HIDUPKATOLIK.com – Pak Wismanto, saya dan suami baru mendapat kabar mengejutkan. Anak perempuan kami yang sekarang berada di semester lima hamil di luar nikah. Ini sungguh membuat kami amat terpukul. Bagaimana kami harus bersikap kepada putri kami dan pacarnya serta keluarga prianya? Mohon saran Bapak. Terima kasih.
Stefany Sudjito, Surabaya
Ibu Stefany yang sedang gundah, pertama yang ingin saya sampaikan sebetulnya informasi yang diberikan masih jauh dari lengkap. Kedua, hal semacam itu, meski sangat tidak dikehendaki oleh orangtua, namun banyak terjadi di tengah masyarakat kita. Tak ada orangtua yang menginginkan hal itu terjadi pada anaknya.
Ada keluarga yang putrinya hamil saat SMA bahkan SMP. Setidaknya putri Ibu (dan pasangannya) tak mengambil jalan pintas. Anak Ibu masih bersedia menyampaikan yang terjadi pada nya kepada Ibu, berarti dia masih menganggap orangtuanya sebagai labuhan hatinya.
Ada beberapa pokok yang harus dipegang kuat. Pertama, Ibu dan sang putri jangan sampai melakukan aborsi. Hal itu melanggar hak asasi manusia dapat dikenai sanksi hukum, dan melanggar kehendak Allah. Kedua, pertumbuhan janin terus berlangsung, hal ini harus segera diselesaikan.
Ketiga, tak perlu marah berlebihan, apalagi sampai mengusir putri Ibu. Apa yang terjadi bukan semata-mata kesalahan sang anak (putri Ibu), cobalah mawas diri, siapa tahu orangtua berkontribusi terhadap kejadian ini. Apabila hanya pihak putri Ibu yang disalahkan, maka akan terjadi beban ganda yang dirasakan putri Ibu, dan hal ini dapat mengganggu perkembangan janinnya.
Keempat, pengusiran anak tak menyelesaikan masalah, justru menambah masalah, karena aib keluarga semakin besar dan janin yang tumbuh dalam rahim serta ibunya mengalami tekanan yang luar biasa besar.
Langkah-langkah yang dapat saya usulkan adalah, pertama, coba mengadakan pertemuan keluarga, pertemuan antara putri Ibu dan orangtua, untuk mengetahui secara jelas kasus tersebut, dan apa yang telah direncanakan oleh putri Ibu. Orientasinya adalah putri Ibu dan membantunya agar keputusan yang diambil adalah yang terbaik bagi sang putri serta janin yang dikandungnya.
Mahasiswa adalah manusia dewasa, perlakukan dia sebagai manusia dewasa. Pertimbangkan masak-masak, apakah langkah yang direncanakan sang putri baik dan tepat atau tidak. Belum tentu sang anak menginginkan pernikahan; Anaklah yang paling tahu dirinya sendiri dan apa yang terjadi.
Kedua, apabila putri Ibu memutuskan untuk menikah dengan laki-laki (atau pacarnya?), maka segera diundang laki-laki tersebut, agar pertemuan antar dua keluarga dapat segera berlangsung, sekaligus merencanakan waktu dan bentuk upacara pernikahan mereka. Perlu juga membicarakan hal lain, misal biaya rumah tangga, dan kelanjutan studi.
Ketiga, bila putri Ibu memutuskan untuk tak menikah dengan laki-laki yang telah menghamilinya (mungkin karena hasil pemaksaan atau perkosaan), perlu dipikirkan langkah selanjutnya dan konsekuensi dari keputusan tersebut. Anak yang lahir tanpa keberadaan ayah ada kemung kinan menjadi hal negatif secara sosial.
Keempat, putri Ibu sedang menempuh studi di semester lima. Terkait itu, dapat dipertimbangan untuk cuti kuliah setahun sembari merawat kehamilannya. Bila cuti, beban biaya kuliah tak ada, masa studi tak diperhitungkan, dan putri Ibu dapat merawat janin secara lebih baik.
Keputusan untuk menjadi orangtua tunggal belum tentu menjadi keputusan buruk. Apabila laki-laki yang menghamili memang tak dikehendaki putri Ibu untuk menjadi ayah bagi anaknya, maka ada baiknya tak perlu dinikahkan.
Di dunia ini masih banyak laki-laki yang baik, dan bersedia menikah dengan janda atau bersedia menjadi ayah bagi anak yang sudah saya kemukakan. Siapa tahu pada masa yang akan datang, putri Ibu bertemu dan menikah dengan orang yang baik.
Y. Bagus Wismanto
HIDUP NO.35 2018, 2 September 2018