HIDUPKATOLIK.com – Kami sudah menikah selama 12 tahun, tapi belum dikaruniai keturunan. Suami saya Kristen GPIB, sedangkan saya Katolik. Segala cara telah kami jalani mulai ke dokter, doa di gua Maria, sampai akhirnya kami malas berusaha lagi. Suami mengajak adopsi, tapi di hati kecil saya yakin Tuhan pasti memberi keturunan kepada kami. Bagaimana solusinya, Romo?
Lusi, Jakarta
Saudari Lusi yang baik, saya bangga atas hidup Anda berdua karena kesetiaan dan cinta kasih yang dibangun di sela-sela pengalaman belum mempunyai anak. Pertanyaan Anda justru membuat saya yakin bahwa cinta kasih di antara Anda berdua memang murni dan mempunyai dasar kebaikan. Mempunyai anak memang semata-mata berkat Tuhan. Mempunyai anak adalah karunia bebas yang bekerjasama dengan kehendak bebas manusia seiring dengan perjalanan perkawinannya. Manusia tidak sepenuhnya berkuasa atas anak-anak yang dianugerahkan Allah.
Saya belum mengetahui berapa usia Anda sekarang. Apakah Anda sudah mema suki usia rawan hamil dan melahirkan (40 tahun ke atas) atau Anda masih berada di usia produktif untuk hamil? Jika sudah di atas 40 tahun, maka Anda perlu membuka diri untuk memiliki anak melalui beberapa cara; entah adopsi atau minta pertolongan dokter kandungan. Tetapi, sepengetahuan saya, di Indonesia tidak mudah mengadopsi anak di panti-panti asuhan, sehingga Anda berdua perlu memikirkan cara lain yang legal.
Adopsi anak tidak dilarang Gereja, justru baik untuk menyejahterakan dan merawat anak-anak yang terlantar atau yang diabaikan orangtuanya. Menurut saya, sebelum Anda berdua melakukannya, komunikasikan dengan baik dengan suami. Coba catat dan analisis pertimbangan-pertimbangan kalian berdua. Adopsi anak yang terbaik adalah kalau kedua pihak merasa terlibat aktif; bukan salah satunya, supaya tanggung jawab diambil berdua, termasuk konsekuensi memiliki anak “instan” yang biasanya membuat rutinitas berubah tiba-tiba. Jangan gegabah dan terburu-buru mengadopsi, karena adopsi menyangkut seluruh hidup keluarga selanjutnya, melibatkan banyak orang, mempengaruhi hubungan antar anggota keluarga (Anda, suami, dan anak adopsi). Karena itu perlu dipertimbangkan jauh-jauh hari. Persiapan jangka panjang dan pendek harus dilakukan, khususnya persiapan jangka panjang.
Hal kedua yang sama pentingnya adalah: jika Anda masih merasa berat mengadopsi anak, dengan besar hati Anda juga harus mengatakannya kepada suami. Memiliki anak bukan satu-satunya kebahagiaan yang harus diambil, meskipun memiliki anak sendiri adalah suka cita. Kebahagiaan Anda berdualah yang utama. Harus dipastikan bahwa relasi Anda sebagai suamiistri tidak terganggu atau malah terpecah konsentrasinya. Bersikap realistis bisa membuat Anda dan suami mengalami relasi yang lebih baik. Cobalah mendengarkan suara suami, mengapa ia ingin mengadopsi anak. Mendengarkan dengan hati akan lebih menghasilkan pengertian terhadap pasangan Anda. Kalaupun Anda bersikeras ingin punya anak sendiri, pastikan bahwa itu Anda katakan dengan jelas kepada suami, karena Anda akan mengusahakannya bersama.
Kalau sudah diputuskan, Anda harus sungguh-sungguh merawat dan mengasihi anak adopsi seperti anak Anda sendiri. Sebagai seorang calon ibu, kembangkanlah rasa keibuan itu melalui anak yang akan Anda adopsi. Jika Anda merawat anak itu dengan baik, kelak Anda boleh berharap kebaikan juga. Anak yang Anda adopsi sudah mengalami masa pembuangan, jangan sampai pengalaman ini terulang bersama Anda. Ada seni dalam setiap cerita kehidupan. Anda tinggal memilihnya. Berdoalah kepada Tuhan agar Ia memberikan tuntunan dan pendampingan. Tuhan memberkati!
RP Alexander Edwin Santoso MSF
HIDUP NO.09 2014, 2 Maret 2014