HIDUPKATOLIK.com – Romo yang baik, saya Alodia. Umur saya 20 tahun dan pacar saya 22 tahun. Belum lama ini, saya mengaku kepada pacar bahwa saya seorang biseksual. Saya memang tidak pernah berhubungan dengan perempuan, namun saya pernah beberapa kali naksir perempuan. Pacar saya mengerti dan tidak mempermasalahkan hal tersebut. Pacar saya seorang Katolik, menganut budaya Barat di mana hubungan seks merupakan kebutuhan. Saya sudah beberapa kali melakukan hubungan seks dengan dia.
Saya bingung dan depresi. Hampir setiap hari saya menangis dan ingin bunuh diri. Saya merasa seperti sampah, karena saya seorang biseksual dan telah melakukan hubungan seks terlarang. Apa yang dapat saya lakukan untuk memperbaiki hidup saya? Terima kasih.
Alodia, Jakarta
Yang terkasih, Alodia. Terima kasih atas sharing kisah hidupmu dengan segala lika-likunya. Berhubungan seks hanya boleh terjadi dalam kerangka perkawinan suci, bukan dalam masa pacaran. Hubungan seks bukanlah sesuatu yang kotor, jorok, dan tabu maka dilarang; tetapi baik, indah, dan suci maka harus diterima dengan penuh tanggung jawab (Kej 1:27-28). Apa jaminan bahwa kedua belah pihak bertanggung jawab penuh? Jawabannya adalah perkawinan suci. Negara memandangnya sebagai lembaga resmi, Gereja mengangkatnya menjadi sakramen, yakni simbol suci yang secara nyata menghadirkan rahmat cinta Kristus pada umat-Nya (bdk Ef 5:32). Jika demikian agungnya suatu hubungan badan dan koridornya adalah perkawinan suci, maka tidak ada tempat lain yang boleh menjadi ajang hubungan seks.
Namun, seringkali dalam masa berpacaran orang menuntut bukti cinta dengan meminta hubungan seks dengan pacarnya, atau membuktikan cintanya pada pacarnya dengan memberikan diri untuk hubungan seks. Apakah ini benar merupakan suatu cinta? Apakah cinta itu sama dengan hubungan seks? Tentu saja tidak!
Menurut kacamata teologi tubuh Yohanes Paulus II, pacarmu dan dirimu dengan melakukan hubungan seks di luar perkawinan suci, tidak sedang saling mencintai, tapi saling menggunakan tubuh kalian untuk tujuan kenikmatan seksual semata.
Mengenai dirimu yang engkau gambarkan sebagai biseksual, mungkin engkau dapat berkonsultasi dengan psikolog yang berpengalaman untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap tentang dirimu, sehingga engkau dapat mengenal dirimu dengan lebih tepat.
Mengenai ketertarikan pada sesama jenis, Gereja menyebutnya sebagai “salah tujuan” (objectively disordered), tetapi Gereja juga mengajarkan untuk membedakan antara pribadi homoseksual dan perbuatan homoseksual. Gereja dengan tegas menolak segala bentuk perbuatan homoseksual, misalnya berhubungan seks, pernikahan, dll.
Namun, di sisi lain, yang jauh lebih penting, Gereja mengajak kita semua untuk menolak diskriminasi yang tidak adil pada pribadi homoseksual dan untuk menerima mereka dengan hormat, penuh kasih dan penuh kepekaan, namun juga mengundang pribadi yang demikian untuk menyatukan segala kesulitan hidupnya dengan pengorbanan Yesus di kayu salib (KGK 2358), sehingga penderitaan ini berbuah positif dalam perkembangan kepribadian dan iman orang tersebut.
Jadi Alodia, engkau tidak perlu melihat diri sebagai sampah, menangisi diri, bahkan ingin bunuh diri. Engkau berarti dan berharga di mata Allah, juga di mata Gereja-Nya yang kudus! Namun juga, di sisi lain, janganlah menyerahkan diri pada kesia-siaan pemikiran dunia tentang seks. Berpacaranlah yang sehat, serahkan semua beban hidupmu kepada Yesus dan Dia siap mengubahnya menjadi sesuatu yang indah bagimu. Tuhan memberkati.
Dr Benny Phang Ocarm
HIDUP NO.17, 27 April 2014