HIDUPKATOLIK.com – Selama 25 tahun dia menangani keuangan Gereja. Namun, dia mengaku tak banyak pengetahuan soal ekonomi. Semua berkat Allah, ketaatan kepada uskup, dan bantuan awam.
Roy, demikian panggilan kelahiran Jakarta, 3 Mei 1959 ini. Dia merupakan anak kelima dari delapan bersaudara. Orangtuanya, Bambang Djakarya dan Veronica Hetty merupakan importir film asing kala itu. Lantaran usaha tersebut, Bambang dan Veronica acap keluar negeri. Sementara buah hati mereka di rumah karena harus bersekolah.
Selama tak ada di rumah, Bambang dan Veronica sering memberikan uang kepada Roy. Duit itu untuk keperluan makan-minum dirinya bersama kakak-adiknya. Roy menyebut titipan orangtuanya sebagai uang belanja. Dia harus cermat mengurus fulus itu. Segala pengeluaran harus diperhitungkan secara cermat.
Di satu sisi, uang itu harus cukup sampai orangtuanya kembali ke rumah. Di sisi lain, kebutuhan pokok saudara-saudarinya harus bisa terpenuhi secara layak. “Apakah Bapak Uskup memilih saya karena pengalaman masa lalu itu? Saya tak tahu dan juga tak pernah menanyakan hal tersebut kepada beliau,” ujar Romo Roy, saat ditemui di kantor Dana Pensiun Konferensi Waligereja Indonesia (Dapen KWI), Grogol, Jakarta Barat, Senin, dua pekan lalu.
Tiga Uskup
Romo Roy didapuk sebagai bendahara Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) oleh Uskup Agung Jakarta waktu itu, Mgr Leo Soekoto (1920-1995). Kepercayaan itu ia emban sejak 1993. Atau, lima tahun sesudah menerima tahbisan imamat, di Gereja Katedral St Perawan Maria Diangkat ke Surga Jakarta.
Sebagai imam muda kala itu, penugasan sebagai ekonom tak serta merta diterimanya dengan hati berbunga. Banyak imam muda, termasuk Romo Roy, memilih menghindari tugas itu. “Bahkan saya tidak pernah membayangkan sebelumnya, kalau saya akan ditugaskan sebagai ekonom,” ujarnya.
Semula Romo Roy mengira tugas itu akan digelutinya selama beberapa tahun saja. Ternyata, 18 tahun lamanya pelayanan itu bertengger di pundaknya dengan segala suka dukanya. Selama rentang waktu itu, Romo Roy sudah merasakan dan bekerjasama dengan tiga uskup berbeda: Mgr Leo, Kardinal Julius Riyadi Darmaatmadja SJ, dan Mgr Ignatius Suharyo.
Mantan Pastor Rekan Paroki St Robertus Bellarminus Cililitan, Jakarta Timur dan Paroki Katedral, Jakarta Pusat itu mengakui, karya yang dijalani hampir dua dasawarsa tersebut semata-mata kepercayaan dari Allah dan ketaatannya kepada uskup. “Bukan berdasarkan kemampuan intelektual saya. Tapi, saya yakin, jika Allah menghendaki (saya) untuk mengemban tugas ini, Dia akan melengkapi. Bukan juga karena kemampuan ekonomi (saya), namun semua karena ketaatan kepada uskup,” ungkap moderator komunitas Profesional dan Usahawan Katolik KAJ ini, merendah.
Secara jujur, Romo Roy mengaku tak punya latar belakang pengetahuan dan keterampilan yang memadai di bidang ekonomi. Hanya secuil pengalaman di bidang itu yang dia dapatkan sewaktu di bangku SMA, karena mengambil jurusan Sosial-Ekonomi. Lagi, sebelum menjadi frater dia sempat mengambil kursus Tata Buku.
Seiring waktu bergulir, tugas ekonom yang diemban Romo Roy sejak 1993 hingga 2011, perlahan-lahan dihayati sebagai karya yang berbuah kebahagiaan. “Lama-lama saya menyukai juga tugas itu. Saya pun bisa mengerjakannya dengan lebih gembira,” paparnya.
Meski begitu, bukan berarti pelayanan ini jauh dari onak dan duri. Ada masa di mana Romo Roy sungguh memeras keringat, karena tantangan Gereja KAJ dengan pelbagai pernik kerumitannya. Selain teritori yurisdiksinya tak bisa dibilang kecil, kondisi umatnya pun amat heterogen, apalagi dengan banyaknya lembaga hidup bakti yang berkarya di KAJ, baik klerikal maupun laikal.
