HIDUPKATOLIK.com – “Ketika Anda memenggal kepala saya, jangan ragu. Lakukanlah dengan satu kali tebasan,” permintaan terakhir Lusia sebelum kepalanya dieksekusi.
Menjadi dayang istana adalah sebuah kehormatan setiap wanita Korea. “Sanggung”, sebuah gelar kehormatan diberikan kepada setiap gungjung Yeogwan atau gungnyeo ‘dayang-dayang’. Mereka adalah wanita yang melayani raja. Dalam Dinasti Joseon (1392-1897) yang didirikan Kaisar Yi Seong-gye. Gungnyeo mendapat tugas mengatur sanggung ‘istana’, mengatur sangchim ‘tempat tidur’, mengatur sangsik ‘makanan’, dan memperbaiki sangchim ‘jahitan’.
Kehormatan ini sering diberikan kepada gadis dari kalangan bangsawan. Tak heran, demi mendapatkan status ‘hidup dekat raja’, sebagian besar wanita rela menghabiskan masa mudanya di istana. Mereka bersedia tunduk, bahkan rela disiksa raja asalkan tetap menjadi gungnyeo. Sebagian dari mereka juga rela melakukan apapun bahkan menjadi “teman tidur” raja, yang penting tak dicampakan.
Satu dari gungnyeo itu adalah Lusia Pak Hui-sun. Berbeda dengan dayang-dayang lain, ia menolak keinginan raja muda yang ingin menjadikannya objek seksual. Kecantikannya membius sang pewaris kerajaan yang ingin menjadikannya selir. Bagi Lusia menjadi gungnyeo adalah ketaatan pada tradisi Korea, bukan memuaskan keinginan raja.
Wanita Berkelas
Sejak berada dalam lingkaran istana, Lusia digadang-gadang akan menjadi permaisuri raja. Lusia adalah gadis muda yang memiliki banyak kemampuan. Dia fasih berbahasa Korea pun bahasa Mandarin. Karena itu wanita kelahiran Hanyang, 1801 ini sangat disenangi seisi kerajaan. Ia menjadi primadona bagi keluarga raja.
Dari sisi kecantikan, Lusia jauh berbeda dengan pada gungnyeo kerajaan lainnya. Tabiatnya yang ramah, humoris membuatnya disenangi raja. Di usia mudanya 15 tahun, Lusia mendapat julukan isangjeog-in yeoseong “wanita idaman” karena parasnya yang menawan. Tetapi keramahan dan kecantikannya mendatangkan petaka bagi dirinya.
Raja yang baru berusia 17 tahun jatuh hati kepada Lusia. Ia berusaha merayu Lusia dan ingin menjadikannya selir. Sebenarnya, dalam tradisi istana, wanita menganggap permintaan ini sebagai sebuah kehormatan. Kebanyakan perempuan akan berusaha keras menarik perhatian raja. Tawaran menjadi simpanan raja adalah momen emas yang tak boleh dilewatkan.
Tetapi Lusia tidak ingin menodai kesucian dirinya sebelum sah menjadi istri seseorang. Ia menolak tawaran raja ketika ingin tidur seranjang dengannya. Penolakan ini akhirnya menjadi petaka bagi Lusia. Ia dituduh telah menodai tradisi dan kebudayaan Korea. Istana pun heboh.
Lusia yang merasa ditolak memutuskan keluar dan meninggalkan kemewahan istana. Ia ingin mencari kehidupan batin di tempat lain. Baginya menjadi wanita istimewa tidak harus menjadi “penjilat” di istana. Ia meyakini, hanya satu yang pantas ditaati dan disembah, yaitu Tuhan sendiri. Ia ingin mencari hidup dengan beriman secara penuh sebagai orang Kristen.
Gereja Teraniaya
Zaman ketika Lusia hidup di Korea adalah masa di mana Gereja Katolik mengalami penganiayaan. Raja Sunjo (1790-1834) dari Dinasti Joseon (1392-1897), yang naik takhta tahun 1800, membunuh banyak umat Kristiani terutama para misionaris. Penerusnya, Raja Heonjong (1827-1849) melanjutkan pembantaian itu juga penggantinya, Raja Cheoljong (1831-1863) dan Raja Gojong (1852-1919).
Selama lebih dari 100 tahun, penganiayaan Gereja di Korea memakan korban sedikitnya 8.000 jiwa, baik misionaris, klerus, biarawan-biarawati, dan awam. Semua budaya barat diidentikkan dengan kristianitas dan harus dihancurkan. Itulah sebabnya, pastoral dijalankan sembunyi-sembunyi demi melindungi Gereja Korea yang sudah ada sejak abad XVII.
