HIDUPKATOLIK.com – Romo Erwin yang baik, rencana saya dan pasangan untuk membawa hubungan kami ke jenjang lebih serius tampaknya terancam bubar. Keluarga pasangan saya tak menyetujui kami menikah, begitu mereka tahu Bapak saya menderita skizofrenia. Mereka beralasan, penyakit tersebut bakal menurun kepada anak-anak kami kelak.
Mereka juga menilai, penyakit Bapak saya akan menyita perhatian dan menggangu ekonomi kami yang lagi membangun keluarga baru. Saya dan pacar sudah tiga tahun pacaran. Tantangan kami saat ini adalah penilaian dan keberatan keluarga pacar saya. Bagaimana saya harus bersikap, Romo? Terutama jika pada akhirnya hubungan kami terpaksa kandas karena sebab itu. Mohon saran dan doa dari Romo.
Angelina, Surabaya.
Angelina yang sedang bingung, terima kasih atas pertanyaanmu. Saya ikut bersimpati atas peristiwa yang terjadi dalam hubungan kalian. Saya bisa mengerti bahwa kalian yang sudah saling mencintai dan berencana menikah, harus terancam bubar. Hal ini tentu membawa keberatan dan kesedihan. Saya mencoba memahami perasaanmu.
Sebagai orangtua, tentu ingin anaknya mendapatkan pasangan yang bisa memberi “garansi” masa depan yang baik, yang membahagiakan, dan yang bisa direncanakan normal. Pertama, saya ingin kamu juga memahami apa yang dirasakan oleh orangtua pacarmu itu. Mereka gelisah dan sangat khawatir karena situasi dan kondisi ayahmu yang menurut mereka tak bisa menjamin kebahagiaan terjadi dalam hidup perkawinanmu kelak. Saya yakin kamu juga mengerti.
Mari kita memfokuskan diri pada kekhawatiran itu. Mari mencoba memahami dan membicarakan dengan pacarmu mengenai hal ini. Sejauh yang saya baca, calon pendamping hidupmu belum memberi komentar atas masalah ini. Apakah pacarmu itu menuruti saja kata-kata orangtuanya? Atau dia pernah ikut membahasnya bersamamu? Berada di pihak manakah dia? Semua itu akan mempengaruhi perasaanmu menghadapi masalah ini.
Kita mengerti perasaan dan kekhawatiran calon mertuamu. Tapi tak semua yang mereka pikirkan pasti benar. Meskipun sangat beralasan bahwa penyakit mental bisa menurun, tapi selalu ada kemungkinan untuk tak diturunkan juga. Dalam hal ini, yang terkuat dan menentukan adalah cinta kasih di antara kalian berdua. Jangan menganggap hal ini sebagai hal biasa, karena perasaanmu ada di situ.
Jika pacarmu tak ikut berperan dan mengambil sikap, tentu kekecewaan akan menambah kesedihanmu. Hal ini akan menguatkanmu juga untuk menyelesaikan hubungan ini. Menurut saya, jika memang tak ada pendapat dan tak mengambil sikap, hal ini adalah gambaran sikap tak acuhnya pada masalah kalian. Pola yang sama barangkali akan berulang ketika kalian menikah dan masalah ini kembali diangkat. Kamu akan tahu apakah mendapat pembelaan atau ditinggalkan sendirian.
Situasimu memang riskan, kekhawatiran mereka sangat beralasan, tapi beberapa keluarga berhasil mengatasinya. Yang sulit diatasi justru ketika pasangan tak berada di sisimu ketika semua persoalan terjadi. Seberapapun beratnya masalah, jika pasangan berada di pihakmu dan ikut bertanggungjawab menanggungnya, saya kira hal ini akan bisa dihadapi lebih mudah. Jadi “mintalah keterlibatannya” dalam masalah ini. Apa tanggapannya dan apa keputusannya?
Ayah yang mengalami skizofrenia sebabnya apa? Apakah memang sejak kecil? Ataukah karena stres dan depresi? Atau Karena masalah lain selain memang secara alami menderita skizofrenia? Sebagai keturuan beliau, kamu juga tak mengalami kelainan ini, bukan? Cobalah konsultasikan dengan ahli di bidang ini. Jangan diatasi dan diduga-duga sendiri, karena kalian bukan ahlinya. Menanyakan kepada ahli penyakit dan psikiater tentu lebih memadai untuk memastikan kekhawatiran itu.
Jika keputusan akhir adalah berpisah dan batal menikah, kuatkan langkah, bahwa memang jodohmu bukan dia. Calon suami sejati akan ikut menanggung kegelisahan dan menjadi “sahabat hidup” yang akan menentramkan hatimu. Jika kebalikannya, maka ini saatnya untuk mencoba melanjutkan perjalanan dengan memandang ke depan. Istilah kerennya, mencoba move on karena hidup kita tak hanya ditentukan oleh seseorang yang bukan jodoh kita.
Bersandarlah kepada Tuhan yang selalu setia mendampingimu. Jangan berhenti berdoa dan berharapan baik. Tuhan pasti memberikan yang terbaik. Justru kita harus lebih banyak belajar bagaimana menanggapi situasi dan kondisi yang kelihatan jelas. Dari situ lahirlah kebijaksanaan dan keluasan hati untuk menerima semua keputusan Tuhan dalam hidupmu. Semoga Tuhan selalu memberkatimu.
Alexander Erwin Santoso MSF
HIDUP NO.36 2018, 9 September 2018