HIDUPKATOLIK.com – Minggu 30 September 2018, Hari Minggu Biasa XXVI Bil 11:25-29; Mzm 19:8,10, 12-13, 14; Yak 5:1-6; Mrk 9:38-43, 45, 47-48
“Membaca realitas dengan kacamata iman dapat membantu kita melihat lebih jauh daripada yang tampak, yaitu kehendak dan rencana Allah”
SUDAH sejak lama pertemuan antara umat Katolik dengan saudara NU sering dilakukan guna membicarakan masalah kemanusian, kebangsaan, dalam rangka membangun persaudaraan sejati. Pertemuan seperti ini, biasanya mengungkapkan gagasan mengenai pokok bahasan yang dibaca dengan kacamata iman para peserta.
Sangat sering saya dengar, dengan nada bergurau, peserta dari NU mengatakan orang Katolik adalah warga NU cabang Katolik. Sebaliknya peserta yang dari Gereja Katolik mengatakan peserta dari NU adalah orang Katolik cabang NU.
Dua hal yang menarik dari pertemuan seperti itu. Pertama, dengan gurauan seperti itu, peserta dengan keyakinan iman yang berbeda, sudah sampai pada suatu titik penghayatan iman yang boleh disebut sebagai pengalaman mistik. Perbedaan dalam ajaran dan ibadah tetap diakui sebagai sungguh perbedaan, tetapi tidak memisahkan lagi.
Hal ini terjadi karena semua sudah sampai pada pengalaman yang paling dasar, pengalaman mistik, yaitu pengalaman akan Allah sebagai Sang Kasih. Kedua, ketika seorang beriman sampai pada pengalaman mistik ini, ia tidak akan lari menghindar dari kenyataan hidup.
Pengalaman akan Allah Sang Kasih merupakan daya yang mendorong orang beriman untuk melibatkan diri dalam kenyataan hidup manusia. Mencari kehendak Tuhan di dalamnya dan melakukan kehendak Tuhan untuk menanggapi tantangan realitas dengan tindakan nyata.
Kutipan dari Kitab Bilangan yang dibacakan pada hari ini berakhir dengan kata-kata yang sangat menantang : “Ah, sekiranya seluruh umat Tuhan menjadi nabi, karena Tuhan telah memberikan Roh-Nya kepada mereka!”
Saya membaca kalimat ini sebagai undangan bagi kita semua, murid Kristus bahkan semua orang beriman, menyadari panggilan kita sebagai nabi – nabi-nabi kecil di lingkungan kita masing-masing pada zaman ini – dan merawat serta mengembangkan panggilan itu.
Para nabi dalam Perjanjian Lama adalah pribadi-pribadi yang digerakkan oleh Allah untuk mewartakan kehendak dan rencana-Nya. Karisma kenabian yang dianugerahkan kepada mereka, membuat mereka mampu mengenal kehendak dan rencana Allah itu, menjadi sehati, sepikir dan seperasaan dengan Allah.
Karena itu, dapat kita mengerti kalau setiap kali nabi menyatakan sesuatu – yang adalah buah dari pemahaman kontemplatifnya – dia dapat mengatakan “demikianlah firman Tuhan Allah”. Kita pun diharapkan dapat menjadi nabi-nabi pada zaman kita, yang dengan tekun dan setia mewartakan kehendak dan rencana Allah.
Kehendak dan rencana Allah dapat kita peroleh dengan berbagai cara. Pertama dengan mempelajari realitas hidup yang seringkali amat kompleks. Ilmu-ilmu positif, tersedia untuk membaca realitas hidup secara bertanggung-jawab.
Tetapi realitas hidup tidak cukup dibaca dengan ilmu-ilmu itu. Realitas itu juga perlu dibaca dengan kacamata iman, dengan mata kontemplatif. Konstitusi Pastoral tentang Gereja dan Dunia Dewasa Ini menyatakan, “… Gereja selalu wajib menyelidiki tanda-tanda zaman dan menafsirkannya dalam cahaya Injil …(No.4).”
Melalui mata iman yang terus dilatih, dirawat dan dikembangkan, realitas hidup itu akan menjadi semakin transparan. Artinya, dengan membaca realitas dengan kaca mata iman kita akan dapat melihat lebih jauh daripada yang tampak, yaitu kehendak dan rencana Allah dan selanjutnya mewartakan dan mewujudkannya.
Saya menulis renungan ini pada waktu Gereja Katolik Indonesia merayakan Hari Minggu Kitab Suci Nasional. Berkaitan dengan sabda Allah, ada rangkaian tiga kata dalam bahasa Jawa yang menurut keyakinan dan pengalaman saya sangat bermakna dan membantu untuk memahami dan menjalankan peranan kenabian kita.
Kata-kata itu adalah : necep sabda (=mencecap sabda), neges karsa (=mencari dan menemukan kehendak Tuhan), ngemban dhawuh (=melakukan kehendak Tuhan). Agar seorang beriman dapat melakukan kehendak Tuhan dengan tulus – sesudah mencecap sabda – dia akan mengajukan pertanyaan, “Apa yang harus kita lakukan, supaya kehendak Tuhan dapat ditemukan dan dilaksanakan?”.
Ia merasa tidak cukup bertanya, “Apa yang harus saya lakukan, tetapi apa yang harus kita lakukan”. Kalau demikian tidak akan ada lagi persaingan untuk berbuat baik, melainkan kerjasama yang semakin tulus untuk mewujudkan kebaikan bagi semua.
Mgr Ignatius Suharyo
Uskup Agung Jakarta