HIDUPKATOLIK.com – Sudah setengah abad Romo Somar meniti panggilan imamatnya. Tak mudah, tapi terus ia hidupi. Ia selalu bersandar pada kekuatan Tuhan.
Somar lahir di desa terpencil di Senam, tepian Sungai Kumbe, Merauke, Papua, 20 Mei 1932. Ia tumbuh bersama alam yang membentang luas dan dalam keluarga yang penuh kasih. Ayahnya seorang guru agama, berasal dari Larat, desa kecil di Pulau Tanimbar, Maluku. Sang ayah mengajar rupa-rupa hal bagi masyarakat di sekitarnya, serta menjadi bapak bagi sembilan anak. Sang ibu pun demikian. Ia tak hanya menjadi ibu bagi anak-anak, tapi juga ibu yang hadir bagi masyarakat.
“Begitulah cara Tuhan yang membuat saya tumbuh menjadi pribadi yang sungguh merasakan cinta Tuhan,” ujar Romo Somar dengan mata berbinar.
Orangtuanya ingin agar Somar mendapat pendidikan yang baik. Sekolah terbaik di kampung adalah sekolah untuk menjadi Guru Sekolah Dasar, Opleiding Voor Volks Onderwijzers. “Dulu, sekolah ini yang paling tinggi di kampung saya di Merauke,” kenangnya.
Ayah dan ibunya terus mendorong Somar agar melanjutkan pendidikan lebih tinggi. Ia pun merantau ke Kei, Maluku. Sekolah terbaik pada masa itu adalah seminari. “Masuk seminari itu berarti menjadi pastor. Tapi, saya tidak punya keinginan itu,” katanya.
Panggilan menjadi imam nyaris tak pernah ada dalam benak Somar. Cita-citanya satu, ingin seperti para misionaris asing. “Mereka menjadi tokoh yang hidup dalam diri saya. Mereka berwibawa, mengajar, membuat orang lebih maju, membuat orang berubah. Mereka luar biasa. Saya merasa bisa seperti mereka.” Cita-cita itulah yang selalu menari di pelupuk hatinya.
Benih panggilan imamat tumbuh kemudian, tatkala ia melanjutkan pendidikan ke seminari menengah di Manado, Sulawesi Utara. Benih itu tumbuh pelan-pelan. Ia juga baru menyadari, “O iya ya… kalau masuk seminari itu berarti menjadi pastor.” Saat memasuki gerbang seminari tinggi, panggilan itu kian nyata.
Selama menjalani pendidikan calon imam di Manado, tak pernah sekalipun ia menjalin kontak dengan keluarga di Merauke. Untuk mengisi waktu luang dan masa liburan, ia selalu mencari-cari kegiatan, menyibukkan diri dengan beragam aktivitas. Ia tak bisa pulang ke Merauke karena pada masa itu transportasi antarpulau masih amat sulit.
Bahkan, ketika ia ditahbiskan sebagai imam Misionaris Hati Kudus Yesus (Societas Missionariorum Sacratissimi Cordis Jesu/MSC) di Tomohon, Sulawesi Utara, 21 April 1964, tak satupun keluarganya datang. Bersama dua rekannya, ia menerima Sakramen Imamat dari Uskup Amboina Mgr Andreas Peter Cornelius Sol MSC. Baru satu tahun kemudian, Romo Somar pulang ke Merauke untuk menggelar perayaan Ekaristi perdana bersama keluarga.
Penyembuh
Sebagai seorang imam muda, Romo Somar berkarya dengan semangat penuh. Namun, beberapa peristiwa membuatnya merasa aneh. Setiap kali mendoakan dan memberikan Sakramen Pengurapan Orang Sakit, siapa pun dia, orang itu sembuh dari penyakit. Awalnya, ia tak menganggap itu hal yang luar biasa. “Sakramen Tobat dan Sakramen Pengurapan Orang Sakit, memang menyembuhkan. Dan, setiap imam memiliki tugas menyembuhkan mereka yang sakit melalui sakramen,” tuturnya.
Semua itu baru terkuak tak sengaja, ketika Romo Somar mengikuti kursus pelayanan pastoral di East Asian Pastoral Institute, Ateneo de Manila University, Filipina, pada 1982- 1983. Ia berjumpa dengan RP Jaime C. Bulatao SJ, pendiri Bulatao Center for Psychology Services di Manila. Perjumpaan itu membuat Romo Somar sadar, ia memiliki kemampuan lebih.
Ia mengikuti pelatihan-pelatihan yang dibuat Father Bulatao. Melalui pelatihan ini, kepekaan Romo Somar terasah. Dengan meraba, ia bisa melihat. Dengan mendengar, ia pun bisa melihat.
