu dekade berikutnya, Argentina, Australia, dan beberapa negara lain mulai terjangkit.
Sejak memasuki millennium baru tahun 2000, ketabuan isu ini pun seolah lumer. Berbagai media rajin menggoreng skandal dalam Gereja, baik isu korupsi, penyalahgunaan wewenang jabatan, dan pelecehan seksual. Boleh jadi, skandal-skandal serupa juga menghantui Gereja di Indonesia, meskipun tak sampai meledak sebagai santapan publik.
Memang ada satu-dua kasus naik daun, tapi itu pun hanya menjadi konsumsi kalangan terbatas. Bahkan, sering mengemuka dan dianggap sebagai gosip daripada wacana intens untuk dijadikan pelajaran bersama. Atau, Gereja cenderung tutup mata dan diam, bukan berarti juga menutupi, tetapi ada unsur pembiaran di dalamnya.
Hal ini dapat diartikan sebagai sikap ekstra kehati-hatian dalam mengambil keputusan dan menentukan sikap. Tentu ada kebaikan yang dapat dipetik dalam pertobatan sejati bagi pelaku dan rekonsiliasi dengan korban. Akan tetapi, ada kalanya sikap tersebut justru kontraproduktif, menimbulkan masalah baru, dan digunakan sebagai kedok bagi para pelaku yang hanya berpura-pura bertobat.
Alhasil, segelintir oknum hierarki masih leluasa melenggang dengan tetap memegang otoritas dan previlese yang sejatinya sudah tak pantas ia emban. Bahkan, tak jarang oknum tersebut malah mengulangi aksi bejatnya dan menambah panjang deretan korbannya.
Komitmen Gereja
Lantas, apakah Gereja tinggal diam dengan kebusukan itu? Tentu tidak! Sejak awal masa penggembalaannya, Paus Fransiskus sudah mempromulgasikan berdirinya Komisi Kepausan bagi Perlindungan Anak dan Orang Dewasa Rentan pada 5 Desember 2013. Uskup Agung Boston, Kardinal Seán Patrick O’Malley OFMCap ditunjuk pada 22 Maret 2014 untuk memimpin komisi baru ini yang beranggotakan 16 profesional berbagai bidang dari seluruh penjuru dunia.
Representasi Gereja Universal ini bertugas merangkul dan menyembuhkan korban dan keluarga mereka; memberikan panduan komprehensif bagi Gereja lokal untuk perlindungan anak dan orang dewasa rentan; mengedukasi para pemimpin Gereja dan komunitas gerejani; membantu formasi berkelanjutan bagi para imam dan religius; menggali kekayaan teologi dan spiritualitas bagi pastoral mereka; serta memastikan tegaknya hukum kanonik dan sipil untuk perlindungan anak dan orang dewasa rentan.
Sebenarnya, komisi ini menjadi jawaban atas surat edaran Kongregasi Ajaran Iman tertanggal 13 Mei 2011, yang menjembatani dan mendorong pengem bangan pedoman penanganan kasus-kasus pelanggaran seksual terhadap anak oleh klerus di tingkat Konferensi Waligereja. Inilah gerak konkret Ecclesia semper reformanda (Gereja harus selalu memperbarui diri).
Dalam perjalanannya, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) pun menanggapi undangan Takhta Suci dan menerbitkan sebuah pedoman penanganan kasus-kasus kekerasan seksual oleh klerus dan religius pada September 2014. Pedoman itu bersifat ad experimentum selama tiga tahun sebagai pegangan bagi para uskup dan pimpinan tarekat religius dalam menangani kasus-kasus yang dihadapi.
Dalam hal ini, reksa pastoral tersebut menjadi tanggung jawab para uskup dan pimpinan tarekat religius. Para pemimpin Gereja itu harus memastikan keselamatan anak-anak dan orang dewasa rentan di paroki-paroki dan lembaga-lembaga Gereja. Bahkan, Paus Fransiskus mendorong para pemimpin Gereja untuk “jemput bola” merangkul para korban dan keluarganya, memberikan pendampingan, mendengarkan mereka, dan meminta maaf kepada orang-orang yang telah menderita sedemikian berat akibat polah-tingkah kaum berjubah.
Usaha tersebut rasanya telah mengkristal dengan terbitnya buku Pelayanan Profesional Gereja Katolik dan Penyalahgunaan Wewenang Jabatan (Kanisius, 2018), yang diprakarsai oleh Badan Kerja Sama Bina Lanjut Imam Indonesia (BKBLII). Buku ini diharapkan menjadi bahan acuan untuk menyusun pedoman perlindungan hak-hak anak dan orang dewasa rentan. Tak hanya sebatas penanganan kasus, melainkan juga menggariskan standar protokol untuk pencegahan dan pemulihan korban. Mestinya, penerbitan buku ini mendorong keuskupan dan tarekat untuk berlomba-lomba mempersenjatai diri dengan organ bagi perlindungan anak dan kaum dewasa rentan. Organ itu setidaknya menjadi kendaraan untuk menyemai benih kesadaran dan memulai pastoral pendampingan.
Mengandalkan hierarki saja tentu tidaklah cukup; umat berpeluang ikut terlibat dan mendorong diseminasi kesadaran demi peningkatan kualitas pastoral Gereja yang profesional sekaligus murah hati. Buku yang dilengkapi peraturan sipil berupa perundang-undangan yang terkait ini juga menawarkan langkah-langkah praktis sekaligus berbagai dokumen pendukung yang telah lahir dari Roh yang menggerakkan Takhta Suci. Lagi-lagi, inilah cermin Ecclesia semper reformanda.
Rumah Aman
Selain kejelasan langkah ke depan dari harapan pembentukan organ terkait, perlu diwacanakan penggunaan sarana dan prasarana, media komunikasi, dan teknologi modern untuk mendongkrak laju percepatan kesadaran di kalangan internal Gereja. Kreativitas pemanfaatan teknologi modern dalam pastoral ini harus diberi ruang bagi reksa pastoral di kalangan generasi milenial. Modul-modul yang nanti dihasilkan mestinya mampu menyapa “generasi gadget”, yang dapat memanfaatkan media audio-visual.
Gerakan penyadaran ini tak banyak bermanfaat jika tak direspons secara serius. Artinya, pemahaman kita hanya sebatas wacana budi, tanpa menggugat hati dan kehendak untuk bergerak. Padahal, Bapa Suci Fransiskus telah mengundang seluruh kawanan untuk menjaga Gereja sebagai rumah yang aman bagi setiap keluarga, tempat berlindung bagi anak-anak, dan anggota keluarga yang rentan.
HIDUP NO.42 2018, 21 Oktober 2018