HIDUPKATOLIK.com – Minggu, 30 Oktober 2018, Minggu XXX: (Yer 31: 7-9; Ibr 5: 1-6; Mrk 10: 46-52)
“Untuk dapat berperan dalam kancah kehidupan, bisa mengembangkan diri, dan melayani sesama, orang perlu sembuh dari kebutaan.”
SAAT ini banyak orang mengalami sakit entah fisik, psikis, ataupun sakit spiritual. Yang sakit pun menanggapi keadaannya bermacam-macam: ada yang optimis sembuh dan ada pula yang pesimis bahkan apatis dapat pulih. Ada yang mau dan sungguh berusaha sembuh. Ada pula yang duduk diam atau berbaring tanpa asa dan menanti tanpa usaha, malah menyalahkan orang lain atau Tuhan.
Dalam keadaan seperti itu, dia perlu bertemu Yesus agar disembuhkan. Itulah Bartimeus, pengemis buta, yang rindu melihat dan berharap dapat disembuhkan Yesus. Ada orang sehat, kuat, dan bahkan masih muda, malah membuat dirinya tampil sebagai orang cacat (pincang, sakit berat, atau buta), sebagai cara untuk mengemis; mencari uang dengan minta dikasihani orang.
Sebaliknya ada orang yang sungguh buta yang terpaksa mengemis, walau rindu keluar dari situasinya dan ingin mencari kesempatan untuk bekerja. Ia ingin tidak mengemis, tetapi terpaksa mengemis karena kebutaannya. Ia membutuhkan modal dan cara untuk keluar dari situasi yang menyebabkan ia mengemis.
Bartimeus adalah pengemis yang sungguh buta. Karena kebutaannya, ia mengemis sebagai mata pencahariannya. Kebutaannya mungkin “meninabobokan” Bartimeus untuk tetap buta (diam dalam status quo), yang tanpanya ia tidak pantas lagi mengemis.
Sepertinya Bartimeus menikmati kebutaannya, sebagai cara mengasihani diri hingga tidak perlu bekerja. Bartimeus memelihara kelemahannya ini, sebagai jalan untuk mohon belas kasih orang. Ia menghamparkan jubahnya untuk menampung recehan yang dilempar para penderma yang merasa iba melihat Bartimeus.
Bisa jadi setiap pagi, ia datang ke tempat mangkalnya, menghamparkan jubahnya, dan menanti belas kasih orang yang lewat. Setelah beberapa jam, ia mungkin menarik jubahnya kembali, menghitung uang recehan yang terkumpul, dan pulang ke “rumahnya”. Itulah kegiatan harian Bartimeus.
Selama buta, ia akan tetap mengemis dan berada di pinggir jalan. Ia akan tetap di pinggir kehidupan sebagai “anak bawang” yang dibebaskan dari tanggung jawab dan perannya di tengah umat dan masyarakat. Untunglah Bartimeus tidak betah hidup dalam kebutaan dan diam di pinggiran tanpa peran, hanya minta dikasihani dan dimaklumi sebagai orang cacat.
Ia rindu bertemu Yesus. Waktu mendengar Yesus lewat, ia berteriak “Yesus Anak Daud, kasihanilah aku.” Sayangnya keinginannya ini dihalangi orang sekitarnya dan disuruh diam. Karena kiatnya begitu kuat dan niatnya begitu membara untuk bertemu Yesus, Bartimeus pun makin keras berteriak.
Yesus selalu mendengar jeritan dan teriakan orang di pinggiran. Hatinya tergerak oleh belas kasih. Yesus memanggilnya melalui orang di sekitar-Nya. Bartimeus segera menanggalkan jubah pengemisnya dan mendekati Yesus. Kata Yesus, “Apa yang kaukehendaki?” Dengan penuh iman Bartimeus berseru: “Rabuni, semoga aku dapat melihat.”
Ia ingin berperan dalam kancah kehidupan umat dan masyarakat. Ia tidak ingin terus berada dalam keadaan status quo mengemis. Ia ingin menjadi manusia normal dan jalan satu-satunya adalah melihat. Untuk melihat, ia harus menanggalkan jubah pengemisnya dan datang kepada Yesus yang memiliki hati penuh belas kasih dan kuasa penyembuhan.
Setelah disembuhkan, ia tidak lagi tinggal di pinggiran, tetapi berjalan bersama dengan Yesus. Ia mengikuti Yesus. Ada orang yang sehat, kuat, dan berbakat serta mampu dan berpotensi, tetapi malah menjadi penonton dan pendengar yang berdiri di pinggir tanpa peran yang berarti bagi kehidupan bersama.
Ada juga orang yang menikmati kekurangan dan dinina-bobokan kelemahan hingga tidak mau berperan. Jangankan mengikuti Tuhan dan melayani orang lain, menghidupi diri sendiri saja susah. Hidupnya tergantung pada orang lain; selalu minta dikasihani dan diberi dispensasi.
Itulah kebutaan bagaikan Bartimeus. Untuk dapat berperan dalam kancah kehidupan, bisa mengembangkan diri, dan melayani sesama, orang perlu sembuh dari kebutaan. Kalau mengalami kebutaan, baiklah kita berteriak pada Yesus, menanggalkan “jubah pengemis”, datang, dan memohon: “Rabuni semoga aku dapat melihat!”
Kalau kita melihat orang seperti Bartimues, baiklah kita membantunya bertemu Yesus; jangan menghalang-halanginya untuk bisa berjumpa Yesus agar ia bisa sembuh dan hidup normal; berperan dalam kehidupan umat dan masyarakat.
Mgr Antonius Subianto Bunjamin OSC
Uskup Bandung