HIDUPKATOLIK.com – DI DESA tua dengan penduduk yang ramah, tampillah seorang kakek tua. Usianya diujung senja. Delapan dasawarsa sudah ia mengarungi bahtera kehidupan. Ia tinggal sendirian di sebuah gubuk tua. Keluarga dan sanak saudara, ia tak punya.
Hanya seekor anjinglah yang setia menemani hari-hari hidupnya. Ia bekerja serabutan di kebun milik tetangga demi memenuhi kebutuhan hidup; berangkat pagi dan pulang pada sore hari. Kakek tua dikenal sebagai pekerja yang sangat rajin, ulet dan rendah hati di kalangan masyarakat kampung.
Dari penghasilan inilah, ia mampu melewati hari-hari bersama lipi, anjing kesayanganya. Senyum selalu terlukis indah dari kedua pipinya saat menerima beberapa rupiah hasil kerja kerasnya. Meski kecil, selalu diakhiri dengan ungkapan manis kepada Dia Sang Pemberi rejeki.
Kakek tua itu tidak pernah mempersoalkan banyak atau sedikit rejeki yang diperolehnya. Uang senilai beberapa puluh ribu rupiah, ia gunakan untuk membeli sekantong beras, minyak, dan kebutuhan lainnya. Bila masih tersisa, uang itu ia berikan kepada warga yang sangat membutuhkan. Sungguh mulia perbuatannya.
Warga kampung sangat mencintainya. Mereka sangat peduli padanya. Ada beberapa keluarga siap mengasuhnya. Tetapi kakek itu selalu menolak dengan sopan. Bagi kakek, hidup adalah perjuangan yang perlu diperjuangkan. Ia tak mau merepotkan siapa pun.
Selama ia masih bisa bekerja, hidup adalah tanggung jawabnya. Prinsip hidup inilah yang selalu dipegangnya. Semua warga sangat senang bila kebun mereka dikerjakannya. Karena dari semua pekerja serabutan yang ada di kampong, hanya kakek itu saja yang selalu bersabar dan mengerjakan semua dengan total.
Setiap hari ada saja warga kampung yang datang ke gubuk tua miliknya dan memintanya membersihkan kebun milik mereka. Kabar ini akhirnya sampai ke telinga kepala desa. Karena penasaran, kepala desa itu meminta kakek tua untuk membersihkan kebun singkong miliknya.
Tanpa kata-kata penolakan, kakek tua mengiyakan permintaan kepala desa. Sang kakek sangat senang. Ketika menerima tawaran sang kepala desa, sang kakek berkata dalam hatinya, “Mungkin inilah rejeki dari Tuhan untukku. Aku pasti akan mendapatkan hadiah yang banyak selain uang dari kepala desa itu.”
***