HIDUPKATOLIK.com – Persoalan imam menanggalkan status klerikal terjadi hampir di setiap negara. Butuh restu Vatikan untuk mengangkat “plang” halangan.
Kabar mengenai pastor atau romo yang melepaskan jabatan imamat tentu tak asing lagi di telinga kaum awam. Hal ini terjadi hampir di seluruh keuskupan di Indonesia, bahkan dunia. Ada banyak hal yang melatari keputusan itu. Dan tentu ada konsekuensi dari setiap pilihan tersebut.
Terkait hal itu, HIDUP mewawancarai Vikaris Yudisial Keuskupan Denpasar, Pastor Dominikus I Gusti Bagus Kusumawanta. Sejak 2001 hingga kini, ia, mengurus permohonan pengunduran diri empat imam kepada Takhta Suci. “Jangan banyak-banyaklah,” tulis Romo Wanta, dalam balasan surat elektroniknya yang diterima Redaksi, Rabu, 25/7.
Istilah laisasi (laikalisasi) populer digunakan media atau masyarakat untuk menjelaskan proses imam menjadi awam. Namun, dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK), istilah tersebut tak ditemukan. KHK (hanya) menyebut kehilangan status klerikal. Apakah makna dua sebutan itu berbeda? Lantas, bagaimana dan sejak kapan istilah (laisasi) laikalisasi muncul?
Sejauh yang saya ketahui, yang dimaksud dengan laisasi (laikalisasi) dalam konteks pertanyaan Anda adalah proses yang mengarah (menuju) menjadi awam dari statusnya sebagai klerus (imam). Istilah tersebut berasal dari bahasa Latin, laicus; Italia, laicale; Inggris, laicization, yang berarti kaum awam. Dalam bahasa Indonesia, populer dengan sebutan laisasi tapi mestinya laikalisasi.
Sedangkan kehilangan status klerikal dalam KHK memiliki makna berbeda, tak hanya proses menjadi awam saja tapi juga kehilangan hak-hak klerus dan tak terikat kewajiban klerikal. Di Indonesia, istilah tersebut digunakan sejak Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) memutuskan untuk menterjemahkan Undang-Undang Gereja dan selesai buku I-IV sekitar September 1983.
Apakah pencabutan/penghilangan status klerikal berarti sebuah hukuman dari Gereja kepada imam yang bersangkutan?
Kehilangan status klerikal tidak mesti karena hukuman, tapi bisa juga tahbisan imamatnya tidak sah. Benar bahwa kehilangan status klerikal karena hukuman pemecatan, namun bisa juga oleh dekret administratif Takhta Suci yang menyatakan tidak sahnya tahbisan suci. Jangan salah! Tak semua imam kehilangan status klerikal karena hukuman, bisa juga karena kehendaknya sendiri setelah merefleksikan hidupnya.
Apa yang boleh dan tak boleh dilakukan oleh mereka yang kehilangan status klerikal?
Prinsipnya, dia dilarang melaksanakan kuasa tahbisan sebagai imam (melaksanakan pelayanan Sakramen Gereja). Dengan sendirinya kehilangan semua jabatan tugas dan kuasa yang didelegasikan oleh uskup diosesan.
Pengabulan proses menjadi awam berbeda-beda, ada yang begitu cepat (kurang dari setahun) tapi ada juga yang bertahun-tahun, mengapa?
Proses ini tergantung prokurator yang mengurus proses tersebut. Jalur klerus religius agak berbeda dengan klerus diosesan. Sejauh yang saya tahu berdasarkan pengalaman, ada dua jalur untuk imam diosesan: melalui Kongregasi Para Imam atau Kongregasi Propaganda Fide (untuk Indonesia ke kongregasi ini).
Sementara untuk tarekat religius melalui Kongregasi Tarekat Hidup Bakti dan Serikat Hidup Apostolik. Biasanya setahun selesai asalkan prosedurnya diikuti secara benar.
Seandaianya yang mengajukan seorang uskup atau pimpinan tarekat siapa yang menangani proses tersebut?
Waduh, sebaiknya jangan terjadi, sebab uskup adalah wakil Kristus di dunia. Kalau pemohon seorang uskup langsung ke Takhta Apostolik (biasanya mengundurkan diri). Kalau pimpinan tarekat kepada pimpinan umum tarekat tersebut, prosedur seperti imam biasa.
Selama proses berjalan apakah keuskupan atau tarekat menanggung biaya hidup imam (juga istri-anak)?
Kewajiban tetap ada selama proses berjalan sampai putusan definitif oleh Takhta Suci tentang kehilangan statusnya. Hal ini tergantung norma atau kebiasaan di keuskupan (keputusan uskup bersama dewan keuangan dan dewan imam) atau tarekat (pimpinan dan dewannya) masing-masing mau diberi berapa tentang sustentasi (jaminan).
Mengapa yang melanggar selibat tidak langsung kehilangan status klerikalnya?
Ini pertanyaan sulit karena banyak faktor yang memengaruhi. Bisa dijawab seperti ini, pelanggaran selibat bisa dikategorikan sebagai dosa atas janji atau sumpah selibat, karena imam juga manusia biasa memiliki kelemahan dan kerapuhan dalam dirinya.
Sementara tahbisan imamat merupakan karakter yang tak terhapuskan yang membutuhkan kesetiaan pada janji atau sumpah selibat. Jika (klerus) melanggar dan telah menikah sipil maka bisa langsung diproses sedangkan karena dosa pribadi perlu pembuktian dan biasanya terkena sanksi (suspensi).
Apakah mantan imam yang kehilangan statusnya dapat menjadi imam lagi?
Secara umum tak bisa kecuali oleh putusan Takhta Apostolik. Bagaimana prosedurnya? Saya belum berpengalaman dalam hal ini. Kira-kira jawabannya, mengajukan permohonan tertulis setelah dipertimbangan oleh uskup diosesan beserta dewan imam atau pimpinan tarekat berserta dewan kepada Takhta Apostolik melalui Nunsiatura (Kedutaan Vatikan, red.) di Jakarta.
Berapa banyak surat pengajuan dari keuskupan Denpasar?
Saya baru menangani sejak 2001 sampai sekarang, yang sudah dan semua diterima pengajuan kami ada empat orang. Jangan banyak-banyaklah.
Apa pesan romo untuk para imam yang menanti pengabulan laikalisasi, mereka yang diberi mandat untuk mengurus dan umat?
Pertama, selalu sabar menanti karena jumlah imam yang mengajukan di seluruh dunia memang banyak. Kedua, jadilah orang Katolik yang baik entah awam atau imam. Bagi yang mengurus (prokurator), rajinlah dan selalu bekerja dengan hati untuk melayani rekan imam yang membutuhkan bantuan kita. Selalu melakukan komunikasi dengan Nunsiatura di Jakarta.
Bagi umat, terimalah imam yang menjadi awam secara baik, ajak, dan rangkul mereka sebagai saudara seiman. Mari kita bangun Gereja yang hidup: saling mendukung, bekerjasama, dan mewujudkan misi Gereja di tengah dunia.
Yanuari Marwanto, Hermina Wulohering