HIDUPKATOLIK.com – Keinginan sederhana itu mengantarkan dia kepada panggilan hidup bakti.
Seorang bapak paruh baya berbaret jingga dengan gagah memasuki gedung gereja Paroki Keluarga Kudus Cibinong Keuskupan Bogor. Pria berseragam biru langit itu turut menggandeng pasangan jiwanya untuk duduk di barisan paling depan. Dapat ditebak, pria bernama lengkap Ambrosius Pitoyo itu adalah seorang prajurit TNI Angkatan Udara. Warna baret yang dipakainya mengindikasikan bahwa ia adalah anggota Korps Pasukan Khas TNI Angkatan Udara (Paskhas).
Berbeda dengan hari lain, tanggal 5 Februari 1995 menjadi hari bersejarah bagi dia dan istrinya, Maria Theresia Surini. Pasalnya, putra ketiga mereka, Christophorus Tri Harsono, akan segera menerima Tahbisan Imamat.
Bak cahaya fajar yang merekah dengan indah, pasutri ini menyaksikan cahaya indah merekah pada diri putra mereka. Ia tak pernah menyangka bahwa salah satu putranya akan menjadi mempelai Kristus.
Mengharap Soli Deo
Pagi itu barisan para imam dipimpin Uskup Bogor, Mgr Mikael Cosmas Angkur OFM beriringan memasuki gedung gereja. Pitoyo dengan tegap berdiri menyaksikan pemandangan indah ini. Tinggal menghitung detik, putranya akan segera menjadi milik Tuhan seutuhnya. Semakin tegap, ia duduk dibarengi mata berkaca-kaca menyaksikan proses penahbisan.
Para imam itu telah berbaris rapi dengan uskup berdiri di tengah altar. Sedangkan para calon tahbisan secara bergantian diberkati oleh sang uskup lalu didoakan satu persatu oleh para imam yang hadir. Pitoyo menyaksikan putranya berbalut jubah putih bersih berlutut di hadapan sang uskup. Satu per satu pakaian yang menjadi penanda seorang imam dikenakan kepada Diakon Tri.
Setelah itu, Tri menadahkan kedua telapak tangan di atas pangkuan uskup untuk pengurapan tangan imam baru. Sambil mengambil minyak dan mengurapi kedua tangan, sang uskup berkata, “Semoga Tuhan Yesus Kristus, yang telah diurapi Bapa dengan Roh Kudus dan kekuatan, menjaga engkau untuk menguduskan umat Kristiani dan mempersembahkan kurban kepada Allah.”
Pastor Tri sebagai imam baru itu pun menerima manutergium (lap tangan) yang terbuat dari kain lenan diikatkan di tangannya. Pitoyo hanya bisa meremas baret jingga yang ada di pangkuannya. Ia mengingat arti warna jingga yang berarti mempunyai keberanian dan kerelaan jiwa dalam berkorban didukung dengan keteguhan hati yang mantap. Ia berdoa semoga putranya menjadi seorang imam yang memiliki semangat “jingga” itu.
Sambil memalingkan wajah kepada istrinya, Pitoyo berbisik, “Bisa tidak Tri pake topi yang ungu (soli deo)?” Surini hanya berkata pelan, “Ya tidak tahu pak. Mudah-mudahan bisa,” ucapnya sambil mengenang ekspresi sang suami.
Pitoyo kembali berbisik, “Kira-kira mukanya kayak apa ya kalau dia pake topi ungu itu?”, sekali lagi Surini hanya berkata singkat, “Sama saja mukanya.” Lima tahun setelah Tahbisan Imamat Pastor Tri, Pitoyo menghembuskan nafas terakhirnya pada tahun 2000 dalam usia 63 tahun. Pertanyaan kecilnya itu menjadi kenyataan, putra ketiganya dipilih menjadi seorang uskup.
Ingin Masuk Surga
Tri Harsono kecil yang menghabiskan masa kecilnya di Lanud Atang Senjaya, Semplak, Bogor, Jawa Barat hingga kerap dijuluki sebagai “anak kolong”. Selain itu, akibat badannya yang kurus dan kecil semua orang memanggil “si unyil”. Surini mengisahkan, ketika Tri melanjutkan pendidikan di Seminari Menengah Stella Maris Bogor, karyawan bagian dapur membantu mencucikan baju seminaris kadang berkelakar. “Ini baju kecil begini kok jadi Romo sih?”
