HIDUPKATOLIK.com – Pekan Biasa XXVI; Ayb 42:1-3,5-6,12-16; Mzm. 119:66,71,75,91,125,130; Luk 10:17-24
TRAGEDI dan krisis dalam kisah Ayub, meskipun amat berat, dapat dimaknai sebagai proses melepaskan aneka kelekatan (let go) yang menjadi kebanggaan seseorang, menuju proses membiarkan Allah (let God) menjadi pemegang kendali hidup yang membahagiakan.
Di balik penderitaan dan kehilangan yang bertubi-tubi, Allah tampil cemerlang dan memberi terang sehingga kita diberi rahmat untuk melihat kehadiran-Nya. Seorang psikiatris dari Swiss, Elisabeth Kubler Ross (1926-2004) menjelaskan tentang lima tahap kehilangan, yaitu penolakan, marah, tawar-menawar, depresi, dan penerimaan.
Orang dapat menjadi terkejut, menolak dan marah atas suatu kehilangan, atau masuk dalam relasi transaksional yang bersifat tawar-menawar dengan Allah saat dalam penderitaan.
Sejumlah orang menderita depresi atas duka yang menghampiri secara tiba-tiba, sebelum akhirnya siap untuk menerima dan berbuah manis. Ayub memperoleh buah atas krisisnya.
Kehilangannya dikembalikan Allah dengan melimpah dan lebih sempurna daripada keadaan jaya Ayub sebelumnya. Para murid mengalami keberhasilan dari tugas dan dari kesediaan mereka meninggalkan segala sesuatu demi mengikuti Yesus.
Yesus menjernihkan keberhasilan murid, yaitu bukan dari motif negatif (ditakuti setan dan para musuh) melainkan dari motif positif nan luhur, yakni sukacita Injili karena ‘namamu terdaftar di Surga’ (10:20).
Monica Maria Meifung
Alumna Prodi Ilmu Teologi STF Driyarkara Jakarta