HIDUPKATOLIK.com – Sebagai orang Katolik, ia yakin, tak ada yang kebetulan. Tuhan, menurutnya, sudah memiliki rencana bagi setiap manusia. Termasuk profesi dan panggilannya sebagai polisi saat ini.
Lagu Gloria in ex Celsis Deo berkumandang di gereja-gereja Katolik pada malam Natal, 24 Desember 2014. Dari dalam mobil, Jhehan Septiano Borti Leksono bisa merasakan sukacita umat yang melantunkan lagu tersebut. Tapi, di lubuk hati terdalamnya, perasaan itu absen. Natal kali itu terasa amat berbeda. Ia sedih karena membawa kabar tak menyenangkan, terutama untuk orangtua dan keluarganya di rumah.
Jhehan, demikian panggilannya, tak lulus dalam seleksi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Cita-citanya untuk meneruskan jejak sang ayah kandas. Seandainya pengumuman itu berkata lain, berita tersebut tentu menjadi “kado” indah bagi orang-orang yang amat ia cintai. Namun, nyatanya, harapan itu masih jauh panggang dari api.
Menurut Jhehan, orangtua berusaha menghibur dirinya begitu mendengar kabar kegagalannya. Tapi, sesungguhnya, justru ia yang menghibur mereka. Ia berusaha tegar, namun sikap itu kian membuat bapak-ibunya sedih. Sikap ini juga ia tunjukkan kepada seorang peserta tes yang senasib dengannya. .”Ini (menjadi TNI) bukan satu-satunya jalan. Tuhan mungkin membuka pintu buat kita di tempat lain,” pesan Jhehan ke temannya.
Panggilan Bertumbuh
Umat Paroki St Petrus dan Paulus Rembang, Keuskupan Surabaya ini merasakan, rancangan Tuhan bagi dirinya bak puzzle. Semula, ia tak pernah tahu gambar apa yang dihasilkan oleh puzzle tersebut. Hasilnya baru terlihat ketika potongan demi potongan gambar selesai tersusun.
Anak kedua pasangan Martinus Budi Sunarto dan Angela Marici Sumiati awalnya ingin masuk Fakultas Geografi Universitas Diponegoro, Semarang. Namun, cita-citanya itu tak kesampaian karena terbentur biaya. Namun, ada alasan lain, katanya, yang lebih mendasar : harapan ayahnya.
Kata Jhehan, sang ayah sebenarnya ingin mendalami tentang iman Katolik dalam lembaga pendidikan formal. Sebab, selama hidupnya, pengetahuan itu hanya didapat dari paroki atau lingkungan. Kerinduan itu tak mungkin ia tunaikan sekarang lantaran usia. Maka, ia berharap anak-anaknya bisa mengobati kerinduan tersebut. “Bapak ingin anak-anaknya belajar agama,” kenang Jhehan, mengutip pesan ayahnya.
Lebih lanjut, kata sang ayah, jika ia berminat, pastor paroki, Romo Chandra, berkenan mengantar dan menunjukkan kampusnya. Tak hanya itu, paroki akan membantu pendidikannya selama satu semester. Jhehan luluh. Ia tak kuasa menolak harapan orangtuanya. Lagipula, jika ia kukuh dengan keinginan pribadinya semula, siapa yang bakal membayar kuliahnya nanti?
Romo Chandra mengantar Jhehan ke calon kampus barunya, Sekolah Tinggi Ilmu Keguruan dan Pendidikan Widya Yuwana. Di kampus yang terletak di Jalan Soegijopranoto, Madiun, Jawa Timur itu, ia mengambil Program Studi Ilmu Pendidikan Teologi. Jhehan ingat, sepanjang perjalanan, Romo Chandra berbicara mengenai panggilan, terutama menjadi katekis. Pada saat itu, ia mengaku sama sekali belum tertarik.
Panggilannya justru tumbuh selama menjalani pendidikan. Ia belajar secara tekun di kampus. Kerja keras takkan pernah mengkhianati hasil. Ia meraih beasiswa atas prestasinya. “Itu (prestasi) sebagai suatu bentuk apresiasi saya kepada paroki dan para donatur. Sejak semester ketiga, saya tak lagi membebani paroki dan donatur karena mendapat beasiswa dari kampus,” ujar kelahiran Jakarta, 10 Januari 1991 itu.
Kebaikan yang ia rasakan juga semakin membuka mata dan hatinya. Ia mengakui, Gereja memiliki perhatian luar biasa kepada umatnya, bukan hanya kepada mereka yang sakit atau menderita, tapi juga bagi mereka yang mendamba pendidikan namun terbentur dengan persoalan ekonomi.
