HIDUPKATOLIK.com – Gereja sebagai ibu yang berbelaskasih akan setia mendampingi dan menolong keluarga-keluarga yang mengalami permasalahan terkait perkawinan beda agama.
Fenomena pernikahan beda agama di Indonesia dari dulu hingga sekarang masih menimbulkan pro dan kontra. Menjalin hubungan dengan pasangan cinta beda agama memiliki kesulitan tersendiri. Di satu sisi, menikah adalah hak asasi manusia, namun di sisi lain ada aturan yang tak memperbolehkan kita menikah dengan kondisi tertentu. Meski kita tak bisa mengelak kapan rasa cinta itu datang, tetapi kadang terkendala bagi pasangan yang berbeda keyakinan. Terkait hal ini, HIDUP mewawancarai Sekretaris Komisi Keluarga Konferensi Waligereja Indonesia, Pastor Heribertus Hartono MSF. Berikut petikannya:
Bagaimana Pastor melihat fenomena perkawinan campur yang dilakukan di luar negeri karena di dalam negeri ada kendala?
Melihat fenomena perkawinan campur yang dilakukan di luar negeri kita harus memahami bahwa ada sebuah perbedaan konsep kawin campur antara negara dengan agama. Fenomena bahwa banyak orang ingin menyatukan hati mereka di luar negeri tidak bisa disalahkan keputusan mereka. Tetapi yang perlu saya ingatkan adalah bahwa sebagai orang Katolik sebuah perkawinan yang dilakukan sungguh-sungguh juga diharapkan mengikuti apa yang menjadi ajaran Gereja. Dalam hal ini apa yang menjadi forma canonica dari seorang beragama tersebut. Misalnya orang Katolik perlu menikah dengan cara Katolik, agar mendapatkan sebuah perkawinan yang sah. Kalaupun misalnya di luar negeri dan di sana juga di depan pejabat Gereja Katolik dan sebagainya, bagi saya juga itu memungkinkan.
Apa konsekuensi perkawinan di luar Gereja? Lalu bagainana sikap Gereja?
Saya hanya mengingatkan bahwa sebuah perkawinan itu sah melalui tiga hal. Pertama, ada konsensus artinya bahwa perkawinan itu sungguh-sungguh muncul dari seorang pria dan wanita itu sendiri yang tentu konsensusnya pasti juga. Kedua, perkawinan itu forma canonica, artinya bahwa mengikuti juga arah dari Gereja serta tata cara pernikahannya. Ketiga, tidak ada halangan-halangan sesuai Kitab Hukum Kanonik termasuk kawin campur seperti ini.
Kendati begitu, sikap Gereja selalu menghadapi anak-anaknya yang mengalami pergulatan sebelum perkawinan maupun pasca perkawinan. Gereja berwajah belas kasih sebagaimana ditegaskan dalam Amoris Laetitia. Apapun situasinya, Gereja berusaha mendampingi dan merangkul mereka. Pun bila terjadi perkawinan, pasti tidak akan dikucilkan oleh Gereja dan tetap ditolong oleh Gereja. Tentu bagaimana caranya, pasti dilihat kasus per kasus. Dalam hal ini di tribunal, pasti akan lebih jeli, bisa untuk, menolong orang bagaimana, menghadapi kesulitan-keulitan yang dihadapi seperti ini.
Apa yang terjadi bila kawin campur gagal di tengah jalan?
Secara sederhana, perkawinan itu sah bila dilakukan di dalam gereja dan dilakukan di depan pejabat gereja, maka ketika berpisah ini mendapat perhatian dari Gereja. Tetapi kalau dilakukan tanpa sepengetahuan Gereja artinya hanya catatan sipil, Gereja menganggap perkawinan itu tidak ada karena tidak tercatat. Secara halus saya mau menjelaskan bahwa tidak perlu mempersoalkan berpisah. Paling penting adalah membantu perkawinan yang sudah terjadi. Pasutri beda agama perlu didampingi agar mereka meraih kebahagiaan dalam hidup. Kalaupun ada persoalan-persoalan seperti berpisah kita juga damping secara baik sesuai aturan yang berlaku. Saya mengingatkan bahwa kita harus melihat kasus per kasus bukan sebagai sebuah norma umum.
Bagaimana pesan Pastor pada keluarga yang sedang menjalani kawin campur dan mereka yang sedang berencana kawin campur?
Kadang-kadang kita tidak bisa mengelak bila terjadi masalah dalam perkawinan. Sebetulnya perkawinan yang ideal itu adalah perkawinan yang dibangun oleh dua orang beriman dengan iman yang sama. Paham ini membantu kita memahami bahwa dengan begini meminimalisir kendala-kendala dalam perkawinan. Tetapi kita perlu sadar dan terbuka bahwa kita berada di tengah orang yang beragama lain. Cinta itu tumbuh pada siapapun tanpa memilih agamanya. Saya berharap perlu kedewasaan dalam menyikapi kawin campur ini. Intinya sebuah perkawinan itu tidak saja mengandalkan perasaan cocok dan sudah nyaman tetapi juga membutuhkan rasionalitas atau pertimbangan yang matang.
Bagi keluarga yang sudah memilih kawin campur saya berharap menghidupi kehidupan yang sudah ada dengan baik. Berjuang untuk setiap hari bertumbuh dalam iman karena iman itu menjadi kekuatan dalam hidup perkawinan anda. Dalam hal ini perlu memahami after care mariage, bahwa perkawinan itu perlu dijaga dan dirawat. Gereja akan terus membantu keluarga-keluarga yang menikah beda agama agar terus bertumbuh dengan baik, saling menolong dalam perbedaan iman.
Kepada kaum muda yang berencana memiliki masa depan serupa saya berharap cobalah untuk bijaksana. Buatlah sebuah keputusan yang tepat dengan mengandalkan bantuan Tuhan. Mental yang kuat adalah konsekuensi dari pergumulan hidup yang kelak dialami. Karena itu perlu dukungan keluarga, institusi baik Gereja maupun negara. Anda harus berjuang dalam iman untuk mencapai kebahagiaan perkawinan dan kelak pendidikan iman anak-anak pun disiapkan dengan matang.
Willy Matrona/Yusti H. Wuarmanuk
HIDUP NO.36 2018, 9 September 2018