HIDUPKATOLIK.com – Ef. 4:7-16; Mzm. 122:1-2,3-4a,4b-5; Luk. 13:1-9
ATAS dasar Yeh. 18:26-27, ada kepercayaan umum: “Kalau orang benar berbalik dari kebenarannya dan melakukan kecurangan sehingga ia mati, ia harus mati karena kecurangan yang dilakukannya. Sebaliknya, kalau orang fasik bertobat dari kefasikan yang dilakukannya dan ia melakukan keadilan dan kebenaran, ia akan menyelamatkan nyawanya.”
Perbuatan paling akhirlah yang dinilai oleh Yahwe! Di sini, pertobatan menjadi yang terpenting. Yesus memberi makna baru pada keyakinan ini, saat menilai pembunuhan sejumlah orang Galilea (ay.1) dan kematian 18 orang yang ditimpa menara Siloam (ay.2).
“Jika kamu tidak bertobat (Yun. metanote), kamu semua akan binasa atas cara demikian,”
kata Yesus (lih. ay.3). Bertobat (Yun. metanoeó) menjadi kata kunci dan merupakan warta pertama Yesus. (lih. Mk. 1:15). Makna metanoeó adalah “berpikir (Yun. noié) secara berbeda, setelah berada bersama (Yun. metá) dengan yang lama”.
Ada dua gerak ditunjukkan dalam ungkapan itu, yaitu (1) gerak meninggalkan semuanya yang sudah lama dihidupi, dan (2) gerak memasuki cara hidup yang sama sekali baru. Baik untuk meninggalkan yang sudah lama dihidupi, maupun untuk memasuki “hidup baru”,
dibutuhkan waktu dan rahmat.
Dan Allah memberinya seperti dikisahkan dalam perumpamaan “pohon ara yang tidak berbuah” (Luk.13:6-9). Pertobatan memang sebuah proses, karena memahami Kebenaran Allah, yang menghasilkan pertobatan dan pengampunan, memerlukan pembelajaran yang rutin dan kerinduan yang dalam (lih. Yes.26:9).
Henricus Witdarmono
M.A. Rel. Stud. Katholieke Universiteit te Leuven, Belgia