HIDUPKATOLIK.com – Tak selamanya bakat menjadi penentu. Kegigihan berlatih dan kemauan untuk melampaui diri akhirnya mengantar menuju keberhasilan.
Keterampilan dalam satu bidang terbentuk tidak selalu karena ada bakat. Dengan tekun berlatih dan menyukai setiap proses yang dilalui bisa menjadi kunci untuk menguasai keterampilan itu. Flora Monika Gozali begitu lekat dengan dunia musik. Kegigihannya berlatih dan mendalami musik membentuk kemampuan dalam dirinya. Kini, bernyanyi, bermain musik, hingga menciptakan sendiri karya musik telah menjadi rutinitas hidupnya.
Menulis dan mengaransemen dan lagu menjadi media bagi Lala untung berekspresi, menuangkan isi hati dan pikirannya. Terkadang notasi-notasi muncul begitu saja, sembari ia beraktivitas. Lala, begitu ia disapa, kadang menemukan inspirasi untuk mencipta justru dalam pengalaman-pengalaman yang dijumpainya sehari-hari. Pada kesempatan lain, saat mood dalam dirinya sedang “bersahabat”, di situ ia pun dapat berkarya.
Tinggal di Palembang, Sumatera Selatan, Lala bermimpi melihat lebih banyak orang yang bernyanyi dan bermusik di Bumi Sriwijaya. Ia meyakini, kemampuan bermusik dapat mulai dikembangkan secara maksimal di sekolah.
Terus Mengasah
Lala tertarik pada musik sejak belia. Meski beberapa kerabatnya memang memiliki bakat seni, Lala mengaku ia tidak terlahir dengan bakat ini. Namun tidak dipungkiri, ia menyukai dunia ini. Sejak masih kanak-kanak, ia rajin mengikuti paduan suara di gereja. Masa-masa ini menjadi babak penting yang menumbuhkan kemampuannya bermusik. Ketika dirasa musik telah menjadi minatnya, sang ibu lalu guru musik privat ketika ia duduk di kelas V SD. Saat itu, ia mulai belajar organ secara privat di rumah.
Ketekunan akhirnya yang pelan-pelan membentuk “sel-sel” musik dalam diri Lala. Ia mengenang, meski bakat musiknya pas-pasan, bakat ini dapat dikembangkan dengan gigih berlatih. Ia mengenang, waktu latihan adalah saat-saat yang membahagiakan. “Rasanya bahagia setiap kali latihan musik di rumah.”
Dari segi waktu, Lala mengakui terlambat saat mulai belajar bermusik. Menurutnya, usia ideal untuk mulai belajar musik adalah usia lima tahun, sedangkan ketika itu, ia baru mulai belajar saat usianya sudah 10 tahun. “Bahkan bisa dikatakan saya terlambat dibandingkan musisi pada umumnya, yang belajar musik sejak usia lima tahun.”
Seiring waktu, Lala berusaha memperluas daya jelajah musiknya dengan mengikuti lebih banyak kursus organ dan piano. Alhasil, kemampuan bermusiknya pun melesat jauh. Di usia remaja, ia dipercaya mengiringi paduan suara untuk pelayanan-pelayanan liturgis.
Namun, laju bermusiknya ternyata tak sepenuhnya selaras dengan bidang studi yang dipilihnya saat kuliah. Sang ayah menyuruh Lala untuk masuk jurusan Teknik Sipil. Sebuah kenyataan yang dirasanya banyak berlawanan dengan cintanya pada musik. “Sebagai anak yang patuh saya mengikuti saja apa yang dikehendaki ayah dengan memilih jurusan teknik Sipil,” ungkap organis di Gereja St. Yoseph Paroki Katedral Palembang.
Namun, ibarat pepatah “belakang parang kalau diasah lagikan tajam”, kemampuan musik Lala dapat terus berkembang dengan terus berlatih. Pada masa kuliahnya, tak jarang Lala berlatih bersama kelompok paduan suaranya setelah serangkaian praktikum yang melelahkan. Pada waktu-waktu tertentu, ia menerima tawaran untuk tampil solo piano di hotel-hotel dan acara pernikahan di Palembang. “Tapi, karena saya mencintai musik, saya tetap menyisihkan waktu untuk terus mengasah skill saya,” ujar Lala.
Paduan Suara
Pada tahun 2003, Lala mengikuti Symphosyum of Choral Music di Bandung. Dalam simposium ini, ia berkesempatan mengikuti kelas conducting (dirigen), himnologi, voice building, komposisi, dan musik polifoni. “Melalui simposium ini wawasan dan kemampuan musik saya diperluas dan dipertajam,” ungkapnya.
Lala pun kembali bergabung dalam dua simposium berikutnya, tahun 2005 dan 2007. Rupanya ia begitu menikmati belajar dari musisi-musisi hebat kelas dunia. Nama-nama seperti Andre de Quadros, William Lock, Catarina Laimena ada di antara deretan pengajarnya.