Bangun Sistem
Kondisi tersebut seolah menantang Romo Roy untuk membangun sistem keuangan KAJ yang terpadu dan dapat mewadahi keragaman itu. Sistem ini bukan sekadar menyediakan perangkat kerja keuangan, tapi mencakup pembangunan kerangka pikir umat, mulai level paroki hingga keuskupan. Usaha itu pun harus memperhitungkan mobilisasi imam tarekat di KAJ yang cukup tinggi.
Dia menjelaskan, hampir dua atau tiga tahun selalu ada pergantian imam tarekat yang berkarya di KAJ. Mereka datang dari keuskupan lain yang punya sistem reksa keuangan yang berbeda. “Karena itu, saya harus mengulang lagi soal sistem keuangan yang saya bangun di KAJ. Ini perkerjaan yang tidak mudah,” ungkap Romo Roy.
Situasi ini masih dibumbui dengan pergantian Dewan Paroki di KAJ yang rutin dilakukan tiga tahun sekali. Tugas ekonom untuk mensinkronisasi laporan keuangan tiap paroki bak jalan di tempat. Tak pelak, ketika berkunjung ke paroki-paroki untuk mengaudit, dia merasakan kekhawatiran para pengurus.
Padahal dia datang bukan untuk mencari kesalahan tapi memperbaiki jika ada data yang tak sesuai. Muaranya jelas untuk kebaikan pada masa mendatang. Demi meraih impian itu, maka KAJ menerbitkan buku panduan tata kelola keuangan Gereja. Inilah tindak lanjut dan jawaban atas kesulitan-kesulitan yang selama ini dia hadapi.
Tak lagi menjadi Ekonom KAJ, Romo Roy kembali dipercaya mengurusi Dapen KWI. Jika dulu cakupannya KAJ, kini pelayanannya mencakup semua keuskupan di Indonesia. Tanggung jawab yang dipikulnya pun berlaksa. “Aset (Dapen KWI) saat ini sekitar Rp 2,1 triliun. Peserta aktif sekitar 19-20 ribu, sedangkan tak aktif ada tujuh ribu orang,” bebernya.
Di ladang karya baru itu, Romo Roy bersama timnya “dituntut” untuk selalu mencari solusi untuk mengembangkan dana yang dipercayakan kepada mereka, namun di sisi lain harus cermat dan hatihati mengelola dana yang bernilai aduhai tersebut.
Kuk yang dipikulnya ini memang tak mudah. Tapi, dia optimistis, Tuhan bakal melengkapi kekurangannya. Salah satu kebaikan Tuhan yang dia alami dan rasakan adalah bantuan orang lain, terutama umat, dalam karyanya di bidang finansial.
Berkat mereka wawasannya semakin diperkaya. Dia juga tak sendirian mengurus perkara yang maha sulit tersebut. Sehingga segala urusan bisa ditangani bersama-sama. “Yang penting punya kerendahan hati untuk belajar,” pesan imam berkacamata ini.
Kesehatan Imamat
Berbalut suka-duka, dan jatuh-bangun melakoni kerasulan ini, Romo Roy terus menghunjukkan syukur dan permohonan agar Tuhan berkenan memberkati pelayanannya bagi Gereja. Sebab, karyanya ini tak melulu soal uang tapi juga sarana pewartaan untuk orang-orang di sekitar. “Petugas parkir di kompleks ini akhirnya mengetahui ada juga pastor yang kerja di bidang ini (keuangan),” terang Romo Roy, sembari tertawa.
Pada usia imamat yang ke-30, pada 15 Agustus tahun ini, dia berharap agar tetap setia menjalankan perutusan tersebut, sehat secara fisik, dan imamat. Untuk harapan terakhir itu, Romo Roy berusaha untuk tetap memberikan pelayanan sakramental serta membangun kebersamaan dengan para imam, antara lain lewat kehadirannya dalam pertemuan dengan para imam diosesan serta para imam dari berbagai tarekat yang berkarya KAJ, serta temu pastoral.
Dia menyadari identitas dan karya utamanya adalah seorang imam, yang kemudian dipercayakan untuk mengurus soal keuangan. Hingga saat ini, Romo Roy sudah 25 tahun “menebar jala” di “samudera keuangan” Gereja. Selama rentang waktu tersebut, dia mengakui, semata-mata bukan karena kemampuan atau keterampilan pribadi, tapi karena kebaikan Allah, ketaatan kepada uskup, dan bantuan umat. “Jika Allah menghendaki saya untuk mengemban tugas ini, Dia akan melengkapi,” tandasnya.
Yanuari Marwanto