Kasus ini telah mengguncang Gereja India selama tiga bulan terakhir. Peristiwa dimulai setelah sang biarawati, mantan Jenderal Superior Kongregasi Missionaries of Jesus di bawah pengawasan uskup, melapor ke polisi pada 27 Juni.
Dalam pengaduan tersebut, biarawati menyebutkan bahwa sang uskup melakukan tindakan kekerasan seksual ketika ia berkunjung ke sebuah biara di distrik Kottayam, negara bagian Kerala, dari 2014 sampai 2016. Setelah itu, Uskup Mulakkal melakukan hal yang sama sebanyak 12 kali.
AKBP Kepolisian Kottayam, Hari Shankar –yang masuk dalam tim penginterogasi– memberitahukan kepada media bahwa hasil investigasi menyimpulkan, pengaduan ini memiliki dasar yang logis.
Sehari sebelum penangkapan, pejabat Gereja India memberitahukan keputusan Vatikan untuk membebas-tugaskan Mulakkal dari keuskupan.
Untuk mengisi kekosongan posisi, Vatikan menunjuk Uskup Pembantu Angelo Rufino Gracias dari Bombay sebagai administrator apostolik “sede pleana et ad nutum Sanctae Sedia.” Artinya, Uskup Mulakkal akan tetap menjadi uskup diosesan, meskipun urusan administratif dipegang oleh prelatus lain dan situasi tersebut tetap berada “pada kehendak Takhta Suci.”
Pihak otoritas Gereja tampak berhati-hati dalam merespons penahanan ini. Konferensi Waligereja India mengeluarkan dua kalimat pernyataan pers rilis, “Ini adalah hal yang menyedihkan buat kita semua. Kami berdoa untuk semua pihak yang terlibat: Uskup Mulakkal, biarawati yang bersangkutan, Keuskupan Jalandhar, dan Kongregasi Missionaries of Jesus.”
Di sisi lain, Kerala Catholic Bishops Council (KCBC) justru mengutuk penahanan atas Uskup Mulakkal. Dalam siaran persnya, KCBC menyatakan bahwa demo yang dilakukan para biarawati adalah “konspirasi untuk mengacaukan tatanan hierarki Gereja Katolik.” Bahkan Kongregasi Missionaries of Jesus membela Uskup Mulakkal sebagai “jiwa yang tidak berdosa,” dan mengutuk aksi protes yang dilakukan anggota kongregasinya.
Elisabeth Chrisandra J.T.D/dari berbagai sumber