HIDUPKATOLIK.com – Kehidupannya berubah ketika mendapat cedera. Enam kali menjalani operasi tak berhasil. Dukungan keluarga dan orang terdekat amat penting membangkitkan asa.
Basket bagi Donald –sapaannya– bukan sekadar hobi. Olah raga itu sudah menjadi identitas pribadinya. Maklum, ia lahir di negara olahraga tersebut muncul. “Kebetulan, saya lahir di Amerika. Basket sangat berkembang di sana. Supaya mewakili identitas, asal, saya bermain basket,” ujar anak kedua dari tiga bersaudara ini.
Basket juga menjadi pintu masuk relasi Donald dengan teman-temannya di Indonesia. Saat kembali ke Tanah Air pada usia tiga tahun, kenangnya, ia tak punya banyak teman lantaran tak terlalu menguasai bahasa Indonesia. Maka, orangtuanya, Utomo dan Elisabeth Santoso, menyuruh Donald bermain basket. Dari situ ia bisa bersosialisasi dengan anak-anak seusianya.
Kemampuan Donald bermain basket semakin membaik. Begitu juga dengan pergaulan di komunitasnya. Ia banyak teman. Namun, kehidupan Donald mulai berubah ketika mendapat cedera ligamen saat bermain basket di sekolahnya. Kala itu, ia kelas 3 SMA. “Ketika melompat, kaki saya nyangkut di kaki teman. Waktu jatuh lutut saya mengenai lantai,” kenang Donald.
Enam Kali
Bagi kebanyakan atlet, cedera ligamen bisa disembukan melalui beberapa cara pengobatan termasuk operasi. Namun, hal itu tidak terjadi untuk Donald. Total, enam kali operasi sudah dijalani Donald untuk menyembuhkan cedera ligamen yang dideritanya. Namun semua tak membuahkan hasil positif.
Cedera tersebut memang tidak membuat Donald lumpuh total. Hanya saja, pebasket yang mengidolai Derrick Rose itu tak bisa berlari, melompat, dan bermain basket seperti dulu. Meski demikian, Donald tak menampik bahwa cederanya merenggut suatu terpenting dalam hidupnya: martabat dan identitasnya sebagai pebasket, serta menjauhkan dengan teman-temannya. “Itu amat traumatis bagi saya,” ungkapnya, saat ditemui di Gold’s Gym the Breeze Bumi Serpong Damai, Tangerang, Kamis, 20/9.
Donald mengakui, cedera tersebut juga menyita masa remajanya sebab ia kerap berada di rumah sakit untuk menjalani serangkaian operasi serta rehabilitasi. Itu tentu menguras banyak biaya. Selain itu, cedera juga menggangu studi Donald. Ia terpaksa mengambil cuti kuliah. Namun, semua itu seakan sirna begitu dokter memvonisnya takkan sembuh. “Itu menjadi sebuah momen di mana saya merasa kehilangan (identitas) diri saya. Saya frustrasi. Sebab, setiap saran selalu saya ikuti tapi mengapa hasilnya seperti ini?,” tanyanya retoris.
Donald pun tak menampik, situasi yang ia alami waktu itu turut menggangu relasinya dengan Tuhan. Meski ia percaya bahwa di balik setiap peristiwa yang dialami oleh setiap manusia ada rencana Tuhan yang bekerja, namun sebagai manusia biasa, ia sulit menyelami rencana-Nya itu.
Katanya, jika Tuhan menginginkannya tak bermain basket lagi, ia terima. Tapi, rencana itu sebaiknya Dia sampaikan sejak awal. “Kalau dikasih tahu, gampang gitu. ‘Ok, kamu nggak boleh main basket lagi’. Ok, saya siap. Tapi kalau rencana-Nya ngga ada saya bingung sendiri: apakah saya harus lanjut ambil operasi lagi atau enggak. Itu yang bikin (saya) frustasi,” kenang umat Paroki St Monica Serpong, Keuskupan Agung Jakarta ini.
Dukungan Keluarga
Suatu hari, saat mengambil sarjana hukum di Berkeley University of California, Donald terkesima menyaksikan aksi pebasket kursi roda, Trooper Johnson. Kebetulan, pria yang siluet tubuhnya dijadikan logo Asosiasi Bola Basket Kursi Roda Nasional (National Wheelchair Basketball Association) itu memberikan klinik basket kursi roda di kampusnya.
Pertemuan tersebut mengubah pandangan Donald mengenai basket kursi roda. Semula, ia mengira olahraga itu seperti kursi roda di rumah sakit. Namun, setelah melihat Johnson bermain, ia berubah pikiran. Olahraga tersebut benar-benar penuh kontak dan butuh keahlian khusus.
