HIDUPKATOLIK.com – HIDUP yang tidak direfleksikan tidak layak dihidupi, kata Socrates. Namun kadang hidup terasa begitu cepat dan tak jarang lalu begitu saja tanpa terpikirkan untuk direnungkan. Kadang peristiwa begitu cepat berlalu, menguap begitu saja. Tapi, tidak sama halnya dengan perempuan tangguh satu ini.
Ia merenungkan hari-harinya dengan meditasi. Ia menjalani harinya dengan harapan yang selalu baru. Ia menikmati hidup dengan keceriaan, walau dokter telah memvonisnya, ia akan lumpuh atau buta selamanya pasca operasi nanti.
***
“Baru dua tahun aku di sini,” tuturnya dengan suara agak berat dan parau malam itu. “Oh, kenalkan namaku Reynalda. Orang memanggilku Rey, nama panggilanku waktu kecil yang disematkan orang tuaku. Jadi kamu cukup memanggilku dengan Rey.”
“Baiklah Rey, kenalkan juga namaku Steven, kamu juga cukup memanggilku Stev! Nama yang anggun!” ucapku sambil tersenyum dan menyambung ucapannya.
“Ha…ha…ha…serasa terbang aku kau buat.”
Tak lama berselang di sela percakapan telepon ia mengirimiku pesan singkat. HPku berbunyi, tanda pesan masuk. Lalu kubuka pesan itu dan setelah kubuka hanya sebuah gambar langit biru.
“Apa maksudnya Rey?”, tanyaku.
“Aku sudah ada di ketinggian karena pujianmu, ha..ha..ha..”.
Obrolan ini berlanjut. Ini merupakan momen pertamaku dengannya walau sekadar ngobrol via telepon. Tiga bulan lalu percakapan itu terjadi melalui akun Facebook saat aku berselancar. Ia menyodorkan nomor HP dan aku pun mengirimkan pesan kepadanya.
Semilir angin malam di ketinggian bukit cukup membuat badanku dingin beku. Saat itu pula, ia mengirimkan pesan singkatnya yang penuh refleksi mendalam.
“Stev, hidup ini bagai film ya?”
“Mengapa demikian Rey, ada apa?”
“Yah begitulah kadang begitu rumit jalannya seperti yang kualami dalam hidupku.”
“Aku sudah lama tinggal di apartement.”
Ia melanjutkan ceritanya. “Dunia sekitarku, segala sesuatunya terfasilitasi dengan sangat baik dan diutamakan. Ada kelompok orang-orang pilihan yang mendapat perhatian juga dari pemerintah, khususnya dari Queen. Aku hanya tersenyum melihat hidupku yang rumit
itu.”
“Rey, mengapa demikian?” Aku semakin penasaran mendengar ceritanya.
“Stev, ibuku meninggal waktu aku berumur 5 bulan. Papaku juga meninggalkan ibu dan kami semua begitu saja saat aku berada di kandungan ibuku. Aku dibesarkan di biara-biara yang ritme hidupnya teratur dan diwarnai dengan doa dan Ekaristi kudus.
Hingga aku dan kakakku mandiri, kami memutuskan untuk pindah ke negeri ini. Namun, maut memisahkan kami. Kakakku terjangkit HIV dan akhirnya meninggal dunia. Kini,
aku hanya sebatang kara di sini.”
“Rey, aku hanya bisa berdoa mendengar kisahmu itu. Aku tak kuasa berbuat apa-apa. Percayalah Rey, Tuhan itu tak pernah meninggalkan dan membuat hamba-Nya yang berserah kepada-Nya kehilangan harapan. Aku ingin hadir sebagai saudaramu.”
“Haaaaa?? Saudaraku?….”
“Iya Rey!” ucapku.
“Terima kasih Tuhaaaaan.” Ia mengungkapkan kegembiraannya.
“Memang semua yang hadir dalam hidupku adalah saudaraku Stev. Tapi, ketika aku merindukan keluarga, tak satu pun yang hadir. Kupikir dengan menikah aku mendapatkan keluarga, kenyataannya tidak. Pasanganku itu pergi dengan teman wanitaku sendiri. Uangku habis dibuatnya. Dan kini, kanker jahat telah bersarang di otakku. Genap sudah derita hidupku Stev.”
***