HIDUPKATOLIK.com – Pentas, bagi komunitas ini, merupakan bentuk pelayanan dan syukur kepada Tuhan. Para anggotanya dibekali dengan ilmu kehidupan dalam melestarikan budaya warisan leluhur.
Senyum ceria terpancar dari wajah Nicholas Rino saat memandu teman-temannya dalam acara peresmian Sekolah Tinggi Katolik Seminari (STIKAS) St Yohanes Salib Landak, Pontianak, Kalimantan Barat, akhir Maret lalu. Mereka, para pemusik dari Sanggar Sanjati Tarigas Sidi (STS), mempersiapkan alat-alat musik, seperti Beduk khas Kalimantan, Gadabong yang berfungsi sebagai musik pengiring, Kelenong atau Dau yang berfungsi sebagai musik melodi, serta beberapa Gong yang berfungsi mengimbangi irama musik yang dimainkan.
Pada acara ini, STS hadir lengkap, baik pemusik maupun penari, baik perempuan maupun laki-laki. “Bahagia sekali rasanya, karena bisa mementaskan musik dan tarian di acara peresmian kampus ini,” kata Nicholas, koordinator penata musik dan tari STS.
Kali itu, STS mempersembahkan tarian penyambutan tamu atau dalam bahasa setempatnya di sebut Payubarak’ng Atang’ng. Menurut pemimpin sanggar STS, Erni Yovita Ludis, tarian Payubarak’ng Atang’ng ini merupakan tarian penyambutan tamu agung, atau tamu terhormat, berbeda dengan penyambutan tamu biasa. Tarian ini, terangnya, dipersembahkan oleh gadis-gadis yang membawa beras kuning untuk ditaburkan kepada tamu, sementara penari pria akan dilengkapi dengan mandau atau sebilah pedang.
Beras kuning yang ditaburkan pada tamu, jelas Erni, mengungkapkan doa selamat dan pembebasan dari gangguan roh jahat. Sedangkan mandau akan digunakan oleh salah seorang tamu agung tersebut untuk memotong bambu yang ditempatkan melintang. Upacara adat Dayak ini merupakan simbol pembukaan jalan agar sang tamu bebas dari segala rintangan, hambatan dan gangguan selama kunjungan. Kemudian, lanjutnya, para tamu diiringi musik dan penari, berjalan sampai ke pintu masuk, sehingga semuanya berlangsung selamat sentosa tanpa gangguan apa pun.
Memupuk Pelayanan
Sanggar ini didirikan di Ngabang, ibu kota Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Secara harafiah sanjati berarti sejati; tarigas berarti cantik, baik, elok, manis; dan sanjati berarti benar-benar. Maka, sanggar ini pun mengusung semangat menari dan bernyanyi dengan gembira. Dengan demikian, kata Erni, setiap kali pementasan mereka selalu berusaha menyuguhkan kegembiraan itu lewat tarian yang indah dan nyanyian yang merdu. Sanggar yang berdiri sejak 27 Mei 2007 ini, jelasnya, memiliki dua fokus pelayanan, yaitu melayani kegiatan kenegaraan seperti acara pelantikan gubernur atau bupati, dan acara Gereja Katolik seperti peresmian rumah ibadah atau sekolah dan menyambut kunjungan pemimpin Gereja Katolik. Selain itu, sanggar STS sering mengisi acara tarian dalam upacara syukur atas naik dong (hasil panen).
Florensius Aspianto, pemain Kelenong atau melodian, sudah bergabung dengan sanggar ini sejak SMP. Hampir semua pementasan mereka, katanya, adalah untuk mengisi acara pemerintahan seperti menyambut pejabat pemerintah daerah, dan acara-acara akbar yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun Gereja. “Ini kecintaan kami pada budaya Dayak, dan setiap kali pesta panen kami selalu mempersembahkan tarian pesta panen,” jelasnya.
Sanggar ini, jelas Aspianto, juga tetap memelihara tarian-tarian yang diwariskan dari generasi ke generasi, seperti Tarian Tangkap Ikan dan Tarian Tanam Padi. Secara umum tarian-tarian seperti ini merupakan bagian dari upacara ritual sebelum melakukan sesuatu, sebagai simbol harapan agar apa yang dilakukan itu dapat mendatangkan sukses. “Sebelum tanam padi, dilakukan ritual adat melalui tarian, karena dengan begitu masyarakat Dayak meyakini, bibit yang ditanam itu dapat tumbuh subur dan menghasilkan panen berlimpah,” jelas pemuda yang kini duduk di bangku Kelas XII ini.
Erni menandaskan, hampir semua pementasan, mereka tidak meminta bayaran. Sanggar STS memiliki prinsip bahwa seluruh pementasan itu harus bersifat melayani, sebagai ucapan syukur atas kebesaran Tuhan yang telah menganugerahi mereka talenta menari, bermain musik, dan menyanyi. Pementasan itu juga sebagai bentuk pelayanan terhadap sesama.
Warisan Budaya
Materi utama pembelajaran dalam sanggar ini adalah bermain musik, menyanyi, dan menari. Tetapi, STS juga melatih anggotanya untuk hidup disiplin dan menghargai waktu; menyadarkan anggota untuk menghargai kelebihan dan kekurangan dalam diri; serta pembinaan kehidupan rohani melalui doa bersama. Bagi para anggota yang masih sekolah, dibentuk kelompok belajar, sehingga tugas sekolah mereka tidak terbengkalai karena jadwal latihan.
“Jadwal latihan di sanggar STS sesungguhnya tidak terlalu padat, hanya dua sampai tiga kali dalam seminggu. Biasanya pada Rabu, Sabtu, dan Minggu. Menjelang pementasan besar, biasanya latihan rutin hampir setiap hari,” jelas Nicholas. Dalam seluruh proses pembinaan ini, menurutnya, sanggar STS memiliki beberapa tujuan yang ingin dicapai, antara lain untuk menjaga dan mewariskan kekayaan budaya masyarakat Dayak, serta untuk membina watak dan karakter generasi muda supaya tidak mengabaikan warisan budaya yang ada. Selain itu, sanggar STS dapat mengasah talenta orang muda dalam bidang seni.
“Kami menyakini,” kata Nicholas, “seni adalah sarana yang paling bebas untuk mengekspresikan segala ide yang kita miliki.”
Norben Syukur
HIDUP NO.18, 4 Mei 2014