HIDUPKATOLIK.com – Komunitas Gumul Juang pernah ditolak. Itu adalah pengalaman pahit yang berbuah manis. Dengan cara itu, denyut nadi komunitas dan orang pinggiran didengarkan.
Sebuah kontrakan kecil di salah satu sudut kompleks Kampung Bandengan, Jatinegara selalu ramai dikunjungi anak-anak. Untuk menuju bangunan yang ukuran 4×2 meter itu harus menelusuri lorong kecil di antara rumah-rumah warga yang sumpek.
Di dalamnya terdapat rak-rak buku, sebagian besar adalah buku-buku pelajaran dan buku-buku bacaan. Di salah satu rak berjejer puluhan medali adalah hasil prestasi dari anak-anak yang belajar di tempat ini. Sedangkan di dinding digantung rapi foto-foto kegiatan komunitas ini.
Rumah ini adalah salah satu markas dari Komunitas Gumul Juang. Semuanya ada tiga tempat yang menjadi fokus komunitas ini yakni Bantaran Kali Ciliwung Bukit Duri, Cawang dan Kampung bendungan Jatinegara. Komunitas ini menggunakan sistem live in. Sistem inilah yang membuat Komunitas Gumul uang menyatu dengan masyarakat dan merasakan langsung kehidupan masayarakat pinggiran.
Kebisingan Politik
Realitas politik dan kebangsaan akhir tahun 1990-an berakhir dengan jatuhnya Orde Baru. Peristiwa ini diikuti situasi sosial dan politik yang tidak menentu. Masyarakat pinggiran tentu saja menjadi korban. Pemuda-pemuda yang aktif dalam pelbagai demonstrasi ketika itu menamakan diri mereka aktivis 98.
Beberapa dari mereka adalah mahasiswa yang belajar di Sekolah Tinggi Teologi (STT) dan Sekolah Tinggi Filsafat Dryarkara duduk berembuk. Sebagai mahasiswa yang belajar filsafat dan teogi mereka tidak mau meng-awang-awang dan eksklusif. Mereka tidak berhenti di ruangan akademis dan kenyamanan di ruang gereja.
Sekitar sepuluh tahun kemudian, beberapa mantan aktivis 98 itu membidani kelahiran Komunitas Gumul Juang pada tahun 2009. Menurut Daniel, semangat komunitas ini sebenarnya sudah ada sejak 1998. Tahun 2007, komunitas ini sering bersinggungan dengan warga bantaran Kali Ciliwung.
Mahasiswa STT ini menjabarkan, tekad komunitas ini semakin kuat untuk turut merasakan penderitaan dan duka warga pinggiran. Mulai saat itu mereka membentuk tim pengurus dan relawan. Mereka yang terlibat di dalamnya berasal dari lintas agama, suku dan ras. “Tim pengurus adalah mereka yang selalu hadir dan stand bye di sekretariat sedangkan relawan adalah mereka yang tidak terikat. Mereka adalah mahasiswa dari berbagai kampus di Jakarta.”