HIDUPKATOLIK.com – Memperingati seabad Yayasan Kanisius tahun ini merupakan momentum untuk merefleksikan kembali tantangan dunia pendidikan. Kita tahu, Yayasan Kanisius adalah lembaga Katolik yang sedari awal berdirinya mendedikasikan dirinya untuk pendidikan anak dari jenjang SD, SMP, sampai SMU, baik ketika masa kolonialisme Belanda, Jepang, pada masa-masa transisi krusial pasca proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, maupun sekarang. Sejak awal, sekolah-sekolah Kanisius menunjukkan keberpihakannya pada pendidikan anak-anak pribumi yang tinggal di desa/pelosok Jawa. Pendidikan yang memerdekakan dari ketertindasan dan menjungjung tinggi harkat dan martabat manusia.
Perlunya merenungkan kembali tantangan pendidikan Katolik tersebut, tidak bisa dilepaskan dari situasi, kondisi, dan tantangan dunia (pendidikan) sekarang. Bukan hanya oleh Yayasan Kanisius, tetapi oleh semua lembaga pendidikan. Bahwasanya, tantangan dunia pendidikan sekarang ini berbeda dengan situasi, kondisi pada masa awal berdirinya republik ini. Secara terang benderang kita melihat zaman ini tengah dikepung oleh pesatnya perkembangan teknologi komunikasi dan informasi. Era ini adalah era internet, era digital yang menguasai dunia, termasuk Indonesia.
Hasil survei Kementerian Komunikasi dan Informasi (Keminfo) 2017, menunjukkan, penetrasi penggunaan internet di Indonesia menyasar 143,26 juta jiwa atau 54, 68% dari total populasi Indonesia sebesar 262 juta jiwa. Pengguna internet sebesar 132,7 juta jiwa atau 47,5 %. Diperkirakan, dalam hitungan tahun ke depan, akan terjadi lonjakan yang cukup signifikan, baik dari sisi penetrasi maupun pengguna internet. Anak-anak dan orang muda zaman ini (generasi milenial), hidup dan berada pada era digital atau dunia maya.
Dampak atau pengaruhnya? “Kesenangan dan kenikmatan dalam dunia maya berisiko melahirkan sikap puas sebagai konsumen tanpa tergelitik menjadi produsen. Alih-alih memanfaatkan kemajuan teknologi digital sebagai sarana alih teknologi serta budaya ilmu yang melatarbelakangi perkembangannya, kita menerimanya dengan sikap konsumtif” (Karlina Supelli dalam Hiruk Pikuk Jaringan Sosial Terhubung, 2014). Yang disinyalir Karlina ini tampak dalam survei Keminfo. Empat dari 10 orang aktif di media sosial, 60% tidak punya rekening tabungan di bank tapi 85% mempunyai gawai (ada 300-400 juta gawai yang beredar untuk 262 juta penduduk Indonesia). “Sekejap ia mampu menjadi sarana yang sangat mendukung dan menguntungkan bagi siapa saja. Namun, tak diduga, ia juga menggerus keutuhan dan kemandirian pribadi manusia yang punya nalar untuk berpikir dan hati untuk merasa-rasakan dan menimbang-nimbang” (Melkyor Pandu, SJ).
Tantangan dunia pendidikan kita riil di depan mata. Ironisnya, Indonesia menempati peringkat ke-60 dari 61 negara dalam hal minat baca! Padahal hanya dengan membaca, seorang (peserta didik, kita) akan memiliki pengetahuan yang memadai untuk berpikir kritis dan reflektif. Kita berharap, Yayasan Kanisius memiliki strategi baru mengatasi hal ini.
HIDUP NO.46 2018, 18 November 2018