Pada zaman itu juga, Lusia serius mempelajari agama Kristen. Ia berjanji, memberi hidup bagi Tuhan. Dia ingin menjadi sumber pengetahuan bagi orang lain, khususnya sang kakak, Maria Pak K’un-agi. Ia juga ingin mengarahkan keluarga kepada jalan yang diharapkan. Dalam situasi ini Lusia benar-benar merasa lepas bebas. Kehidupan imannya diungkapkan secara bebas tanpa paksaan.
Tentu keputusan Lusia keluar dari lingkaran istana membuat sang ayah naik pitam bahkan tidak mengakui status kebangsawanannya. Lusia tidak diberi hak istiemewa sebagai anak bangsawan. Ia lebih memilih tinggal di rumah yang sempit yang jauh dari keramaian. Di saat bersamaan, Maria juga datang dan tinggal bersama dengan Lusia. Keduanya menunjukkan pertobatan yang mendalam. Mereka berjanji untuk memberi diri kepada Tuhan.
Tahun 15 April 1839, terjadi penganiayaan di daerahnya. Saat itu beberapa prajurit kerajaan mendatangi rumah dua bersaudara ini. Lusia yang saat itu mengenal beberapa prajurit segera menghampiri mereka. Dia mengundang mereka minum anggur dan makan bersama.
Meskipun Lusia tahu bahwa kebaikan ini pasti disalahartikan oleh para prajurit. Mereka segera melaporkan peristiwa perjumpaan dengan Lusia ini kepada raja. Segera berita tentang wanita istana yang hidup di pengasingan dan menjadi Kristen tersebar. Raja melihat suasana ini tidak kondusif lagi maka ia mengeluarkan perintah agar menangkap semua wanita yang pernah melayani di istana dan menjadi Kristen. “Jika ditemukan bukti terhadap mantan wanita istana, atapun yang masih sebagai wanita istana, mereka akan ditangkap,” begitu isi pengumuman dari istana.
Lusia dan Maria pun ditangkap. Keduanya dihadapkan ke pengadilan istana dan dipaksa untuk meninggalkan imannya. Para prajurit merasa heran saat melihat Lusia dan Maria bisa percaya dan menjadi Kristen. “Bagaimana Anda bisa percaya pada agama Kristen, yang palsu?” demikian para prajurit mengejek Lusia dan Maria.
Namun Lusia dan Maria berusaha menjelaskan. Keduanya menjelaskan bagaimana Allah adalah Pencipta langit dan bumi seturut iman Kristiani. Ini adalah panggilan Allah yang tak bisa kami pungkiri. “Biarlah kami berjuang dengan iman kami. Apapun yang terjadi kami akan berjuang bersama Allah,” ungkapan Lusia.
Setelah perkataan ini, kepala prajurit mencambuki badan dua wanita ini sekitar tiga puluh kali. Daging kedua wanita ini terkoyak-koyak. Darah mengalir dari sekujur tubuh mereka. Tulang kakinya nampak keluar dan patah. Lusia menyeka luka-luka dengan rambutnya dan berkata, “Sekarang saya mengerti bagaimana sakitnya Tuhan ketika tersiksa di kayu salib.”
Maria menolak melepaskan iman meski nyawa taruhannya. Setelah disiksa keduanya dimasukan dalam penjara bersama para tawanan lainnya. Menyadari bahwa tidak ada harapan hidup lagi, Lusia dan Maria berjuang menghibur orang-orang Kristen dalam penjara. Keduanya terus mengajarkan Kitab Suci dan katekese. Pada akhirnya keduanya dijatuhi hukuman mati. Mereka dibunuh secara terpisah pada 24 Mei 1839.
Dua wanita ini dieksekusi mati dengan cara dipenggal kepalanya, setelah menjalani penyiksaan. Jenazahnya dipertontonkan selama beberapa hari sebelum dimakamkan. “Ketika Anda memenggal kepala saya, jangan ragu. Lakukanlah dengan satu kali tebasan,” permintaan terakhir Lusia sebelum kepalanya dieksekusi.
Lusia dan Maria dibeatifikasi Paus Pius XI (1857-1939) pada 5 Juli 1925 bersama 78 martir Korea. Pada 6 Mei 1984, Bapa Suci Yohanes Paulus II (1920-2005) menggelarinya Santo bersama 102 martir Korea. Misa Kanonisasi digelar di Gereja di Yoido, Seoul. Gereja memperingatinya tiap 21 September.
Yusti H. Wuarmanuk
HIDUP NO.37 2018, 16 September 2018