HIDUPKATOLIK.com – Suara kenabian terus dikumandangkan. Transportasi udara, laut, dan darat menjadi bagian dalam reksa pastoral para pelayan pastoral.
Hamparan hijau membentang sejauh memandang di daerah pegunungan di sekitar Wamena, Papua. Sebagai daerah dataran tinggi, kabut sering kali menyelimuti puncak-puncak gunung itu. Meski begitu, keindahan yang terlukis dari gugusan pegunungan itu tak henti memanjakan mata.
Sudah tak terhitung berapa kali, Wouter Moulders menjelajah daerah pegunungan tengah Papua itu. Pilot yang bekerja untuk PT Associated Mission Aviation (AMA) ini sudah memiliki 5500 jam terbang di udara Papua. Reputasi ini tak ayal menjadikan Wouter sebagai salah satu pilot senior.
Namun, keindahan Pegunungan Wamena tetap saja menyimpan titik-titik bahaya. Wilayah udara di daerah itu tetap saja menjadi jalur maut yang tidak semua pilot berani menaklukkannya. Ratusan pegunungan yang sepanjang tahun berselimut kabut, serta landasan yang berupa rerumputan, membuat hanya beberapa pilot “pilih tanding” yang berani menjelajah medan ini.
Namun, bahkan keberanian Wouter pun ada batasnya. Dalam penerbangan tanggal 5 Juli 2017, pesawat yang ia terbangkan jatuh di Gunung Napua, Wamena, Kabupaten Sriwijaya. Perjalanan Wouter dengan sebuah pesawat berjenis Pilatus Porter PC6 itu pun menjadi yang terakhir baginya. Pilot asal Belanda berusia 57 tahun itu pun meninggal setelah jatuh dari ketinggian 8.500 di atas permukaan laut.
Demi Pelayanan
Duka atas kepergian Wouter tak hanya dirasakan oleh keluarganya dan AMA, tempat ia bekerja. Umat Katolik yang tersebar di daerah pegunungan Wamena pun merasakan sesak yang sama. Dengan pesawatnya itu, Wouter sering mengantar pelayan-pelayan pastoral untuk menjangkau tempat-tempat sulit di Papua. Setelah kepergiannya, umat di sana tak akan lagi melihat senyum sang pilor brewok itu.
Tak bisa dipungkiri, AMA memang menjadi tumpuan untuk menyediakan sarana transportasi bagi umat yang tinggal di wilayah pegunungan di Papua yang dikenal sebagai yang tertinggi di Asia. Sementara daratan rendah di sini terdiri dari ribuan kilometer persegi rawa dan hutan hujan. Selama lebih dari lima dekade, AMA hadir untuk melayani tidak saja umat Katolik Papua tetapi juga masyarakat umum.
Jejak AMA bermula dari keprihatinan Ordo Fransiskan (Ordo Fratrum Minorum/OFM) yang kesulitan menjangkau daerah pedalaman Papua sekitar pada tahun 1936. Untuk mencapai daerah-daerah jauh para misionaris harus berjalan kaki berbulan-bulan. Perjalan ini tak lepas dari aneka risiko. Uskup Jayapura, Mgr Leo Laba Ladjar OFM mengungkapkan, kehadiran AMA dilandasi keprihatinan ini. “Atas pengalaman ini berdirilah AMA de ngan misi mengudara melayani umat tidak saja di perkotaan tetapi umat Katolik dan masyarakat di daerah-daerah pedalaman,” ujarnya.
Masyarakat yang terisolasi yang dilayani AMA pada dasarnya tergantung pada transportasi udara bahkan untuk mendapatkan keperluan hidup sehari-hari. Pesawat-pesawat AMA membawa bahan bakar, surat, makanan, obat-obatan, bahan bangunan, dll. Mereka juga menjadi andalan transportasi untuk guru, staf medis, tim pemilu, dan insinyiur yang membangun desa-desa di wilayah tengah Papua.
Saat ini sudah lebih dari 400 destinasi yang dilayani AMA. Transportasi udara ini menyediakan kapasitas khusus kepada penduduk-penduduk desa untuk mengirim produk dan ternak ke pasar-pasar di kota. Di bidang kesehatan, AMA menjadi penyedia utama jasa evakuasi medis. Prinsip fleksibilitas jadwal penerbangan sering dikedepankan demi nilai kemanusiaan.
Dalam situasi-situasi mendesak, nyawa manusia lebih penting tanpa pasien mengkhawatirkan biaya perawatan dan sewa pesawat. AMA juga membantu dalam mengantarkan tim medis selama epidemi dan memberikan pasokan bantuan pada masyarakat saat bencana alam. Sampai hari ini, AMA setia kepada misi awal: “Melayani kebutuhan masyarakat Papua, dengan menyediakan layanan transportasi udara kapanpun dan dimanapun”.
