HIDUPKATOLIK.com – Pesparani tidak saja menjadi “kumpul kekuatan” kaum awam tetapi juga rasa persaudaraan dapat dihadirkan lewat budaya lokal setiap daerah di Indonesia.
Paus Fransiskus pernah berkata “Art has the power to heal hearts and souls. Art protects the most vulnerable”, ‘Seni memiliki kekuatan untuk menyembuhkan hati dan jiwa. Seni melindungi yang paling rentan’. Dalam pertemuan bersama para seniman di Kapel Sistina, Vatikan, Paus berbicara soal Via Pulchritudinis, ‘jalan keindahan’. “Ketika orang lain merasakan keindahan, antara lain musik yang menyentuh hati, orang dibukakan jalan untuk mengalami Tuhan lewat keindahan,” ujar Bapa Suci.
Musik menjadi bahasa kasih bagi semua orang termasuk kaum awam dan hierarki dalam Gereja Katolik. Pesta Paduan Suara Gerejani (Pesparani) 2018 di Ambon menjadi tanda bagaimana musik dapat menyatukan perbedaan. Musik menjadi penggerak kehidupan dengan memberi pesan yang mengeratkan relasi vertikal dengan Allah maupun horizontal antara sesama.
Ekspresi Iman
Musik dalam Gereja Katolik memiliki fungsi dan kedudukan tersendiri. Vikaris Jenderal Keuskupan Amboina Pastor Bernard Rahawarin mengatakan, Musik Liturgi yang digubah untuk Perayaan Liturgi Suci, dari segi bentuknya memiliki bobot kekudusan. Ia memberi contoh Musik Gregorian atau polifoni suci. Dalam Sacrosanctum Concilium artikel 121 disebutkan, Musik Liturgi memiliki ciri bisa untuk paduan suara besar atau kelompok koor kecil yang juga mengandaikan adanya partisipasi aktif umat. Syair untuk Musik Liturgi juga harus selaras dengan ajaran Katolik, ditimba dari Alkitab, dan sumber-sumber liturgi.
Pastor Berry, demikian sapaannya mengatakan, Pesparani adalah salah satu bentuk ekspresi iman umat yang diwujudkan dalam nyanyian dan doa. Partisipasi umat sebagai orang beriman harus kembali ke akar maka lagu Gregorian sebagai dasar tidak boleh dihilangkan. Cara kita berkomunikasi dengan Allah yang paling khas dan tua hingga saat ini adalah lewat Gregorian. Untuk doa ciri khas Gereja Katolik adalah singkat serta padat dan itu ada dalam teks Misa Romawi dan Mazmur juga adalah contoh doa yang singkat. “Jadi Pesparani sebenarnya mengedepankan musik dan lagu sekaligus mempersatukan relasi umat terhadap sesama demi membangun solidaritas. Di sini dibutuhkan peran imam sebagai ‘alter Christus’ dan kaum awam,” ujar Pastor Berry.
Menyoal peran kaum awam dalam Gereja, Ketua Komisi Kerasulan Awam (Kerawam) KWI, Mgr Vincentius Sensi Potokota menegaskan, bahwa Gereja tidak saja milik kaum tertahbis tetapi juga milik kaum awam. Atas dasar ini, Pesparani sebagai gerakan awam yang melibatkan semua keuskupan sebagai ajang koordinasi dan konsolidasi kaum awam Katolik.
Pesparani sebagai yang dipelopori kaum awam akan menjadi ajang untuk memperkaya iman. Di sini, kaum awam berbuat sesuatu untuk Gereja. Ketika bergabung menjadi anggota Pesparani, maka orang lain adalah pribadi peziarah di dalam iman. “Inilah cita-cita Pesparani, bahwa gerakan awam ini sebagai panggilan buat para awam Katolik, untuk memberi kesaksian tentang komitmen masyarakat Katolik sebagai pembela dan pencinta pilar-pilar kebangsaan NKRI,” tegas Mgr Sensi.
Bahasa Simbol
Sementara itu, Ketua Lembaga Pembinaan dan Pengembangan Pesta Padua Suara Gerejani Katolik Nasional (LP3KN) Adrianus Eliasta Meliala setuju bahwa Pesparani bukan sekadar pesta kaum berjubah. Terbukti bahwa ada tiga komisi KWI yang terlibat dalam Pesparani yaitu Komisi Hubungan Antar Agama, Komisi Kerawam, dan Komisi Liturgi. Dengan kata lain, Pesparani adalah konsolidasi kaum awam Katolik.
Adrianus mengatakan, konsolidasi ini semacam “menguatkan barisan” untuk sebuah agenda jangka panjang. Tidak salah bila mengatakan, kaum awam Katolik yang punya potensi dan berkualitas, lewat ajang Pesparani ini kita dorong untuk ambil bagian dalam setiap elemen masyarakat. “Bagi saya wajar saja karena ada harapan agenda jangka panjang dari Pesparani arahnya ke sana,” ujar Adrianus.
Sementara itu, Sekretaris Umum LP3KN, Tony Pardosi mengatakan, Pesparani merupakan gerakkan awam yang didukung oleh hierarki. Bagaimanapun juga Gereja harus memberi peran kepada kaum awam dan Pesparani adalah tempatnya. Dengan begitu, awam dan hierarki bersinergi dengan intens. Menariknya dalam Pesparani ini sinergitas tidak hanya interen Gereja tetapi keterlibatan pihak luar seperti pemerintah dan unsur agama lain.
Lebih dalam lagi Direktur Bimbingan Masyarakat Katolik (Dirjen Bimas Katolik), Eusebius Binsasi merefleksikan Pesparani pertama ini sebagai kesempatan merefleksikan Kitab Suci dalam konteks local wisdom, ‘kearifan lokal’. Kalau Pesparani hanya dinikmati sebagai “Bible sentris” maka ekslusivisme sebagai Gereja Katolik akan nampak. Ia menyebutkan, kearifan lokal adalah refleksi keseharian manusia sebagai rasa syukur kepada Tuhan. “Pesparani yang digelar di Ambon jangan dilihat semata sebagai kegiatan Alkitabiah tetapi juga ada kebudayaan yang ditawarkan dari ragam budaya di Indonesia,” jelasnya.
Eusebius pun berharap agar para peserta yang datang dari berbagai daerah jangan meninggalkan kearifan lokal daerah masing-masing. Pesparani itu bukan semangat meninggalkan kearifan lokal dan mengikuti budaya Maluku atau budaya tertentu. Harusnya gawai akbar ini memuat pesan yang jauh lebih sekadar pesta, bahwa di Pesparani orang dari setiap budaya yang berbeda saling mengisi. “Maka ada juga kegiatan pentas seni budaya dari daerah masing-masing. Kita diajak untuk keluar menampilkan budaya kita sebagai bentuk ekspresi iman kepada Tuhan yang Maha Pencipta.”
Harapan yang sama ditegaskan oleh Ketua LP3KD Maluku Pastor Agustinus Arbol. Pesparani ini bisa terbentuk berkat dukungan semua orang. Sedari awal terbentuk rasa persaudaraan mulai kental antar setiap agama. Kepanitiaan Pesparani pun tidak saja orang Katolik tetapi juga dari agama lain. “Karena fokus pada persaudaraan maka tidak menutup kemungkinan budaya lokal setiap daerah bisa menjadi corong ekspresi iman dimana orang lain bisa mengalami keselamatan.”
Yusti H. Wuarmanuk
HIDUP NO.41 2018, 14 Oktober 2018