Usai mengikuti simposium pertama, Lala membentuk kelompok paduan suara yang dinamai Colours Choir. Kala itu, ia menjadi Ketua Orang Muda Katolik (OMK) Dekanat Palembang. Awalnya, ia membentuk Colours Choir untuk sekadar mengumpulkan teman-temannya untuk berlatih paduan suara untuk mengisi koor di gereja. Tidak pernah terpikirkan olehnya bahwa kelompok ini akan menjadi besar. “Saya hanya ingin melakukan apa yang saya suka bersama dengan teman-teman saya.”
Ketika memilih anggota Colours Choir, yang dinilai tidak semata-mata kemampuan bernyanyi. Lala menceritakan, karakter adalah pertimbangan utamanya. Ia menyukai anak-anak muda yang mau belajar bersama, saling mendukung, tidak mau menonjol sendiri. “Bagi saya karakter tetap menjadi nomor satu,” ucap Koordinator Musik Liturgi di Komisi Liturgi Keuskupan Agung Palembang ini.
Lala mengakui, tidak mudah memang mengatur sebuah grup paduan suara. Tantangannya karena harus menyatukan beberapa orang dari beragam latar belakang. Pada tahap ini, setiap anggota paduan suara harus menahan ego agar bisa bekerjasama dengan baik. Ada satu resep yang ia gunakan untuk meramu paduan suara ini. Ia sedapat mungkin menghadirkan nuansa kekeluargaan dalam Colours Choir. “Ini cara agar semua anggotanya dapat saling menjadi bagian dan dapat berproses bersama.”
Di setiap penampilan Colours Choir, Lala tidak hanya berperan sebagai pelatih dan conductor. Ia juga yang mengaransemen lagu-lagu yang dibawakan. Dalam The 6th Bali International Choir Festival tahun 2017, yang diikuti oleh peserta dari 13 negara, Lala mengaransemen lagu daerah dari Sumatera Selatan untuk ditampilkan dalam kategori folklore competition and championship. Kerja keras ini pun berbuah manis. Colours Choir meraih empat medali emas dan menjadi juara pertama untuk kategori Music of Religion.
Pada keempatan lain, Lala mengaransemen lagu daerah Sumatera Selatan berjudul “Sayang Selayak”. Saat dibawakan oleh Paduan Suara Mahasiswa Universitas Gadjah Mada, penampilan ini meraih juara I untuk kategori Secular 3 dalam ajang kompetisi The 23rd of The Malta International Choir Festival di Malta.
Menyimpan Mimpi
Kini Lala aktif mengajar di salah satu sekolah musik di Palembang. Menjadi guru memacunya untuk terus belajar agar dapat memberikan yang terbaik bagi para muridnya. “Ibaratnya gelas kalau airnya terlalu penuh pasti akan tumpah, terbuang sia-sia. Jadi sebelum gelas itu terlalu penuh, ada baiknya air dalam gelas itu langsung dituangkan ke gelas-gelas lainnya,” ungkap Ketua Bidang Penyelenggaraan LP3KD Sumatera Selatan ini.
Lala mengaku, setiap menemukan hal baru, ia tak menunggu lama untuk membagikannya kepada murid-murid atau para anggota Colours Choir. Ada satu kebanggaan ketika melihat muridnya dapat berprestasi. “Tidak ada yang lebih membanggakan bagi seorang guru daripada melihat muridnya berprestasi,” ungkap Lala.
Sampai pada titik ini, musik tidak sekadar kesukaan atau pekerjaan bagi Lala. Banyak pencapaian yang telah ia peroleh. Namun, ia masih menyimpan bermiliar mimpi. Salah satunya, ia ingin melihat kota kelahirannya maju dalam bidang musik, terutama paduan suara. “Saya ingin berkontribusi lebih dan saya merindukan dukungan dari berbagai pihak.”
Flora Monika Gozali
Lahir : Palembang, 27 Agustus 1983
Suami : Jimmy Handovi Tasmin
Anak : Jose Xavier Tasmin, Jevan Amadeus Tasmin
Kursus atau Pelatihan:
Master Class of Composition Nanyang Academy of Fine Art Singapura.
Kursus Musik di Ryan Cayabyab Music School di Manila, Filipina.
Publikasi :
Lambungkanlah Kidung Kerahiman, Kidung Doa
Penjurian :
– Ketua Juri Pesparawi Tingkat Kota (2014)
– Ketua Juri Festival Vocal Group Porseni Bank Swasta di Jambi, Palembang, Bengkulu, Lampung (2014)
– Ketua Juri Festival Paduan Suara oleh
– Pemerintah Kota Palembang dan Sriwijaya Post (2015-2016)
Hermina Wulohering
HIDUP NO.40 2018, 7 Oktober 2018