Mulai semester lima, ia semakin menikmati masa-masa perkuliahan. Sejak saat itu juga, ia mulai getol dalam karya pelayanan. Hobi bernyanyi dan bermain musik mendorongnya untuk mengajak dan membimbing orang muda dalam kor. Ia juga terlibat dalam kegiatan rohani di lingkungan. Umat pun tak jarang memintanya sebagai pemimpin doa dan pembawa renungan. Buah panggilannya sebagai katekis dirasakan oleh banyak orang.
Bijak Bermedsos
Sebelum ikut tes masuk TNI dan ternyata gagal, Jhehan sempat mengajar di SD St Maria 2, Sidoarjo. Setahun mengampu pelajaran Budi Pekerti, ia pindah ke SMA St Maria Surabaya. Di sana, dia menjadi Guru Pendidikan Agama Katolik. Namun, lantaran ingin mengikuti jejak sang ayah, setahun kemudian ia memutuskan untuk berhenti.
Sekitar sebulan setelah menerima hasil tes masuk TNI, teman satu daerah yang sama-sama gagal menjadi prajurit mengajak Jhehan untuk mengikuti tes masuk kepolisian. Ia menolak karena tak berminat menjadi polisi. Namun, karena terus-menerus diajak, ia pun iba kepada temannya itu.
Ternyata begitu pengumuman akhir, Jhehan diterima sebagai anggota Kepolisian RI. Sementara teman yang mengajaknya justru gagal. Hasil tes Jhehan pun amat membanggakan. Ia tak pernah terjerembab dari posisi tiga besar peraih nilai terbaik. Prestasi ini ia pertahankan mulai dari seleksi di daerah hingga ke pusat. “Saya ingin membuktikan, meski gagal di sana (TNI) saya bisa berhasil dan berprestasi di sini. Saya mau balas kekalahan saya.”
Semula ia bertugas di Lembaga Pendidikan Kepolisian menangani urusan administrasi. Lalu, ia bergabung dalam Satuan Tugas Nusantara dan terakhir bergabung dalam Satuan Tugas Patroli Siber di Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri. Tugasnya antara lain memonitor berbagai informasi di dunia maya dan mengedukasi masyarakat tentang bermedia sosial (bermedsos) secara bijak.
Ia tak menampik sejak bergabung dengan divisi tersebut dirinya lebih berhati-hati menggunakan sarana teknologi tersebut. Ia berharap masyarakat tak latah atau gampang mengumbar data dan aktivitas pribadi di media sosial. Sebab, katanya, siapa pun bisa menjadi korban kejahatan karena media sosial, entah pribadi atau keluarga, sipil maupun penegak hukum. Bila tak bijak orang bakal berurusan dengan hukum.
Bagi Jhehan, upaya menangkal kejahatan di dunia siber bukan dengan gawai model terbaru, juga bukan karena memiliki aplikasi berbayar mahal, tapi satu “senjata” terbaik untuk melawan kejahatan di media sosial adalah pengetahuan dan kesadaran dalam menggunakan media sosial. Dua unsur itu, lanjutnya, mampu membentengi masyarakat dari kejahatan di dunia maya. “Umat Katolik saat ini seharusnya juga melaksanakan kerasulan di media sosial, terutama mengenai bahaya dan manfaat media tersebut,” harap mantan Liason Officer untuk negara Turk dan Caicos Island dalam 85th Interpol General Assembly 2016.
Setia, Benar
Lantaran perannya itu, Jhehan didapuk menjadi asisten pengajar bagi para perwira Polri salah satunya mengenai penyelidikan daring tindak pidana. Ia juga sempat menjadi pembicara dalam Gerakan Literasi Media Sosial yang diadakan oleh Forum Komunikasi Sosial Dekanat Bekasi beberapa waktu lalu.
Ia merasa tak kesulitan berbagi informasi dan menjalin relasi dengan semua pihak, baik kepada anak-anak maupun orang tua sebab pengalaman itu sudah pernah didapatkannya ketika menjadi guru SD dan SMA. “Saya merasa Tuhan sudah menyiapkan saya selama ini untuk tugas tersebut,” ujarnya seraya tertawa.
Tentu tugasnya itu tak selalu berjalan mudah. Kerap ada tantangan dan tawaran nan menggiurkan. Namun jika hingga kini ia mampu menjaga amanah kepolisian lantaran iman Katoliknya. “Yesus mengajarkan kita untuk menjadi setia dan benar. Maka setialah dan bersikaplah yang benar dalam menjalankan tugas serta tanggung jawab. (Jika sikap saya ini) dilirik atau tidak, itu bukan kuasa saya,” pungkasnya saat ditemui di Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, Cideng, Tanah Abang, Jakarta Pusat, September lalu.
Yanuari Marwanto
HIDUP NO.41 2018, 14 Oktober 2018