Donald tertarik dengan olahraga tersebut, tapi tak ingin terburu-buru mencoba lantaran masih dalam perawatan serta akan dioperasi. Begitu selesai operasi keenam yang berakhir dengan kegagalan, Donald pergi ke Arizona untuk menyelesaikan pendidikan master hukum. Di sanalah ia menekuni basket kursi roda.
Ia bergabung dengan tim Phoenix Suns Wheelchair Basketball. Namun, musim perdananya bersama tim tersebut di luar harapan. Baru pada musim kedua, ia mampu beradaptasi dan memberikan kontribusi lebih untuk tim basket kursi roda Phoenix Suns.
Donald mengakui, bila dirinya mampu bangkit dari masa-masa traumatis itu berkat dukungan keluarga serta perhatian orang terdekat. Ketika ia harus rehat dari kuliah dan fokus dengan rehabilitasi, keluarga membiayai semua proses itu dan juga kebutuhan hidupnya. Dukungan paling besar yang Donald rasakan berasal dari sang kekasih –kelak menjadi istrinya–, Aileen Hye-Young Kim-Santoso.
Donald mengenang, sebelum berpacaran dengan Aileen, dunianya hanya di dalam apartemen. Ia nyaris tak bersosialisasi sejak insiden yang menderanya. Teman dekat waktu itu hanya anjing piarannya. Tapi, sejak ada Aileen, kehidupan Donald berubah. Sang kekasih senantiasa mengajaknya untuk beraktivitas di luar ruangan. Relasi sosial Donald juga berangsur-angsur pulih.
Aileen, tambah Donald, juga membuatnya mampu menerima kondisi fisik serta membangkitkan imannya kepada Tuhan. “Saya menyadari, identitas saya tidak hanya bergantung pada menjadi atlet basket, atau mampu untuk melompat dan berlari. Saya masih bisa punya identitas karena Kristus. Dan itu yang ia (Aileen) ajarkan kepada saya. Ia menyadarkan saya,” katanya.
Sukses di Amerika tidak lekas membuat Donald merasa puas. Dia ingin membela Indonesia pada ajang internasional. Cita-cita itu membuatnya kembali ke Indonesia pada 2017. Meski begitu, saat itu Indonesia belum memiliki timnas basket kursi roda. Donald tidak menyerah dan berusaha membuat timnas basket kursi roda, seperti tujuan utamanya kembali ke Indonesia.
Kegigihan Donald mendapat apresiasi. Ia dipercaya membangun Timnas basket kursi roda Indonesia untuk Asian Paragames 2018 di Jakarta. Ini merupakan timnas basket kursi roda pertama di Indonesia. “Dulu saya sempat frustasi kepada Tuhan, mengapa saya mengalami seperti ini? Tapi sekarang, saya seratus persen tahu hal itu untuk menjalani ini sekarang. Memang, sebagai manusia, kita tidak pernah tahu apa rancangan Tuhan. Tapi, kalau kita berusaha, Tuhan akan membimbing kita ke arah yang benar pada akhirnya,” ungkapnya, seraya tersenyum
Terus Mendampingi
Menetap di Indonesia diakui Donald bukan perkara mudah. Ia dan istri harus melepaskan pekerjaan di sana. Donald sempat bekerja di sebuah biro hukum bagi penyandang disabilitas. Sementara sang istri sebagai pengacara. Mereka, terutama sang istri, juga harus banyak beradaptasi dengan lingkungan dan bahasa.
Donald bersyukur meski merasakan sejumlah tantangan, sang istri tetap setia mendampinginya. Aileen juga mendukung profesi Donald sebagai atlet, pengurus basket kursi roda Indonesia, dan persiapan timnas jelang pesta orang terbesar se-Asia bagi penyandang disabilitas. “(Saat ini saya) nggak punya banyak waktu bersama dia dan anak saya. Apalagi dia sedang hamil empat bulan. Tapi, dia sangat mendukung saya,” katanya.
Ia yakin, setiap orang mengalami tantangan dalam hidup masing-masing. Menurutnya, untuk mengatasi rintangan harus memiliki identitas yang kuat. Identitas itu, lanjutnya, bukan didasari kemampuan fisik: bisa berdiri, berlari, atau melompat tapi berdasarkan karakter atau nilai yang dihayati. Sehingga, seberapapun masalah yang mempengaruhi fisik, mental mampu menghadapi dan menyelesaikan persoalan tersebut.
Yanuari Marwanto/Elisabeth Chrisandra J.T.D
HIDUP NO.40 2018, 7 Oktober 2018