Sampai-sampai selama di seminari menengah, Tri sering dicacahkan kangkung (red-dibuatkan sayur kakung). “Makan kangkung, lama-lama jadi tinggi. Padahal dulu badannya mungil,” celetuk Surini memperagakan ukuran badan putranya dengan jari kelingking.
Surini yang kini berusia 76 tahun berkisah, sejak dini putranya berkeinginan menjadi seorang imam. Keinginannya itu diutarakan saat Tri duduk di kelas dua SMP Angkasa Bhakti II Lanud Atang Senjaya, Bogor. Ia pun menanyakan kepada putranya itu. “Kenapa kamu mau jadi romo?”
Tri cukup dekat dengan sang ibu. Sehari-hari, ia membantu mengantarkan kue dagangan ibunya. Ketika mendengar pertanyaan itu, Tri dengan polos menjawab, “Kalau jadi romo tuh tidak ada dosa.”
Ketika mengisahkan kenangan ini, Mgr Tri mengingat, sesekali ia melihat beberapa tentara yang wafat di lingkungan TNI. Saat melihat pengalaman ini, Tri lalu berpikir, setiap orang harus mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian. Ia beranggapan, hanya kaum berjubah yang paling siap menghadapi hal ini. “Saat itu saya hanya pikir yang siap mati itu kaum berjubah. Hidup hanya sebentar, tidak menikah juga tidak mengapa. Maka saya pilih menjadi imam.”
Mantap Memilih
Proses menjadi seorang imam tak semudah yang dibayangkan. Tri Harsono muda awalnya ragu jika ia bisa diterima masuk seminari. Sebagai cadangan, ia mendaftarkan diri ke STM Penerbangan. Ternyata Tri Harsono muda yang hobi bermusik ini diterima di keduanya. Tanpa pikir panjang, ia meninggalkan STM Penerbangan dan beralih ke seminari. Ia sungguh mantap mendedikasikan dirinya bagi hidup bakti.
Awal tahun tinggal di Seminari Menengah, Tri Harsono muda sering sakit-sakitan. Selama empat bulan, ia dilarang meninggalkan seminari. Seorang pastor Belanda di seminari sampai menyuruhnya untuk kembali kerumah memulihkan kondisi fisik. “Mungkin akibat adaptasi pola hidup yang biasanya dirumah bisa sesukanya sedangkan di sana harus disiplin buat dia sakit,” tutur Surini.
Setelah ditahbiskan, Pastor Tri ditugaskan menjadi vikariat paroki Rangkasbitung Gereja Maria Tak Bernoda (1995-1996). Setelah itu, ia melayani sebagai direktur Seminari Menengah Stella Maris selama tiga tahun. Ia lalu melanjutkan studi bahasa dan budaya Arab di The center of Arabic Studies of Comboni Missionaries, Kairo, Mesir dan Pontifical Isntitut for Arabic and Islamic Studies (PISAI) di Roma, Italia.
Sebelum melanjutkan studi ke Kairo, Pastor Tri belajar mengenai keislaman kepada salah seorang guru ngaji bernama Ustad Uning. Ustad tersebut heran kepada Pastor Tri karena memiliki postur tubuh gagah dan wajah rupawan tapi memilih tidak menikah. “Kamu ini ganteng kenapa mau jadi romo? Kenapa tidak jadi tentara saja?” Dengan mantap Pastor Tri menjawab, “Ya, saya ingin jadi pelayan Tuhan. Saya sudah memilih saya mau menjadi pelayan umat.”
Surini mengenang putra ketiganya itu pernah membuat dia sangat khawatir saat masih bayi. “Romo Tri pernah sakit keongan. Bengkak di belakang punggung tidak sembuh-sembuh. Tapi akhirnya dia sembuh karena keong.”
Hal yang berkesan yang sampai kini masih dikenang Surini adalah kerelaan Tri yang selalu gembira membantunya berbelanja di pasar. “Waktu saya melahirkan adiknya dia mau membantu saya menjual gorengan. Pagi-pagi dia sudah menganter barang dagangan ke warung,” kenangnya.
Surini berharap, putranya itu dapat menjadi gembala yang baik bagi umat dan tetap setia dengan panggilannya. “Semoga semangat melayani yang ia tunjukkan dari kecil bisa menjadi modal dia melayani di Purwokerto,” doanya.
Felicia Permata Hanggu
HIDUP NO.40 2018, 7 Oktober 2018