HIDUPKATOLIK.com – “Tuhan, jika memang pelayanan saya hanya sampai di sini, saya mati di sini, saya siap. Saya pasrah,” ujarnya..
Suatu hari, tahun 2008, sekitar pukul 13.00, Didimus Matheus Nurak Lakawolo bersama tiga kawannya menumpang ketingting. Perahu bermodal dua mesin tersebut bakal membawa mereka dari Mansalong menuju Desa Tau Lumbis, Kecamatan Lumbis, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Saat itu, Didimus, panggilannya, berusia 28 tahun.
Naas, begitu sampai di dekat jiram (air terjun kecil dengan bebatuan tajam), Desa Simantipal, ketinting mereka menabrak batu. Lambung perahu itu pecah dan karam. Seluruh penumpang panik. Mereka berteriak sembari mencari cara untuk menyelamatkan diri. Sementara Didimus terpaku di tempat duduknya. Dia mengamati situasi lebih buruk bakal terjadi tak lama lagi. Laptop dan printer yang dibawanya hanyut oleh arus jiram nan deras. Begitu juga dengan perbekalannya, raib.
Tak jauh dari tempatnya berada, Didimus melihat ketiga kawannya melompat ke sungai. Mereka menyuruh dia melakukan hal serupa. Sayang, aksi Didimus tak semulus rekan-rekannya. Tubuhnya tertahan dan terbalik karena sebatang kayu besar. Mereka panik, namun tak kuasa membantu Didimus.
Tangan Ilahi
Didimus menyelam untuk menghindari gelondong. Meski dia sadar tindakannya itu amat berisiko. Kata rekan-rekannya dulu, banyak orang meninggal di sepanjang sungai ini lantaran menyelam. Sebab, di bawah permukaan air ada banyak lubang buntu yang dapat menjerat tubuh penyelam. Sekitar 15 menit Didimus menyelam. Dia sempat mendengar suara sayup-sayup kawan-kawannya di tepi sungai. “Kurang satu, cari satu orang lagi!,” teriak mereka, panik.
Didimus mulai kedinginan dan tubuhnyapun terasa amat payah lantaran terlalu lama berada di dalam sungai. Di tengah situasi genting itu, dia memasarahkan nasibnya kepada Tuhan. “Tuhan, jika memang pelayanan saya hanya sampai di sini, saya mati di sini. Saya siap. Saya Pasrah.”
Didimus menyelam lebih dalam. Dia melihat banyak akar pohon di hadapannya. Akar itulah yang menuntunnya menuju sumber cahaya bulan. Didimus berhasil keluar dari sergapan gelondong. Tak jauh dari tempatnya muncul, sekitar 20 meter, Didimus melihat wajah teman-temannya.
Mereka yang semula menanti nasib Didimus dengan wajah was-was, seketika memandangnya dengan guratan bulan sabit di wajah. Didimus naik ke tepian sungai. Dia mencoba untuk bangkit dan berjalan, namun lantaran terlalu lelah, tubuhnya yang berkulit tak putih itu doyong. Dia segera merebahkan tubuhnya di atas tanah berbatu. Saat itu waktu menunjukkan pukul 19.00.
Guru Agama Katolik di SMA Negeri 1 Lumbis itu menemukan hikmah dari tragedi tersebut. Bagi Didimus, keselamatan dirinya bukan semata-mata karena usahanya, tapi campur tangah Ilahi. “Saya semakin yakin bahwa Tuhan masih menjaga dan membutuhkan saya. Pengalaman ini menjadi motivasi saya untuk total melayani sesama,” ujar Didimus.
Panas terik mentari menyengat kulit Didimus. Dia acuh dengan iklim yang tak bersahabat itu. Selain sudah terbiasa, ini juga tak sebanding dengan insiden tahun 2008 lalu. Semua dia lakoni untuk bertemu umat dan mewartakan Kabar Gembira kepada mereka. Didimus adalah katekis Paroki St Maria Bunda Karmel Mansalong, Keuskupan Tanjung Selor.
Kehadiran dan perannya amat dibutuhkan umat, yang setiap pekan belum tentu bisa dikunjungi oleh imam, lantaran medan pelayanan nan luas sementara jumlah imam sedikit. Sebagai katekis, peran Didimus penting untuk perkembangan iman umat. Dia menjadi rekan kerja imam.
Pria asal Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur itu datang ke Mansalong bersama orangtuanya sejak tahun 1999. Saat itu, Didimus duduk di bangku kelas 1 SMP. Tujuan orangtuanya hijrah ke Borneo untuk mencari nafkah. Berkat keterampilan yang dimiliki sang ayah sebagai tukang bangunan, Paroki Mansalong mengkaryakan dia untuk membangun gereja-gereja di pedalaman.
Atas dedikasi itu, Pastor Paroki Mansalong menyekolahkan Didimus hingga lulus SMA tahun 2004. Didimus bertekad untuk melanjutkan kuliah di Balikpapan, Kalimantan Timur. Sayang, perkuliahannya tak berumur panjang. Didimus hanya bisa mengecap keseruan menjadi mahasiswa sampai dua semester saja. Kendala biaya menjadi penyebab utama dia ‘putus kampus’.
Dengan hati hancur, Didimus kembali ke Mansalong. Dia bekerja serabutan demi mengumpulkan pundi-pundi untuk menyambung nafas kuliahnya. Lama menanti, pada 2011, Didimus mendapat kabar gembira. Dia bisa kuliah kembali. Kesempatan itu tidak datang tiba-tiba. Didimus telah lama menabur “benih” baik, kini saatnya dia menuai hasilnya itu.
Vikaris Jenderal Keuskupan Bandung, Pastor Didi Wirasmo Hadi, melihat dan takjub dengan keuletan pemuda kelahiran 11 Juni 1984 ini. Pastor Didi tersentuh dengan pelayanan Didimus selama dua tahun bagi umat Desa Lumbis. Tiap Minggu, Didimus harus duduk selama enam jam di atas ketingting untuk memimpin ibadah di sana. “Beliau menawarkan kepada saya untuk melanjutkan kuliah lagi,” ungkapnya. Tanpa tedeng aling-aling, Didimus dengan wajah sumringah mengiyakan tawaran sang imam, “Ya Romo, saya mau kuliah lagi!.”
Kesempatan itu pun direngkuhnya dengan cepat. Pria yang suka berkebun ini melanjutkan studi di jurusan Pendidikan Agama Katolik di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Didimus memilih jurusan tersebut agar ilmu yang diperolehnya selama kuliah bisa dibagikan kepada umat di Stasi Lumbis. Lulus kuliah tahun 2015, Didimus kembali ke Mansalong dan berkarya di sana.
Muara, Sumber
Baru tiga tahun Didimus mengabdikan diri menjadi guru agama dan katekis. Dia selalu berpegang teguh pada Kanon 747 dan 773. Didimus ingin selalu melayani tanpa pamrih, berkorban, mengutamakan pelayanan kepada umat, bekerjasama dengan pastor paroki dan umat agar pembinaan dapat terus dilaksanakan dengan baik.
Bila ada umat yang belum mengetahui doa pokok dan ajaran iman Katolik, Didimus kian terpacu untuk memberikan yang terbaik dari semua yang dipelajarinya. Tiap malam, selepas menunaikan karya, Didimus selalu meluangkan waktu untuk berefleksi atas segala peristiwa yang dialami sepanjang hari. Muara sekaligus sumber semangatnya adalah doa. “Pada akhirnya, semua yang kulakukan ini demi kemuliaan Allah yang lebih besar.”
Felicia Permata Hanggu