Kapal Perintis
Berbeda dengan di Papua, tantangan transportasi di beberapa wilayah Keuskupan Amboina adalah ganasnya ombak di perairan Maluku. Di sini, sarana transportasi yang paling ampuh adalah kapal perintis, kapal motor, dan speedboat. Dengan kapal itu semua jenis barang hasil tani dari desa-desa terisolasi juga ikut diangkut.
Di Maluku, khususnya daerah MTB, masyarakat menyebut kapal dengan dua istilah yaitu kapal putih dan kapal “tenggara jauh”. Kapal putih adalah transportasi yang identik dengan kapal besar, bersih, dan nyaman. Sementara kapal “tenggara jauh” adalah kapal perintis yang memiliki rute hingga daerah-daerah sekitar Kepulauan Babar seperti Pulau Tepa, Kisar, Wetan, Marsela, Dawer, Watuwui hingga daerah-daerah di Kepulauan Aru seperti Dobo.
Paroki St Pius X Larat, Maluku Tenggara Barat, Maluku terletak di Pulau Larat. Beberapa komunitas umat di paroki ini tinggal di pulau-pulau sekitar Laut Banda. Kepala Paroki larat, Pastor Theddy Daskely mengungkapkan, untuk menjangkau mereka, sarana transportasi yang dipakai adalah kapal atau speedboat. “Harus diakui, tidak semua umat dapat dilayani dengan baik. Ini karena faktor alam. Bila angin kencang dan gelombang tinggi maka umat kepulauan tidak akan dilayani dengan baik,” ungkapnya.
Pastor Theddy melanjutkan, dalam situasi ini, maka peran ketua stasi atau keßtua dewan sangat penting. Mereka yang akan memimpin ibadah sabda setiap hari Minggu. Imam tidak dapat terlalu sering mengunjungi daerah-daerah kepulauan. Alhasil, tidak setiap minggu, umat dapat merayakan Ekaristi.
Demi mencapai pelayanan yang maksimal beberapa paroki berjuang untuk memiliki transportasi laut yang memadai. Kepala Kuasi Paroki Waturu Baru, MTB, Pastor Yanny Maturbongs mengungkapkan, ia tidak bisa membiarkan umat-umat di stasi-stasi pulau tidak mendapat pelayanan apalagi pada hari-hari raya. Untuk itu, ia berjuang mencari dana untuk pengadaan kapal motor milik paroki.
Dalam kenyataannya saat ini sarana transportasi tersebut tidak saja melayani karya pelayanan pastoral semata, tetapi juga terbuka bagi umum. Pastor Yanny mengatakan, ketika orang ingin pergi ke Kota Larat atau Saumlaki, ibukota Kabupaten MTB, mereka bisa menggunakan kapal motor paroki dengan biaya terjangkau. Kehadiran kapal motor, katanya, bukan memperkaya paroki tetapi semata-mata demi pelayanan. “Banyak orang merasakan manfaat transportasi ini. Ketika ada orang sakit, para guru dan pegawai desa yang ikut rapat di kota bisa menggunakan transportasi
paroki,” ujarnya.
Paroki St Maria de Fatima Dobo, Paroki Bunda Hati Kudus di Bemun, Aru Selatan, dan Paroki St Yosafat di Marlasi, Aru Utara memiliki umat sekitar 3000 jiwa yang tersebar di Kepulauan Aru Selatan dan Utara. Pastor Johanis Wemay MSC menjelaskan, semua stasi pada umumnya terletak di pinggiran pantai atau pesisir. Untuk menjangkau tempat itu harus menggunakan transportasi laut seperti speedboat. Jarak tempuh sekitar 2-6 jam dengan menggunakan mesin Yamaha 40 PK sebanyak tiga buah. “Kadang-kadang untuk waktu tertentu, khususnya musim ombak akan memakan waktu agak lama,” kisah imam yang bertugas di Kepulauan Aru ini.
Misionaris Hati Kudus Yesus ini melanjutkan, untuk setiap perjalanan membutuhkan biaya yang tak sedikit. Setiap perjalanan, setidaknya menghabiskan sekitar 1-5 juta untuk sekali perjalanan, tergantung jarak. Bahan bakar minyak paling sedikit satu drum untuk perjalanan paling dekat dan tiga drum untuk perjalanan jauh. “Ini baru dihitung pas hari Minggu. Bila hari raya biaya ini akan tiga kali lipat mahalnya,” katanya.
