HIDUPKATOLIK.com – Tumor menggerogoti tubuhnya. Ia sempat protes pada Tuhan, sebelum akhirnya berserah dan bersiap diri jika maut menjemput. Pergumulan ini membuatnya lebih bersyukur dan bertekad untuk menjadi lebih baik.
Thomas Aquino Legowo merasa badannya sehat. Sekitar 1999, memasuki usia 40 tahun, diabetes menderanya. Namun, ia merasa hal itu sebagai suatu yang biasa dan mungkin warisan dari keluarga.
Tommi – begitu sapaannya– tetap menjalani rutinitasnya, bertekun sebagai peneliti sosial politik CSIS Jakarta (1984- 2007) dan Ketua Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS (1997-2007). Di celah kesibukannya, ia bergabung dalam Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI). Ia adalah Koordinator Bidang Penelitian dan Advokasi FORMAPPI periode 2007-2012. Ia juga melibati berbagai kegiatan di Gereja dan pernah duduk sebagai Dewan Paroki.
Umat Paroki St Gabriel Pulo Gebang, Jakarta Timur ini tak pernah mengkhawatirkan sakit yang pernah menghampirinya. Ia tak membatasi diri untuk melibati berbagai kegiatan dan menjalankan tugasnya. Hal yang sama juga berlaku pada jenis makanan yang dikonsumsi.
Tahun 2010, menginjak usia 51 tahun, Tommi sempat mengalami stroke ringan. Dua tahun berselang, diketahui ada tumor bersarang di tubuhnya. “Saya mendapat kesempatan untuk merasakan sakit Tumor Tymoma,” ungkapnya. Kebimbangan sempat menyelimuti hatinya. Ia pun sempat berpikir untuk menyiapkan diri jika hidupnya harus berakhir saat itu.
Melayangkan Protes
Pada Maret 2012, Tommi mengemban tugas sebagai Sekretaris Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) RI Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM). Beberapa kali ia sempat mengalami jatuh secara tiba-tiba kala beraktivitas. “Saya jatuh, tetapi sadar. Bukan pingsan!”
Karena hal itu kerap terjadi, akhir Juli 2012 Tommi memeriksakan diri ke dokter. Dokter mengungkapkan, paru-parunya tertutup cairan. Awalnya hal itu diduga terjadi karena efek rokok. Kemudian dokter melakukan pemeriksaan terhadap cairan yang menutupi paru-parunya. Diketahui, cairan itu ternyata cairan getah bening.
“Dokter menjelaskan, jika itu adalah cairan getah bening, berarti ada tumor atau kanker di dalam tubuh saya,” kisahnya. Pemeriksaan lebih lanjut pun dilakukan. “Dan dokter menemukan tumor di bawah tulang iga, di antara paru-paru dan jantung saya,” imbuh laki-laki yang dikaruniai dua putra ini.
Tommi terkena Tumor Tymoma stadium empat. Tymoma adalah tumor atau kanker kelenjar timus, yakni kelenjar yang berfungsi untuk memperkuat kelenjar otot dan berperan dalam perkembangan sel imun. Kelenjar ini terletak di antara paru-paru dan jantung. Biasanya kelenjar ini berkembang selama masa anak-anak dan menyusut setelah masa pubertas.
“Ada kemungkinan tumor itu sudah tersebar ke bagian tubuh yang lain, sehingga dokter menyatakan saya harus segera dioperasi,” tutur lulusan S2 Political Theory, Department of Government, Essex University, Colchester, Inggris (1991-1992) ini. Mendengar hasil pemeriksaan dan penjelasan dokter, Tommi sempat melayangkan protes pada Tuhan. Mengapa dirinya harus mengalami semua itu? Meski dijatuhi vonis yang tak mudah ia pahami, Tommi masih menawar pada dokter agar operasi dilakukan sebulan kemudian. Ia berniat untuk menyelesaikan pekerjaannya terlebih dulu.
Dokter tetap menyarankannya agar operasi sesegera mungkin dilakukan. Akhirnya Tommi pun bersedia untuk menjalani operasi itu. Sekitar seminggu, ia harus mempersiapkan diri untuk menghadapi operasi pengangkatan Tumor Tymoma.
Berlimpah Dukungan
Menjalani waktu seminggu untuk persiapan operasi menjadi masa sulit yang harus ia lalui. Kebimbangan menyelimuti hatinya. “Selama ini, saya yang merasa sehat harus menjalani operasi segera; harus ada di rumah sakit. Ini sempat membuat saya stres. Waktu itu saya berpikir, mungkin ini saat-saat terakhir saya hidup bersama keluarga,” kenangnya. Ia pun mengaku berjuang untuk bersiap diri.
