HIDUPKATOLIK.com – Nyanyian Gregorian dapat dipahami, dihayati, dan diapresiasi pada level arsitektur, ritual, dan akustik.
Dentang lonceng tua dari kapel biara Benediktin membelah kesunyian pagi Kota Nursia, Italia. Suara lonceng itu memanggil rahib-rahib keluar dari kensunyian. Di tengah Pegunungan Umbria, para rahib berjubah hitam berbaris memasuki kapel. Nampak di tengah kapel, cahaya matahari perlahan menembus jendela tua seraya menyinari salib berlapis emas yang telah berdiri menyaksikan perjuangan iman para rahib Benediktin selama berabad-abad.
Di kesunyian itu juga, seketika tembang Gregorian yang menggema menembus batas-batas pegunungan. Melalui tembang Gregorian, mereka memuji Allah yang tidak dapat dijangkau dengan nalar manusia. Bagi para rahib, nyanyian adalah sebuah doa. Nyanyian menjadi ungkapan ekpresi fisik yang melibatkan tubuh, jiwa, dan roh akan penyerahan total kepada Tuhan.
Demikian juga diyakini Bruder Ignatius Bintang Prakasa, OSB. Rahib Benediktin asal Indonesia ini sehari-hari ditemani tembang Gregorian. Namun, tak hanya ketika ia akhirnya memilih hidup menjadi pengikut Regula St Benekditus di Nursia. “Kecintaan saya pada Gregorian telah bersemi jauh sebelum memutuskan untuk menjalani hidup sebagai seorang rahib,” ujar Bruder Ignacio, panggilan akrabnya di Biara Benediktin Nursia.
Bertemu Gregorian
Kecintaan Bruder Ignacio kepada musik Gregorian dimulai ketika ayahnya, Gardono, seorang seniman kondang pembuat patung selamat datang Bundaran Hotel Indonesia, mengenalkan nyanyian Gregorian kepadanya. Sejak kecil, bakat musik rahib yang selalu mengenakan jubah Benediktin ini telah terlihat. Jemari-jemari panjangnya lihai menari di atas tuts-tuts organ. “Ayah saya yang mengenalkan kepada saya musik Gregorian ketika saya masih kecil,” ujar kelahiran Yogyakarta, 30 Mei 1965 ini.
Menyadari bakat bermusiknya, semasa remaja Bruder Ignacio aktif menjadi organis di Gereja Kristus Raja Baciro dan Gereja Santo Yusuf Bintaran, Yogyakarta. Kemilau talenta bermusiknya pun ditangkap oleh Pemimpin Pusat Musik Liturgi (PML), Pastor Karl-Edmund Prier SJ. Ia diminta untuk mengajar musik di PML.
Tidak hanya itu, Bruder Ignacio juga pernah terlibat di Komisi Liturgi Keuskupan Agung Semarang (KAS) dan Komisi Liturgi Konferensi Waligereja Indonesia (KWI). Bakat bermusiknya pun semakin terasah kala ia melanjutkan studi di Irlandia (2001-2002). Di sana, ia mendalami Interpretasi Nyanyian Gregorian. Masa Studi di Irlandia inilah yang membawanya menemukan panggilan menjadi seorang rahib Benediktin. “Rasanya di Irlandia inilah yang akhirnya menyemai benih panggilan saya.”
Kidung Gregorian sendiri lahir dari kehidupan monastik yang menerapkan “Ibadat Suci”. Doa ini dinyanyikan sembilan kali sehari pada waktu-waktu tertentu seturut dengan regula Santo Benediktus. Bruder Ignacio menjelaskan, sebagian besar pendarasan ayat-ayat Mazmur mendominasi rutinitas hidup monastik. Meskipun berumur sangat tua, musik Gregorian tidak hilang tergerus jaman malah semakin menunjukkan pesonanya di tengah kekeringan rohani manusia.
Pentingnya Gregorian
Alumnus S1 jurusan sejarah Universitas Gadjah Mada (UGM) ini menjelaskan, musik Gregorian dimulai dengan penemuan notasi Gregorian oleh Paus Gregorius Agung pada tahun 590. Semasa hidupnya, ia mencatat ratusan lagu-lagu Gereja dengan notasi Gregorian. Notasi ini memakai empat garis paranada dengan not kotak-kotak (neume). Notasi irama ini masih memiliki sifat lagu tunggal atau monofoni.
Sejak itu, kidung Gregorian menjadi penting karena menjadi pusat tradisi musik Kekristenan Barat. Musik jenis ini ketika itu dipakai mengiringi perayaan Misa dan ibadat-ibadat ritual lainnya. Kidung Gregorian merupakan musik tertua yang dikenal karena menjadi kumpulan kidung pertama yang diberi notasi pada abad ke-10.