Anugerah ini lalu ia pakai untuk karya penyembuhan. Kemampuan Romo Somar pun cepat menyebar. Ia tak pernah menolak orang yang datang minta kesembuhan. Tapi, semakin banyak orang yang datang, kian meluas pula kecurigaan dan ketidaknyamanan. Rumor datang silih berganti.
Romo Somar mulai membatasi diri untuk menepis segala rumor yang telah menjamur. Ia lebih mengutamakan kaul ketaatan. Ia taat dipindah tugaskan ke Fiji, kepulauan di Samudra Pasifik. Namun, di tempat misi ini ia merajut langkah awal karya- karya bagi sesama.
Selama sepuluh tahun (1984-1994), Romo Somar ditempa di Fiji. Berbagai kesulitan ia arungi. Hari-hari pertama di Fiji, ia tinggal bersama orang-orang sederhana di kampung. Pengalaman itu mengubah arah dan cara berpastoralnya. Ia lebih banyak terlibat dengan umat dan masyarakat setempat. Ia pun semakin menyadari, pewartaan iman membutuhkan keterlibatan. Khotbah di mimbar gereja tidaklah cukup untuk mewartakan iman. Iman harus hidup untuk dan bersama umat.
Altar, dikatakan Romo Somar, adalah perjuangan untuk menyapa dan menyentuh hati mereka yang kehilangan arah, tak peduli terhadap kehidupan, menabrak dalam gelap, limbung menjalani hidup, larut dalam nafsu kedagingan, diliputi keserakahan, kemarahan, ketakutan, kesedihan, dan keputusasaan. “Tapi semua itu tidaklah mudah!” tegasnya.
Menyapa Korban
Romo Somar kembali ke tanah air dengan segudang cerita dan cinta. Ia ingin mendedikasikan Sakramen Imamat yang ia hidupi dalam karya bagi sesama. Ia pun terus berkarya bagi kesembuhan banyak orang. “Kehadiran seorang imam harus menguatkan iman banyak orang. Karena, imanlah yang menyembuhkan mereka yang sakit,” ujarnya.
Peristiwa kerusuhan besar yang melanda Jakarta pada medio 1998, begitu lekat dalam benaknya. Kala itu, Romo Somar bertugas sebagai pastor di Paroki Stella Maris Pluit, Jakarta Utara. Banyak orang meneleponnya dan minta didoakan. Telepon terus berdering. “Karena banyak yang minta didoakan, saya jadi lupa mendoakan mereka. Tapi, mereka selamat. Iman yang telah menyelamatkan mereka.”
Ia terus menggulirkan karya penyembuhan. Dalam karya itu, Romo Somar sering berjumpa dengan korban narkoba. Dari hari ke hari, jumlahnya kian bertambah. Ia pun meneliti dan belajar tentang narkoba. Ia yakin, narkoba merupakan ancaman serius bagi generasi muda. Keyakinan itu mendorongnya untuk mendirikan Yayasan Kasih Mulia (YKM) pada 21 Oktober 1998. Yayasan ini bergerak dalam bidang penyuluhan bagi anak-anak dan orangtua, serta rehabilitasi korban narkoba. Melalui yayasan ini, ia lalu mendirikan Panti Rehabilitasi Kedhaton Parahita di kawasan Sentul City, Bogor, Jawa Barat.
Knockout
Tak terasa, Romo Somar telah meniti panggilan imamat selama setengah abad. Banyak karya yang telah ia buat. “Allah telah mengajak saya menghadirkan Dia dalam kehidupan. Saya akan terus berupaya, walaupun terkadang merasa sulit untuk menjelaskan, menyatakan kehadiran-Nya dalam kehidupan. Meskipun dalam kelemahan dan keterbatasan, saya mencoba menghadirkan cinta Allah.”
Romo Somar terus berkarya, meski usianya lebih dari 80 tahun. Baginya, usia hanyalah angka. Ia teringat seorang ibu tua berusia 90 tahun yang memberinya inspirasi. Karena sudah renta, ibu itu hanya tergolek di ranjang. Romo Somar kerap mengunjunginya.
Dalam salah satu kunjungannya, Romo Somar berkata, “Ibu, karena berkat Tuhan, ibu bisa menikmati hari tua dan tidak perlu bekerja lagi. Sontak ibu itu berteriak, “O… Pastor, jangan bilang saya tidak bisa bekerja! Pastor tahu tidak, saya setiap hari berdoa untuk pastor. Pastor bisa berhasil, karena doa-doa saya.”
“Ya ampun, saya benar-benar kena knockout di situ. Dia menjadi salah satu inspirasi hidup saya. Hidup tak pernah pensiun. Doa itu juga bekerja. Tuhan masih memberikan waktu bagi saya untuk memberikan kesaksian, bahwa Tuhan adalah penyelamat. Tuhan lebih kuat dari apapun.”kramen,” tuturnya.
Y. Prayogo
HIDUP NO.17 2014, 27 April 2014