HIDUPKATOLIK.com – Satu tahun menjabat sebagai Paus, namanya melejit menjadi tokoh paling favorit di media sosial. Wajah Paus Fransiskus terpampang di sampul depan majalah musik rock, The Roling Stones dan majalah LGBT (Lesbian,Gay, Biseksual, Transgender) Amerika, The Advocate. Seorang pelukis grafiti pun menggambar Paus Fransiskus sebagai superhero dengan jubah berkibar-kibar.
Tak urung, popularitas Paus Fransiskus menuai kontroversi dan kekhawatiran. Jangan-jangan kaum sekuler dan hedonis “menunggangi” atau “memelintir kata-kata dia”. Apakah betul Paus Fransiskus melakukan “revolusi” terhadap Gereja Katolik?
Setahun setelah ditahbiskan, kita melihat orientasi yang hendak digariskan sejalan dengan pilihan namanya. Seperti Fransiskus Assisi yang meninggalkan kekayaan dunia, Paus meninggalkan kemegahan dan memilih gaya hidup sederhana. Foto Paus mencium si buruk muka mengingatkan orang pada kisah Fransiskus Assisi yang melompat turun dari kuda untuk mencium penderita lepra.
Seperti St Fransiskus Assisi yang berkunjung ke kemah Sultan Mesir di tengah Perang Salib, Paus Fransiskus pun berani bertindak out of the box. “Kita bersaudara”, pesannya kepada pada pemimpin Gereja Pantekosta. Pada saat Gereja khawatir pada perkawinan sejenis, Paus berkata, “Kalau seorang gay bertekun mencari Tuhan dan berbuat baik, siapakah saya ini untuk menghakiminya?”
Ketika kontroversi ucapannya kepada khalayak membuat orang prihatin, Paus menyatakan, “Lebih baik Gereja turun ke jalan dan babak belur, daripada sibuk dengan urusan sendiri.” Jadi, apakah di bawah Paus Fransiskus, doktrin Gereja berubah? Tidak. Bukan doktrin yang berubah, melainkan cara menghadirkan Kabar Gembira. Paus Fransiskus menggembalakan kita melalui pendekatan yang diperlukan bagi manusia pada abad 21, menjadi Gereja yang menyembuhkan, seperti “rumah sakit di medan perang, seusai pertempuran”.
Di dunia yang terkoyak oleh wacana “benturan peradaban” dan kekerasan, yang diperlukan tindak kasih, bukan penghakiman. Gereja diminta meneguhkan bahwa semua orang dikasihi Allah. Perempuan tak akan ditahbiskan sebagai imam, tetapi Gereja perlu memberdayakan dan memberi perempuan peran yang lebih banyak. Perceraian tidak diijinkan, tetapi yang menderita karena perceraian tak boleh dikucilkan.
Gereja diajak mengoreksi kesalahan dan keterbatasan. Paus melantik kardinal baru dari negara miskin terpinggirkan. Ia membentuk komisi khusus untuk mengurus korban pelecehan dalam Gereja. Tidak ada kuasa duniawi yang bebas kontrol. Sistem keuangan Vatikan direformasi, agar transparan dan akuntabel, serta “dapat lebih melayani yang papa”. Tidak ada yang tinggi dan rendah di dalam Gereja, karena semua sejajar sebagai “anak Allah”.
Sebenarnya, tidak ada yang baru dari segala tindakan Paus Fransiskus itu. Yang dia lakukan adalah menghadirkan wajah Kristus, yang telah lama tertimbun rutinitas menggereja, tergerus kesibukan mengurusi organisasi,menjadi polisi moral dan akidah.
Ia mengingatkan, ajaran Kristus bukan “ideologi” atau “filsafat”, melainkan “jalan”. Yang penting bukan tradisi dan aturan, tapi perjumpaan dengan Kristus yang menghasilkan perubahan. Apakah ini tidak mengingatkan kita pada perjalanan ke Emmaus? Mengapa kita bak kebakaran jenggot, ketika Paus Fransiskus dengan rendah hati menyapa kaum homoseksual? Bukankah Yesus menantang orang yang siap merajam pelacur, “Siapa yang tidak pernah berbuat dosa, silakan melempar batu yang pertama?”
Mengikuti Kristus, Paus mengobarkan semangat mengabarkan Injil dengan berani. Menghadapi kapitalisme global, Paus mengingatkan, yang diperlukan bukan sekadar amal, tetapi perubahan struktur ekonomi. Menghadapi dunia yang gaul, akrab teknologi, Paus menyapa dengan gaya santai dan terbuka. Menghadirkan Kristus pada “zaman edan”? “Jangan takut, bergembiralah!”.
Redaksi
HIDUP NO.13 2014, 30 Maret 2014