HIDUPKATOLIK.com – Ia menolak kehadiran Rezim Komunis di Albania. Baginya Komunis adalah paham yang tidak mengerti pesan Tuhan tentang cinta kasih dalam Kitab Suci.
Selat Gibraltar menjadi saksi perdagangan antara Asia dan Eropa. Lebarnya hanya 14,3 kilometer, tetapi, Gibraltar menjadi ujung tombak kawasan maritim negara-negara di sekitar Laut Tengah. Selat ini unik karena menjadi pertemuan dua arus laut, yaitu Samudera Atlantik yang berwarna biru cerah, dan Laut Tengah yang berwarna lebih gelap.
Di abad pertengahan, Selat Gibraltar selalu ramai oleh kapal-kapal pengangkut barang, kapal tanker, dan kapal militer. Jajak-jejak kota dagang utama seperti Konstantinopel, Alexandria, Venesia, Genoa, dan Allepo menjadi kawasan yang selalu ramai dikunjungi. Pengunjung yang merapaikan kota-kota itu tak ketinggalan para pedagang Albania. Mereka kerap menuju lima pusat dagang itu. Mereka berlayar membelah Laut Adriatik dan Laut Liguria menuju Selat Gibraltar. Kala itu, Albania menjadi kota otonom yang leluasa mengatur bidang politik, ekonomi, dan pemerintahan.
Suatu kali, Luigj Prendushi berlayar ke Albania untuk pulang dari Italia. Saat di tengah samudera, kapal dagang yang ditumpanginya diterpa badai besar. Tak cukup sehari, badai itu melanda sampai berhari-hari. Pedagang yang menum pang kapal itu pun panik dan membuang sebagian barang dagangannya.
Dalam situasi cemas itu, Luigj satu-satunya penumpang yang tidak panik. Orang-orang pun bertanya. Mereka heran kepadanya. Sesaat kemudian, ia mengatakan, saya tidak punya alasan untuk takut. “Ini kekuatan saya. Tenang lah, hari ini kita tidak akan tenggelam,” katanya sambil menunjuk Kitab Suci di tangannya. Perkataan itu menguatkan seisi kapal, mereka pun tiba di Albania dengan selamat.
Pastoral Migrasi
Setelah melanjutkan pendidikan calon imam di Seminari Menengah Piedmont, Torino, Italia Luigj melanjutkan pendidikannya di Seminari Tinggi Interdiosesan Sarvano Skarnafacio, Torino. Ia lalu ditahbiskan pada 12 Maret 1921.
Pastor Luigj kembali ke kampung halamannya di Keuskupan Sapë, Albania. Ia mendapat tugas perdana setelah ditahbiskan. Awalnya, ia diutus menjadi Kepala Paroki Ipeshkvninë, Albania.
Pastor Luigj menjadi imam di saat Gereja Katolik Timur bersama-sama Gereja Latin bersatu menjadi Gereja Katolik Partikularis – Gereja yang otonom (sui iuris). Di masanya, umat Katolik Albania masih terkonsentrasi di Italia Selatan dan Sisilia. Di saat bersamaan, masuklah Gereja Bizantium.
Dalam pastoralnya, Pastor Luigj menghadapi fenomena imigrasi besar-besaran dari Albania ke negara-negara Eropa. Arus imigrasi dari Albania terjadi setelah Kerajaan Albania yang dibentuk pada 1272. Pembentukan ini menyusul kekalahan Charles dari Anjou oleh Kekaisaran Turki Ottoman di abad XV. Kekalahan itu memaksa etnis Albania mengungsi ke Calabria di selatan Italia dan Yunani. Organisasi Internasional untuk Migrasi Albania mencatat, sekitar abad XVI sekitar 200 ribu orang Albania mengungsi akibat penaklukan ini. Dipicu industrialisasi dan urbanisasi, migrasi kembali terjadi di akhir abad XIX. Gelombang ini bertambah seiring kekuasaan diktator Enver Halil Hoxha.