Apa yang dimulai Paus Gregorius Agung kemudian diteruskan Paus-Paus setelahnya. Bruder Ignacio menambahkan, liturgi ini pun diteruskan dan dibakukan menjadi liturgi untuk seluruh Gereja. Ini lalu dibukukan di dalam buku panduan Misa resmi berjudul Missale Romanum atas titah Santo Paus Pius V. “Nyanyian Gregorian berawal awalnya berdasarakan teks-teks Misa yang digunakan dalam liturgi di Roma. Seiring waktu menjadi liturgi yang diterima seluruh Gereja.”
Ciri khas nyanyian Gregorian berpangkal pada aksentuasi teks latin. Nyanyian Gregorian, lanjut Bruder Ignacio, berbeda dengan lagu-lagu modern, seperti musik rohani yang beredar luas. Melodi dalam Gregorian adalah elaborasi dari aksentuasi kata-kata yang sudah ada pada teks latin. “Melodinya praktis dan tidak dilahirkan dari kata-katanya tetapi ditempelkan pada kata-katanya.”
Hanya Latin
Satu-satunya rahib berkebangsaan Indonesia di Biara Benediktin ini juga memberikan keterangan mengapa nyanyian Gregorian hanya menggunakan bahasa Latin. Hal ini karena Gregorian timbul dari aksentuasi Latin. Ia menilai, jika teks Latin diterjemahkan begitu saja, maka letak aksentuasi kata-katanya akan berubah. Padahal, melodi mengikuti aksentuasi kata-kata Latin. Ia mencontohkan, komposisi “Graduale” (lagu yang dinyanyikan setelah bacaan pertama atau epsitola) berjudul “Dirigatur”.
Dalam perjumpaan dengan HIDUP, Bruder Ignacio menyanyikan sepenggal “Dirigatur”. “Dirigatur oratio mea sicut incensum in conspectu tu Domine”, ‘Sekiranya diarahkan doaku membumbung bagai dupa di hadirat-Mu ya Tuhan’. Ia menunjukkan, meski orang tidak memahami arti teksnya ia akan tergerak dengan keindahan dari alunan lagu ini.
Bruder Ignacio menunjukkan, aksentuasi Latin pada kata “sicut incensum” saat diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, kata ‘membumbung bagaikan asap’ tidak pas dengan melodi yang diletakkan pada aksentuasi Latin. “Hal ini menunjukkan kata yang ditimbulkan dari hasil penerjemahan menjadi banyak sehingga mengurangi keluwesan melodi yang dipakai dalam teks latin.”
Penerjemahan yang ideal, ia mencatumkan pengertian kata satu persatu dari kata Latin baru kemudian dibarengi terjemahan bebas. Dengan begitu, tambah Bruder Ignacio, penerjemahan harus mengungkapkan arti keseluruhan sekaligus membuat orang mengerti mengapa komposer meletakan melodi dalam kata tertentu naik atau turun. “Aliran melodinya kurang terasa. Ini salah satu contoh mengapa estetika dan pemahaman Gregorian ini sangat erat dengan bahasa Latin.”
Arsitektur Gereja
Gregorian ternyata juga menganggap penting tempat dimana ia dinyanyikan. Bruder Ignacio mengatakan, di gereja dengan tingkat akustik bagus, sebuah nyanyian Gregorian akan mampu terdengar indah. Ia menilai, arsitektur gereja sekarang memiliki tingkat akustik kering. “Sekarang banyak gereja yang berkarpet dan beratap rendah. Nyanyian Gregorian akan mati di situ,” ujar bruder yang mengikrarkan kaul kekal pada 31 Juli 2011 ini.
Bruder Ignacio membandingkan dengan arsitektur Katedral Jakarta yang memiliki atap tinggi dengan gerakan vertikal. Menurutnya, arsitektur demikian memberikan ruang yang sangat leluasa untuk mengembangkan Gregorian.
Arsitektur gereja masa kini juga tidak menampakkan misteri yang berbicara. Liturgi menjadi kering dan logis karena gereja modern tidak dibangun dengan prinsip revelasi dan misteri. Gereja sekarang dibuat dengan prinsip gedung pertemuan yang hanya menampakkan semua yang ada tanpa menyediakan relung-relung untuk menyepi dan merenung.
Bruder Ignacio berpendapat, nyanyian Gregorian itu bisa dipahami, dihayati, dan diapresiasi pada level arsitektur, ritual, dan akustik. Ia optimis, Gregorian akan punya masa depan di Asia. “Musik ini mampu menarik jiwa ke dalam kedamaian, keteduhan, dan kontemplatif. Ini mudah menyapa orang Asia.”
Ignatius Bintang Prakasa OSB
TTL : Yogjakarta, 30 Mei 1965
Pendidikan :
– S1 Sejarah UGM, Yogyakarta.
– S2 Interpretasi Nyanyian Gregorian Universitas Limerick, Irlandia.
Felicia Permata Hanggu