Saat ini Chevalier dan Stella Maris, nama dua speedboat milik paroki, terus mengitari laut Aru setiap minggu. Pastor Jannes mengatakan, pada prinsipnya para pastor berjuang untuk iman umat yaitu memberi pelayanan sakramen, spiritual, serta pengajaran iman. “Alam bisa berkecamuk kapan saja tetapi Allah yang mengatur alam. Sebagai perwujudan Allah di dunia, kami yakin Allah ambil bagian dalam tugas ini.”
Sebagian wilayah Keuskupan Manado juga mengandalkan alat transportasi laut untuk menjangkau umat di daerah-daerah tertentu. Hal ini terutama untuk paroki-paroki di Lepulauan Sangihe-Talaud. Pastor Fidelis Donald mengatakan, ada tiga paroki di Kevikepan Nusa Utara yaitu Paroki St Familia Mangaran Talaud, Paroki St Maria Ratu Damai Melonguane, dan Paroki St Yohanes Rasul Sangihe Talaud semuanya adalah paroki kepulauan. Untuk melayani umat, beberapa tempat hanya bisa dijangkau dengan speedboat atau kapal laut. “Butuh perjuangan dalam pelayanan itu tetapi ada bahagian tersendiri ketika berjumpa dengan umat.”
Jalan Tikus
Di Keuskupan Ketapang, Kalimantan Barat ratusan stasi berlokasi jauh dari pusat kota. Untuk tiba di stasi-stasi yang kebanyakan di kawasan pedalaman dan hulu sungai tersebut, para pelayan pastoral butuh nyali dan nafas panjang. Misalnya saja untuk mencapai Stasi-stasi di Paroki Keluarga Kudus di Sepotong, Ketapang, para pelayan pastoral harus ditempuh dengan beberapa moda transportasi.
Untuk sampai di stasi-stasi yang terletak di kawasan hulu Sungai Laur ini, sebagian medan dapat dilalui dengan mobil. Sebagian lain harus ditempuh dengan berjalan kaki melewati “jalan tikus” belum beraspal, becek, dan licin. Setelah itu dilanjutkan dengan perahu motor. Perjalanan menuju lokasi-lokasi di pedalaman hutan Kalimantan ini memakan waktu sekitar tiga jam perjalanan menyusuri sungai. Perjalanan ini masih ditambah dua sampai tiga jam jalan kaki.
Saat malam bukan berarti perjalanan berhenti. Dalam kondisi gelap, para pelayanan pastoral kadang harus membelah deras Sungai Laur dengan penerangan senter. Dalam perjalanan semacam ini, keterampilan juru mudi perahu menjadi tumpuan keselamatan semua penumpang. Tak jarang, pohon tumbang dan gelondongan kayu menjadi bahaya yang muncul tiba-tiba.
Uskup Ketapang Mgr Pius Riana Prapdi mengalami sendiri ketika harus meniti di atas jembatan dari papan kayu berukuran kecil. Ketika medan harus ditempuh dengan jalan kaki, sering kali tak hanya satu jembatan kayu harus dilalui. Ia harus mampu bertumpu menjaga keseimbangan dengan kedua kaki di atas seonggok kayu. Dalam satu kesempatan, ia bahkan pernah terpelanting jatuh saat meniti jembatan kayu semacam itu hingga membuat kakinya robek dan harus dijahit. “Panjang jembatan ini bukan hanya 100-200 meter, tapi bisa 500 meter sampai satu kilometer,” ungkap mantan Vikjen Keuskupan Agung Semarang ini.
Sementara itu, di Keuskupan Atambua moda transportasi yang sering digunakan adalah motor. Selain itu ada juga beberapa pastor yang gemar menggunakan kuda sebagai transportasi pelayanan. Tantangan utama di sana adalah jalan berlikuk-likuk dan hewan liar yang menyebrang jalan sembarangan. Tak jarang beberapa imam pernah terjatuh dari motor karena menabrak binatang. Pengalaman ini dialami salah satunya oleh Pastor Siprianus Tes Mau pada Maret 2017 lalu. Pastor Siprianus mengalami kecelakaan ketika terjatuh dari motor hingga patah tulang kaki kanannya. Ia terjatuh karena menabrak seekor anjing saat hendak melayani umat di Paroki Haliluik, Atambua.
Kecelakaan ini membuat Pastor Siprianus harus dilarikan di Rumah Sakit Katolik Marianum Haliluik dan kemudian dirujuk ke Rumah Sakit Umum Mgr Gabriel Manik Atambua. Berpastoral di Keuskupan Atambua bisa menggunakan moda transportasi motor. Tetapi tantangan utama adalah jalan yang berliku-liku dan masih banyak hewan liar yang berkeliaran di jalanan.
Yusti H. Wuarmanuk
Laporan: Pastor Ibrani Gujangge (Papua), Diakon Sandro Kafroly (Ambon).
HIDUP NO.39 2018, 30 September 2018