Maka saat tiba di Albania, kelahiran Shkodrë, Albania, 24 Ja nuari 1896 ini merasakan begitu besar tekanan yang dialami orang Kristen. Keinginan untuk keluar dari wilayah Albania membuat gereja sepi. Hanya orang-orang yang ingin “mengakhiri” hidup yang bertahan di Albania. Pastor Luigj harus benar-benar mampu meyakinkan mereka bahwa Albania adalah “tanah terjanji”. Ia menghibur orang-orang Kristen di pedesaan agar tidak berputus asa. Pastoral pertama yang dibuatnya adalah memutuskan rantai informasi tentang impian-impian semu pada imigran yang keluar dari Albania. Tantangan lain adalah medan pastoral, paroki Ipeshkvninë memiliki wilayah pastoral yang sangat luas. Ia harus berjalan kaki berhari-hari untuk melaksanakan pelayanan sakramental. Desa-desa kecil seperti Mazrek, Nënshat, Shllak, Dardhë, Koman, Kace, Narac, dan Shelqet.
Mata-mata Vatikan
Setelah Perang Dunia II (1939-1945), Albania dicaplok Italia (1939-1942) dan kemudian Jerman (1943-1944). Setelah perang berakhir, Enver Hoxha mengatur perlindungan integritas wilayah Albania tapi dengan mengorbankan rakyat. Ia mengubah bentuk negara republik menjadi komunis. Di kemudian hari bentuk ini berubah lagi menjadi Republik Rakyat Sosialis Albania tahun 1976-1991. Republik ini menganut paham Hoxhaisme dan omunisme.
Hoxha juga menolak praktik keagamaan. Setiap pastor ditangkap dan dipenjarakan. Albania pun setia pada Filsafat Stalinis (Josep Stalin ), yaitu membangun sosialisme dalam masyarakat komunis (kemudian menjadi paham dasar Hoxaisme). Pembersihan besar-besaran terhadap para pelayan pastoral terjadi. Komunisme menghasilkan otoritarianisme dan industrialisasi yang begitu cepat.
Rakyat Albania hidup dalam lingkaran setan Hoxhaisme. Garda revolusi dari masyarakat akar rumput terus digeliatkan tetapi selalu berakhir dengan kematian. Hoxha menjadi singa yang lapar kekuasaan di Albania.
Pastor Luigj menyaksikan Hoxha tidak memandang martabat manusia sebagai suatu yang luhur. Albania menentang paham baru ini dengan cara yang halus. Hoxha terlalu takut kehilangan kekuasaan akibatnya memutuskan harapan hidup banyak orang. Mereka pasrah, siap menunggu kapan dideportasi atau dibunuh. “Banyak anak Albania dipaksa terpisah dari orang tua mereka yang dideportasi. Anak-anak bertumbuh dengan cara mereka. Mereka memahami kehidupan dengan cara yang keliru,” ungkapnya suatu ketika.
Ketika situasi ini bergulir, Pastor Luigj diminta uskupnya untuk mengungsi ke Italia. Tetapi, ia menolak, dan tak mau meninggalkan domba-dombanya yang menjadikannya sumber kekuatan. Ia bernazar sekalipun dibunuh, ia mati dengan bahagia karena disaksikan umatnya. Ia bertahan meski mengorbankan darah martirnya di Albania.
Di Paroki Ipeshkvninë, urbanisasi yang cepat dikonversi banyak desa kecil menjadi kota-kota industri. Gereja berkembang karena belaskasihan beberapa orang Kristen taat, yang secara sembunyi-sembunyi membantu Pastor Luigj dalam memberitakan Injil. Sebagai pelayan pastoral, Pastor Luigj harus bertindak. Ia mengritik secara langsung perubahan sistem kehidupan yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Dalam khotbahnya, ia mengatakan komunisme adalah paham yang tidak mengenal Tuhan. Komunis hanya dianut oleh orang-orang yang tidak memahami pesan cinta kasih dalam Injil.
Kritikannya ini sampai ke telinga Hoxha. Ia lalu memerintahkan prajuritnya untuk menangkap Pastor Luigj pada 8 Desember 1946. Ia ditangkap dengan tuduhan palsu sebagai imam yang menjadi mata-mata Vatikan. Ia dieksekusi mati di depan umatnya sendiri di Shelqet, Shkodrë, Albania, 24 Januari 1947. Ia dieksekusi sebagai contoh bila menolak kehadiran Rezim Komunis.
Jazadnya dimakamkan di Pemakaman Cemetary, di dekat rumah keluarganya. Gelar venerabilis didapatnya pada 26 April 2016 dari Paus Fransiskus. Tujuh bulan kemudian, Paus yang sama mengumumkan beatifikasinya. Ia dibeatifikasi bersama 38 Martir Albania pada tanggal 5 November 2016 di Alun-alun Katedral Shën Shtjefnit, Shkodër, Albania. Pestanya dirayakan pada tanggal 24 Januari.
Yusti H. Wuarmanuk