HIDUPKATOLIK.com – Seni membawanya kembali ke dalam Gereja. Seni pula yang menjadi jembatan komunikasi dan relasi dengan sesamanya yang berbeda keyakinan.
Sayup-sayup lagu berjudul Kasih-Nya Seperti Sungai bergaung di sepanjang lorong Hall 7, Indonesian Convention Exhibition (ICE), Bumi Serpong Damai, Tangerang, Selasa malam, 11/9. Tembang itu dilantunkan oleh ribuan orang muda dalam acara Jakarta Catholic Youth Festival (JOYFest).
Begitu lagu tersebut selesai, Matthew Guion Maher –biasa disapa Matt– bersama personel band-nya naik ke panggung. Nominator sembilan kali Grammy Award itu merupakan salah satu bintang tamu dalam acara yang digagas oleh komunitas orang muda yang tergabung dalam Pertemuan Mitra Kategorial Keuskupan Agung Jakarta.
Ini merupakan penampilan perdana Matt di Indonesia. Tampil dengan mengenakan kemeja biru dongker dan celana hitam, peraih Dove Award –penghargaan tertinggi untuk musik Kristen– “menyulap” lokasi acara menjadi semakin meriah. Mereka bernyanyi dan bergoyang mengikuti alunan musik dan lagu nan merdu dari Matt bersama kawan-kawannya.
Menemukan Kembali
Matt lahir dan tumbuh di daerah pesisir paling timur Kanada, Provinsi Newfoundland, 43 tahun lalu. Kecintaannya terhadap musik tumbuh seiring pertambahan usianya. Ia bergabung dengan sebuah band rock dan kerap bermain di sejumlah bar. Ia juga sering menulis lagu meskipun temanya masih seputar perempuan, cinta, dan relasi antarmanusia.
Saat berusia 20 tahun, biduk rumah tangga orangtuanya karam. Sang ibu yang berkewarganegaraan Amerika Serikat, memutuskan untuk memboyong Matt ke Arizona, AS. Di sana ia mendapat beasiswa untuk studi Jazz Piano di Arizona State University. Meskipun dibesarkan dalam lingkungan religius, Matt mengakui, relasinya dengan Tuhan tidak intim. Saat berada di kelas 1 SMA, ia tak lagi mengikuti Misa.
Satu-satunya ungkapan iman yang ia ingat adalah selalu berdoa menjelang tidur. Pada suatu ketika, Matt diajak oleh sepupunya ke gereja. Peristiwa itu terkesan amat sederhana. Namun amat membekas sekaligus mengubah cakrawalanya. Matt menemukan dunia yang sama sekali baru.
Dari sang sepupu, Matt berkenalan dengan komunitas karismatik Katolik orang muda, Life Teen. Ia terkejut melihat orang muda seusianya saling berbagi pengalaman soal kecintaan mereka kepada Yesus. Semula ia mengira mereka sedang menggelar pemujaan. “Saya berpikir, apakah itu (komunitas) sebuah sekte (yang sedang menjalankan ritual)?,” tanya Matt, retoris.
Satu malam pada musim gugur, bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke-21, Matt menyaksikan sebuah pementasan drama berjudul The Broken Heart. Kebetulan juga kawannya ikut bermain dalam pertunjukan tersebut. Drama itu mengetengahkan tentang seorang perempuan yang mendapat hati baru dari Tuhan setelah mengorbankan hatinya untuk seorang laki-laki.
Matt tersentuh menyaksikan pementasan itu bahkan hingga meneteskan air mata. Jalinan kisah dan pesan dalam drama tersebut seakan menyentil dirinya yang telah lama berpaling dari Tuhan. Malam akhir pekan itu, Matt seakan menemukan kembali Yesus dalam diri dan hidupnya.
Nada, Doa
Bapa Suci Yohanes Paulus II pernah berpesan, bahwa talenta seni merupakan sebuah hadiah dari Tuhan, siapa yang menemukan itu dalam dirinya memiliki suatu kewajiban, harus mengembangkan talenta tersebut.
Kisah seperti inilah yang dialami oleh Matt sendiri. Matt menyadari dirinya amat suka menulis syair lagu dan bermain alat musik, terutama piano. Hobinya itu ternyata dilirik dan diakui oleh seorang pastor sekaligus pengarah musik sebagai suatu yang lebih. Tak sekadar hobi.
