HIDUPKATOLIK.com – Saya, 25 tahun. Sejak lima tahun lalu, ayah dan ibu sering bertengkar. Pertengkaran seringkali dipicu hal-hal praktis sehari-hari di rumah. Pernah suatu hari ibu berkata, “Sebenarnya, sudah lama Ibu ingin bercerai tapi karena ada kalian, Ibu bertahan.” Keinginan ibu bisa dimengerti. Ayah memperlakukan ibu sangat kasar (membentak, menghina, merendahkan, mengancam), meskipun bukan dalam bentuk kekerasan fisik. Di mata ayah, semua yang dilakukan ibu salah. Saya sering heran, ayah orang Katolik taat tapi bisa memperlakukan ibu seperti itu.
Wajarkah jika saya ingin ibu menceraikan ayah dan mencari ayah lain agar hidupnya bahagia? Apakah ada cara lain selain berdoa agar relasi mereka harmonis?
BD, Bandung
Kehidupan di rumah yang diwarnai dengan pertengkaran orangtua tentu tidak nyaman. Tidak hanya bagi anak-anak, tetapi juga bagi ayah-ibu. Berdasarkan paparan dalam surat Anda, ayah-anda termasuk pria temperamental sekaligus berkeyakinan kukuh bahwa dalam kehidupan keluarga, laki-laki (suami) lebih superior daripada perempuan (istri). Dalam urusan-urusan praktis, dia cenderung memilah aktivitas-aktivitas (apalagi yang sifatnya domestik) dalam dua kategori definitif: mana yang seharusnya dilakukan laki-laki dan mana yang ‘hanya’ layak serta harus dilakukan oleh perempuan.
Ketegangan emosi dan ketidaknyamanan di rumah mungkin bisa dihindarkan bila ayahanda beristrikan perempuan yang patuh-total pada pandangan dan sikap hidup yang menempatkan superioritas laki-laki atas perempuan, dan menerima tanpa syarat semua kewajiban yang ‘hanya’ layak dilakukan kaum perempuan. Tetapi, ibu Anda bukan perempuan konvensional seperti itu. Ia berani mengungkapkan sikap serta opini pribadinya saat menghadapi tekanan dari ayahanda yang temperamental dan konvensional. Salah satu akibatnya adalah sering terjadi pertengkaran antara ayah dan ibu Anda. Mungkin saja selain perbedaan prinsip, ada hal-hal lain yang pernah terjadi dalam relasi ayah ibu Anda di masa lalu, yang hingga sekarang efeknya masih terasa dan sering meletup dalam bentuk pertengkaran.
Bagi ibu Anda, suasana rumah yang diwarnai pertengkaran ini tidak ringan. Suasana seperti ini seringkali memblokir munculnya perasaan tenteram dan bahagia. Bila dalam pikiran Anda muncul keinginan agar ibunda menceraikan ayahanda ya itu wajar. Apalagi sebatas di pikiran. Bahkan, ibu Anda pernah berucap “ingin cerai”. Tentu di balik itu ada beban yang tidak ringan. Nyatanya, tak sedikit pasangan suami-istri tetap bertahan dan berupaya terus mempertahankan bahtera rumah tangganya. Ibu Anda salah satunya. Alasan “tak cerai karena ada anak-anak” bagaimanapun merupakan alasan yang paling bisa dipahami rasionalitasnya bila kita coba menempatkan hati kita pada realitas batin ibu Anda. Itu semacam kebijaksanaan praktis ibu Anda yang mesti dipahami dalam konteks tindakan “mencintai” anak-anaknya. Tindakan mencintai seringkali beriringan dengan kerelaan mengorbankan diri secara diam-diam.
Berdoa memohon kembalinya suasana harmonis keluarga, dan terbukanya mata hati ayahanda atas sikap-ucapan-tindakannya yang tak selayaknya dilakukan selaku orang Katolik, tentu hal yang baik Anda lakukan. Selain itu, upaya praktis yang perlu diagendakan adalah memediasi dialog keluarga. Sebagai pihak netral, Anda bisa memulainya dengan membuka dialog empat mata dengan ibu, dengan ayah pada saat yang tepat. Setelah itu, carilah waktu, suasana, dan lokasi yang kondusif untuk mendialogkan bersama hasil-hasil dialog sebelumnya. Apapun dan seberapapun hasil dialog bersama itu, efeknya akan lebih konstruktif ketimbang hanya membiarkan suasana ketidaknyamanan terus mengapung tanpa jeda dan muara. Saya yakin, Anda mampu berperan sebagai mediator dalam dialog itu.
Selamat mencoba!
H.M.E. Widiyatmadi
HIDUP NO.18, 4 Mei 2014