HIDUPKATOLIK.com – Pesparani harus menjadi ajang kontemplatif dimana seseorang melihat orang lain sebagai saudara bahkan sebagai citra Allah.
Salah satu dokumen Magisterium Gereja yang dapat dipakai sebagai dasar komunitas awam adalah Anjuran Apostolik, Christifideles Laici (CL). Ekshortasi ini berisi tentang Panggilan dan Misi Kaum Awam, yang ditulis Paus Yohanes Paulus II. Dalam tulisan ini Sri Paus menegaskan bahwa dasar tugas panggilan dan misi kaum awam adalah persekutuan
dengan Kristus (lih. CL 8). Pesparani adalah salah satu bentuk konkrit partisipasi awam dalam tri tugas Yesus. Terkait hal ini, HIDUP mewawancarai Ketua Presidium Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Mgr Ignatius Suharyo. Berikut petikannya:
Bagaimana Bapak Uskup melihat partisipasi kaum awam bagi Gereja Indonesia?
Gereja Indonesia adalah Gereja yang diberkati karena kehadiran kaum awam sangat besar. Meski secara teologis Gereja itu bukan saja kaum awam tetapi nyatanya Gereja Indonesia berkembang karena peran kaum awam. Saya merasa partisipasi kaum awam dalam Gereja menjadi kekhasan Gereja Katolik Indonesia saat ini. Hal ini bisa diukur dari Pesparani di mana panitia dari berbagai agama. Saya tidak pernah melihat panitia di Vatikan sana terdiri dari anggota lintas agama. Di Eropa juga tidak bisa dibayangkan hal seperti ini. Maka ada begitu banyak watak Bangsa Indonesia dalam penyelenggaraan Pesparani ini.
Adakah refleksi Bapak Uskup soal Pesparani di Ambon?
Ada kebanggaan tersendiri karena sedari awal Pesparani tidak menggunakan istilah perlombaan atau pertandingan tetapi dipakai istilah “pesta”. Pesta berarti merayakan sesuatu, bergembira, membangun kebanggaan, dan persaudaraan. Memberi arti teologis kepada Pesparani maka ini adalah bergembira karena mengungkapkan iman, dalam macam-macam acara seperti Paduan Suara, Mazmur, dan Bertutur Kitab Suci. Pesparani adalah mengungkapkan Kabar Gembira di dalam menyanyi, bermazmur, dan itu sangat penting bagi iman Katolik.
Pesparani menjadi kesempatan untuk mengalami kebaikan Tuhan. Karena memang kita tidak ingin bertanding atau berkompetisi. Sekarang ini yang ingin kita rakyakan adalah pesta. Merayakan iman kita. Saya berpikir secara tidak langsung panitia dan penyelenggara mengajari para kontingen soal iman yang saleh kepada Tuhan. Atau mungkin seseorang melihat lebih jauh daripada yang tidak tampak. Mendengar lebih jauh daripada yang ditangkap oleh telinga, itu namanya pribadi yang kontemplatif. Mereka biasanya adalah para penyanyi, pemusik dan penyair dan itu bisa didapat pada pribadi-pribadi yang merayakan Pesparani.
Masih perlukah kualitas iman seorang awam bagi Gereja Indonesia saat ini?
Kaum awam sering tidak menyadari bahwa kualitas iman itu bisa tumbuh dari kemampuan personal seseorang. Saya yakin bahwa Pesparani bisa membuat para peserta tanpa sadar masuk dan memahami kualitas iman yang terpendam. Bernyanyi, bertutur Kitab Suci, bermazmur adalah kualitas iman yang bisa memperkaya sekaligus menjadi kekuatan bagi Gereja Indonesia. Tetapi perlu juga mempertimbangkan semangat persaudaraan sejati yang diusung dalam tema Pesparani. Peserta lain tidak melihat yang lain sebagai pesaing sebab ini bukan ajang politik. Pesparani harus menjadi ajang kontemplatif: melihat orang lain sebagai saudara, bahkan sebagai citra Allah. Nuansanya berbeda bila merebut kedudukan dalam politik dan merasakan orang lain sebagai sahabat yang sama-sama merayakan iman.
Kalau begitu sejauh ini dukungan KWI untuk Pesparani ini?
Pesparani adalah pesta Gereja Indonesia. Dukungan pemerintah pusat sampai ke daerah sangat besar terhadap pesta iman ini. Gereja sangat mendukung kegiatan ini. Meski begitu masalah pembinaan lanjutan harus menjadi program di setiap keuskupan. Setelah Pesparani diharapkan ada sesuatu yang dihasilkan oleh keuskupan-keuskupan.
Yusti H. Wuarmanuk
Laporan: Willy Matrona, Antonius Billandoro
HIDUP NO.41 2018, 14 Oktober 2018