Pastor tersebut meminta kesediaan Matt untuk membantu pelayanannya di gereja. Ia pun diminta untuk membantu pelayanan di sana. Dari sinilah awal mula karya pelayanannya kepada Tuhan dan umat-Nya di bidang musik dimulai. Ternyata, hal ini membuka gerbang relasinya dengan sejumlah pemusik lain.
Pada suatu ketika, Matt memutar lagu rohani milik band Delirious. Ia kagum dengan cara bermain dan kualitas musik kelompok tersebut. Rasa kagumnya kian berlaksa ternyata kendati para personel band itu masih muda namun aliran musik yang mereka pilih justru puji-pujian dan penyembahan. Meski tak banyak orang menyukai genre musik tersebut, Matt justru kepincut. Ia memantapkan hati untuk menekuni jalur musik tersebut.
Usai menggondol gelar sarjana di bidang musik pada 1999, Matt terjun dalam komunitas persekutuan doa di Paroki St Timothy, Mesa, Arizona. Di kelompok tersebut ia didapuk sebagai pemimpin pujian. Matt juga terlibat dalam kelompok belajar Kitab Suci. Di gereja inilah Matt bertemu Tom Booth, nominator Dove Award. Ia juga bertemu dengan beberapa artis lain dan berkolaborasi dengan mereka. Sejumlah karya tersebut diganjar berbagai penghargaan.
Tahun lalu, bersama kelompok John 17 –komunitas yang diinisiasi oleh para pemimpin gereja Kristen dan Katolik–, Matt bertemu Paus Fransiskus. Perjum paan Matt dengan Paus asal Argentina itu kian memantik semangatnya untuk terus memuji Tuhan dan melayani sesama lewat nada dan lagu.
Dalam pertemuan tersebut, Paus mengatakan, bernyanyi dan memuji Tuhan merupakan bentuk tertinggi sebuah doa. Sebab, nyanyian adalah doa tanpa ada susupan kepentingan pribadi.
Sepanjang karir bermusik sejak tahun 2000, Matt telah menelurkan sembilan album. Dalam album “Echoes” yang rilis September tahun lalu, ia berkisah bahwa album tersebut merupakan ungkapan iman sekaligus tanggapannya atas peristiwa duka yang dialaminya. Alkisah, ia memulai proses rekaman pada Januari. Selang dua bulan kemudian, ayahnya sakit. Orangtuanya itu lantas dilarikan ke rumah sakit pada Rabu Abu, 1 September. 18 hari kemudian, bertepatan dengan Pesta St Yosef, sang ayah tutup usia.
Di tengah masa berkabung, ia teringat sikap Yesus berhadapan dengan ajal. Dengan menerima maut, kata Matt, Kristus justru membinasakannya. Oleh karena itu Matt memilih untuk menggemakan pesan Kristus kepada dunia ketimbang larut dalam duka berkepanjangan.
Pengikut Kristus
Matt memaklumi bila jumlah para pelayanan rohani dalam gereja terbatas. Hal itu disebabkan salah satunya karena umat Kristen masih terkotak-kotak padahal semua bermuara pada satu tujuan yakni memuji dan memuliakan Tuhan. Soal ini bukan sekadar isapan jempol. Matt mengalami hal tersebut dalam kehidupannya. Istri dan teman-temannya di grup musik bukan beragama Katolik. Tapi mereka bisa bekerjasama secara baik.
Ia tak menampik terkadang keberagaman menjadi alasan orang berseteru. Namun, ia berharap, bila ingin membangun komunikasi dan relasi dengan orang lain temukan persamaan bukan memperuncing perbedaan. “Ketika kita sudah saling percaya dengan orang, dari situ kita baru bisa membicarakan perbedaan. Jadi, kenalilah saudara dan saudarimu dan perlakukan mereka seutuhnya apapun latarbelakang mereka,” pesannya.
Selaras dengan slogan JOYFest, “The joy of diversity, a celebration of Gods creation”, Matt menegaskan bahwa tugas membangun jembatan relasi antarmanusia dan antargereja terletak di pundak kita semua sebagai sesama pengikut Kristus.
Elisabeth Chrisandra J. T. D.
HIDUP NO.39 2018, 30 September 2018