HIDUPKATOLIK.com – “Di sini orang sangat rindu punya Kitab Suci, sedangkan saya mengabaikan Kitab Suci yang telah saya miliki.”
“AKU bangga jadi anak Katolik,” seruan itulah yang keluar dalam sebuah lagu yang dinyanyikan Anak-anak yang tergabung dalam Serikat Kepausan Anak dan Remaja Misioner (Sekami) di dua stasi di bawah Paroki Maria Bunda Karmel Mansalong, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Pada bulan Juni, 13-22, Paroki Mansalong menerima kedatangan Rasul Misioner atau Apostolus Missionis Keuskupan Bogor.
Kedatangan Apostolus Missionis ke komunitas Suku Dayak Agabag merupakan kelanjutan misi sebagai bentuk kerjasama antara Keuskupan Tanjung Selor dan Keuskupan Bogor. Sebelum kedatangan mereka, Kesukupan Bogor telah mengirimkan imam diosesannya untuk berkarya di Paroki Mansalong.
Uskup Bogor, Mgr Paskalis Bruno Syukur OFM menyebut Apostolus Missionis sebagai “Rasul Masa Kini”. Ia menyampaikan ini pada saat, audiensi perutusan Apostolus Missionis dalam misi perdananya. Ia menyampaikan bahwa gerakan misioner memiliki arti bahwa seorang rasul adalah seseorang yang mau keluar dari dirinya. Seorang rasul keluar untuk menjumpai orang lain. “Di sinilah, gerakan misioner amat berguna bagi Gereja Katolik universal.”
Ketua perjalanan misi Rasul Misioner, Siprianus Mahur mengungkapkan, bahwa perjalanan ini merupakan suatu upaya untuk meluaskan Kerajaan Allah. Melalui perjumpaan dalam sukacita kebhinekaan, Apostolus Missionis ingin menghadirkan Kabar Gembira. Sukacita ini dikemas dalam berbagai kegiatan bagi umat Paroki Mansalong khususnya kepada umat di Stasi St. Yohanes Tau Lumbis dan St.Petrus Labang.
Salah satu Rasul Misioner, Matheus Rico Herjunot menyampaikan pengalaman perdananya saat memimpin acara sharing Kitab Suci bagi orang tua. Semula, ia menolak karena merasa tidak mampu mendampingi orang tua dalam belajar Kitab Suci. Namun, karena mengingat nilai ketaatan yang ditanamkan dalam diri para rasul, Rico menerima tugas itu.
Ketika bertugas, Rico tidak sendiri. Ia ditemani oleh dua rasul lainnya. Saat itu di stasi Labang, ia harus memandu empat orang tua mengenal Kitab Suci. Diketahui di dalam kelompoknya ada seorang ibu yang buta huruf. Rico pun memutar otak mencari pengganti metode pengajaran.
Rico berusaha memperkenalkan Kitab Suci. Ia mendapati, ternyata umat yang yang ia dampingi seumur hidup belum pernah memegang Kitab Suci. Selama ini, belum ada yang memberi mereka Kitab Suci itu. Begitu rindunya memiliki Kitab Suci sendiri, salah seorang ibu meminta kepada Rico agar ia membeli Kitab Suci yang dimiliki olehnya.
Rico terlonjak mendengar permintaan ibu itu. Sejenak ia berefleksi mengingat betapa banyaknya Kitab Suci yang ia miliki di rumah tetapi jarang ia baca. Matanya sontak dan berkaca-kaca, permintaan sederhana ibu itu mengugah hati nuraninya. “Saya merasa tertampar hebat mendengar itu. Di sini orang sangat merindukan memiliki Kitab Suci, sedangkan saya mengabaikan Kitab Suci yang telah saya miliki.”
Tidak hanya tenaga, Keuskupan Bogor juga memberikan Kitab Suci kepada para umat agar pengenalan akan Kristus semakin bergaung. Kini, tugas Rico adalah membawa umat mengerti dan tahu apa isi dari Kitab Suci itu. Rico pun menyarankan bagi para orang tua yang tidak bisa membaca, agar meminta anak-anaknya membacakan untuk mereka. Ia melihat bahwa dengan cara demikian membawa efek yang positif sebab pada akhirnya seluruh keluarga akan mendengar firman Tuhan itu. Pengalaman perjumpaan dengan suku Dayak Agabag ini membakar semangat dan iman Rico sebagai orang muda Katolik untuk melayani umat-umat di pedalaman.
Felicia Permata Hanggu