Rasa kesepian dan sendirian sempat singgah, bahkan perlahan merayapi sudut- sudut hatinya. Rasa itu berujung pada ketakutan yang menyelimuti. Emosi Tommi pun menjadi tidak stabil. “Saya sering marah-marah pada perawat di rumah sakit.” Selama masa itu, istri, anak-anak dan keluarganya setia mendampingi, menguatkan dan memberikan dukungan. Selain itu, dukungan mengalir dari teman- teman dan kenalannya. Mereka menjenguk dan memberi penguatan serta penghiburan. Kebersamaan dengan keluarga dan teman-temannya sedikit mengalihkan perhatian Tommi pada sakit yang menderanya. Mereka juga mendukung lewat doa-doa yang mereka daraskan.
Sebelum menjalani operasi, Tommi minta untuk menerima Sakramen Pengurapan Orang Sakit. “Di tengah kebimbangan yang saya alami, saya minta Minyak Suci dan Sakramen Maha Kudus,” kisahnya.
Pada 14 Agustus 2012, Tommi menjalani operasi. Menjelang operasi, seorang dokter mengatakan padanya, “Percayalah pada kami; kami dokter ahli. Dari segi keahlian, kami bisa mengatakan kepada Bapak bahwa kami mampu. Namun, ada satu hal yang kami tidak mampu, dan itu hanya Bapak yang bisa melakukan, yakni berdoa.”
Mendengar perkataan itu, pikiran negatif sempat merasuk ke dalam benaknya. “Saya ini orang yang rasional. Saat itu saya berpikir dokter mau cuci tangan kalau misal terjadi sesuatu,” ujar Doktor Ilmu Politik, FISIP-UI (2003-2008) ini.
Namun, Tommi akhirnya berpikir positif dan mengikuti saran dokter: berdoa. “Tuhan, beri saya pengampunan atas dosa- dosa saya; juga mohon kesembuhan bagi saya,” demikian selarik doa yang ia daraskan. Ia menjalani operasi selama delapan jam.
Terus Berkarya
Pasca operasi, Tommi harus menjalani radiasi sebanyak 30 kali dan kemoterapi enam kali karena tumor telah menyebar ke bagian tubuh yang lain. Tiga minggu sekali ia menjalani kemoterapi. Namun, hanya sampai kemoterapi keempat, ia memilih berhenti. “Efek kemoterapi itu membuat leukosit saya turun jauh di bawah normal. Jadi usai kemo, tubuh terasa sangat lemah.” Ia pun pasrah dan tidak melanjutkan kemoterapi.
Tiap tiga bulan sekali ia masih memeriksakan diri ke dokter. “Akhirnya pada September lalu, dokter menyatakan bahwa saya sudah bersih. Saya bersyukur atas pengalaman ini. Dan mulai saat ini, saya harus menjaga diri karena masih banyak hal yang harus saya lakukan,” tandas laki-laki kelahiran Yogyakarta, 12 Juni 1959 ini.
Dokter menghimbau agar Tommi tidak mengendarai mobil sendiri karena dikhawatirkan keseimbangan tubuhnya terganggu. Ia juga disarankan untuk “membatasi” aktivitasnya. Namun, pengalaman sakit tak membuat dirinya berhenti dari berbagai kegiatan yang ia libati selama ini. Ia masih tetap menyetir mobil sendiri dan bekerja, aktif di FORMAPPI, terus berjuang bersama rekan-rekannya untuk menegakkan hukum dan keadilan serta penghormatan terhadap HAM.
“Derita dunia adalah derita Gereja, dan kebahagiaan dunia adalah kebahagiaan Gereja pula. Maka, orang Katolik sebagai bagian dari dunia pun harus bekerja untuk dunia. Saya berharap bersama Gereja bisa ambil bagian untuk mewujudkan prinsip kebangsaan dan terlibat dalam usaha menyejahterakan masyarakat umum,” paparnya.
Dengan rela hati Tommi pun turut serta memberikan pendidikan bagi pemilih dalam sosialisasi Pemilu dari satu paroki ke paroki lain di Keuskupan Agung Jakarta. Pun jika diminta untuk memberi sosialisasi Pemilu di keuskupan- keuskupan lain atau di kalangan umum.
Pengalaman sakit yang menderanya membuat Tommi berefleksi, “Ini peringatan Tuhan pada saya yang tidak mensyukuri anugerah badan ini. Ini juga berarti saya diingatkan Tuhan bahwa tugas saya belum selesai dan mesti saya kerjakan dengan lebih baik lagi.”
Maria Pertiwi
HIDUP NO.12 2014, 23 Maret 2014