HIDUPKATOLIK.com – “Jika engkau seorang kontemplatif, cintamu menjangkau ke seluruh dunia dan mengangkat semua kesakitan. Engkau menjadi bagian dari setiap orang dan segala sesuatu dan merasakan secara nyata keterikatanmu dengan semua ciptaan”.
Sepenggal ungkapan Murray Bodo terkenang, ketika saya mendampingi retret para suster rubiah Ordo Kontemplatif St Klaris Kapusines di Singkawang, Kalimantan Barat, medio Februari 2014.
Menurut Abdis biara ini, Sr Rosa Arel, para suster hidup dalam suasana silentium (hening). Inilah yang membuat orang Singkawang menyebut mereka “Alo Kunyong” (Suster Bisu). Karena “terkunci” dari dunia ramai, banyak orang juga mengenalnya sebagai suster “SLOT”: “Sederhana hidupnya, Lemah lembut bicaranya, Optimis sikapnya, dan Tuhan jadi andalannya”.
Historiografi
Biara Ordo St Klara-Kapusines yang terletak di Jalan Diponegoro No 1 Singkawang, dan berada tepat di belakang Gereja St Fransiskus Asisi ini berdiri sejak 1937. Adapun Ordo St Klara-Kapusines didirikan oleh Maria Laurentia Longo di Napoli, Italia. Terinspirasi oleh cara hidup para Kapusin di Rumah Sakit L’Incurabili, ia memulai suatu cara hidup kontemplatif menggunakan Anggaran Dasar (Regula) St Klara (1193-1253) yang adalah pengikut St Fransiskus Asisi (1181-1226) dan Konstitusi St Coleta dari Corbie (1381-1447).
Sedangkan keinginan untuk mendirikan biara kontemplatif di tanah misi bermula dari ide Paus Pius XII dalam ensiklik Rerum Ecclesiae (28 Februari 1929), pada pengangkatan St Teresia Lisieux sebagai pelindung misi. Seruan itu ditanggapi serius oleh para uskup dan vikaris apostolik, salah satunya Vikaris Apostolik Pontianak Mgr Tarcisius Henricus Josephus van Valenbergh OFMCap. Ia mengundang para suster Klaris untuk hadir di tanah Borneo (Kalimantan), dan pada 22 Oktober 1937, hidup kontemplatif pun dimulai di Singkawang. Biara Duivenrecht mengirim sembilan suster muda, yakni Sr Aloysia, Sr Benigna, SrGerarda, Sr Gabriel, Sr Gemma, Sr Maria, Sr Lidwina, Sr Elisabeth dan Sr Anna.
Ketika tentara Jepang masuk Indonesia (1942), para suster yang semuanya berkebangsaan Belanda ini menjadi tawanan perang dan dibuang ke Sejangkung serta Kuching. Baru sesudah PD II (1945), mereka dipulangkan ke Singkawang. Beberapa suster yang kembali disambut gembira. Tetapi, beberapa gadis yang sudah lama menunggu untuk masuk biara menangis karena telah dinikahkan, setelah penantian lama. Pada 1949, dua suster dari Belanda, yaitu Sr Kristina dan Sr Gabriela, datang. Dan, pada tahun yang sama, seorang calon, gadis Tionghoa bernama Phiong Ket Fa, masuk biara ini. Kemudian, pada 1951 seorang gadis Dayak bernama Antonia Toni ikut bergabung.
Menghidupi kesederhaan
Sebagai pendoa mereka hidup sederhana: hampir setiap hari makan sayur dan jarang makan daging. Mereka juga mengerjakan banyak hal sederhana, misalnya Sr Angelina (menolong suster tua), Sr Skolastika (penjilidan buku), Sr Laurentia dan Sr Agnes (urusan dapur), Sr Flo dan Sr Dominika (membuat hosti dan sagon), serta Sr Magdalena dan Sr Lidwina (menjahit, mencuci dan menjadi kostres).
Dalam suratnya kepada St Agnes, St Klara seorang gadis cantik yang dulunya adalah putri bangsawan Favarone di Offreducio, menggambarkan tugas mereka sebagai “Pembantu Allah dan pendukung anggota-anggota yang runtuh pada Tubuh-Nya yang tak terperikan” (SurAg 3:8). Ya, selain mengikuti jejak Kristus yang miskin dan tersalib, hidup kontemplatif juga dimaksudkan sebagai solidaritas bagi dunia.
Selain berdoa, para suster juga bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Mereka melakukan aktivitas berkebun, membuat lilin, membuat hosti, menjahit pakaian Ekaristi (paramen), membuat rosario, menjilid buku, merangkai bunga untuk pernikahan/kematian, membuat kue dari remah-remah potongan hosti, dll.
Semua pekerjaan rumah tangga dilakukan dengan pembagian tugas secara ber giliran. Melalui kegiatan itulah para suster mewujudkan semangat persaudaraan dengan sikap riang dan optimis. Sr Gabriela van Der Velden yang kini berusia 93 tahun pun masih bisa membuat rosario. Ia ingin ketika meninggal nanti, semuanya ber-“laetitia”, menyanyikan lagu syukur dan pujian, tak ada tangisan kesedihan tapi sukacita dalam iman, sehingga dapat berseru bersama St Klara: “Ya Tuhan aku bersyukur pada-Mu sebab Engkau telah menciptakan daku.”
“Mengapa mau jadi suster SLOT, tidak bisa keluar dan tidak memiliki karya nyata?
Di sinilah hidup kontemplatif yang splendor veritatis – penuh dengan warnawarni kemanusiaan – memang tidak mudah karena diperlukan “HIK”, alias Harapan, Iman dan Kasih, yang mendalam. Ada banyak gambar Kerahiman Ilahi di papan pengumuman mereka. Fenomena kecil ini seakan menyatakan bahwa di atas semuanya, “Tuhanlah satu-satunya andalan!” Bisa jadi, itulah sebabnya para suster menamakan biara itu “Providentia” sebagai ungkapan kepercayaan kepada Penyelenggaraan Ilahi.
Dum spiro, spero
“Aku berharap selagi aku masih bernafas!” Para suster SLOT terus tumbuh dalam harapan karena tercandra mulai berdatangan tunas-tunas muda dari Jawa, Kalimantan, Sumatra, dan Flores. Biara SLOT Singkawang juga telah melahirkan dua biara baru, di Sarikan-Pontianak dan di Bejabang-Kapuas Hulu.
Keanekaragaman usia dan asal-usul membuat para suster SLOT dapat ber- “Bhinneka Tunggal Ika” lewat empat pilar dasarnya: “Sederhana, Lemah lembut, Optimis dan Tuhan yang jadi andalannya”. Biara kontemplatif disebut “jantung hati Gereja”, tidak kelihatan tapi vital. Biara kontemplatif, sekalipun tersembunyi, sangat vital karena menjadi kekuatan hidup Gereja Universal. Paus Yohanes Paulus II menempatkan sebuah biara kontemplatif yang dipersembahkan kepada Bunda Gereja dalam kubah Basilika St Petrus, persis pada jantung Vatikan.
RD Jost Kokoh Prihatanto/Sr Paula OSCCap
HIDUP NO.12 2014, 23 Maret 2014