HIDUPKATOLIK.com – Saya sedang “perang dingin” dengan suami. Permasalahan dimulai sejak suami saya mendapat tour gratis ke Eropa dari kantornya. Tiap tahun pada liburan Natal biasanya kami jalan-jalan sekeluarga. Belakangan saya sangat sedih karena tidak bisa berlibur Natal bersama. Akhirnya, saya pergi bersama anak-anak ke Yerusalem. Ibu suami juga ikut. Masalah bertambah runyam, karena ibu mertua sangat pemarah dan suka menjelek-jelekkan orang. Saya ungkapkan kekesalan hati saya kepada suami melalui BBM. Suami malah murka pada saya, menganggap saya salah. Sepulang dari perjalanan ini, suami ikut menjelek-jelekkan saya di depan keluarganya. Saya merasa ingin bercerai tetapi tidak mungkin. Saya sudah muak dengan perilaku suami. Mohon saran.
Jovita, Jakarta
Ibu Yovita terkasih, pertanyaan ini terus terang sulit dijawab. Problem Ibu begitu kompleks karena tidak hanya melibatkan Ibu dan suami, namun juga keluarga besar pihak suami. Dalam tataran tertentu, pertengkaran suami dengan istri adalah sesuatu yang wajar. Pertengkaran inilah yang akan mendewasakan perkawinan, terutama jika keduanya mampu bersama-sama mencari solusi.
Solusi persoalan Ibu bersama suami dan keluarga besar memang lebih sulit karena hal ini berpulang pada Ibu sendiri. Karena akan sangat sulit menuntut keluarga suami untuk dapat memahami apa yang Ibu rasakan. Masing-masing orang memiliki persepsi yang berbeda-beda terhadap sebuah persoalan. Tentu akan sulit menjelaskan kepada mereka tentang situasi yang saat itu Ibu alami. Bahkan mungkin, apapun alasan yang Ibu ungkapkan, semuanya akan tampak salah di mata mereka. Mari kita coba petakan persoalannya satu demi satu.
Pertama, keputusan suami untuk pergi berlibur sendiri justru pada saat libur yang semestinya dihabiskan bersama keluarga tentu sangat mengecewakan Ibu. Andai ini hanya sesekali saja terjadi, mungkin lebih baik dipahami saja. Penerimaan kita akan memberikan rasa terima kasih pada diri suami dan tentu saja akan membuatnya mengerti bahwa istrinya dapat menerima keputusannya.
Kedua, sikap ibu mertua yang kurang menyenangkan sehingga mengganggu acara wisata keluarga tentu sangat menjengkelkan. Keputusan Ibu untuk bersikap diam adalah langkah yang tepat dan dewasa. Saya dapat memahami situasinya karena semua orang pasti melihat diri kita saat orangtua mencela terus-menerus dan menganggap segala yang kita lakukan salah. Namun, menyerang balik akan lebih melelahkan dan tidak cukup bijak. Merespons sikap keluarga besar suami dengan diam pun merupakan langkah bijaksana. Tidak mudah menjelaskan duduk masalahnya dan situasi kita pada saat itu. Semua orang akan meletakkan tanggung jawab kita sebagai anak dan orang yang lebih muda untuk menjaga orangtua. Jadi, seberapa lantang kita berargumen pasti akan dianggap salah. Langkah diam adalah yang terbaik. Tidak berargumen bukan berarti kita salah.
Merespons sikap suami dengan marah tentu bukan sikap bijaksana. Duduklah bersama, bicaralah dari hati ke hati, mencari situasi yang tenang dan nyaman. Saat ini, Anda berdua sedang dalam kondisi lelah dan jengkel.
Ketiga, pikiran untuk bercerai karena sudah muak tentu kurang bijaksana. Saat hati panas seyogianya tidak mengambil keputusan. Mengapa Anda berdua tidak mencoba mengambil week end berdua dengan pergi ke suatu tempat yang nyaman dan romantis? Sejenak berdua dalam situasi yang nyaman bisa jadi akan memberikan kehangatan untuk menebus segala kejengkelan dan amarah.
Keempat, meminta pihak ketiga yang profesional, dalam hal ini konselor perkawinan, mungkin dapat menjadi bahan pertimbangan untuk memediasi persoalan Anda berdua.
Th. Dewi Setyorini
HIDUP NO.16 2014, 20 April 2014