HIDUPKATOLIK.com – MALAM bungkam dalam gelap, sepertinya jangkrikpun tercekik sunyi. Tak ada dengkuran yang menantang sepi. Marselina menoleh kepada mamanya, “Ma, kita berdoa saja e?” pintanya pelan.
Martha tetap bergeming. Jauh ia tenggelam dalam kekacauan hatinya. Beberapa bulir air mata sesekali menetes di pipinya. Hampir seharian ia tak makan dan minum. Rambutnya yang keriting tak beraturan lagi. Masih jelas diingatnya pagi tadi suami nya yang bekerja sebagai buruh pabrik di Surabaya menelepon.
“Selamat pagi, Martha. Selamat berhari Minggu. Jangan lupa ke gereja sama Lina e? Saya juga mau ke gereja sekarang. Ingat o.. lagi masa penantian ini, berdoa minta tujuh karunia Roh Kudus, jangan lupa juga minta Bunda Maria doakan kita. Saya rindu dan sayang kamu dua selalu.”
“Ia Frans. Terima kasih. Salam sayang dan rindu juga dari saya dan anakmu. Ke gerejanya hati-hati e? Tuhan jaga kau di sana.”
Martha kemudian menutup teleponnya dan bergegas membangunkan Marselina.
“Lina, sayang bangun sudah. Kau punya Bapa telepon tadi suruh kita ke gereja. Ayo!”
“Tadi kenapa Mama tidak bangunkan saya ka.. saya juga mau omong. Mau tanya Bapa jadi pulang tidak bulan depan. Saya rindu sekali.”
Martha memeluk putri tunggalnya itu.
“Sudah. Sebentar pulang dari gereja kita telepon Bapa. Ayo mandi!”
***
Hari Minggu kali ini tak begitu berbeda dengan sebelumnya, hanya saja di luar awan kelihatannya agak gelap. Tapi sedikit pun tak menyurutkan semangat Martha dan putrinya untuk pergi beribadah apalagi setiap Minggu pagi seperti ini, Frans selalu menelepon mengingatkan mereka untuk pergi ke gereja.
“Barang siapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih.”
Romo yang memimpin perayaan Misa memberikan khotbah yang sangat menyentuh. Ia menggebu-gebu mengajak umatnya untuk selalu saling mengasihi, melayani, dan menghargai di tengah masyarakat, terutama di tengah perbedaan suku, agama, bahasa, ras, budaya, golongan, bahkan dalam perbedaan pilihan politik.
“Bagaimana mungkin kita mengatakan kita punya Allah sementara kita tidak saling mengasihi? Karena Allah hanya mengajarkan kasih dan kebenaran. Allah adalah kasih.”
Semua tampak sangat damai mendengarkan khotbah tersebut. Marselina tersenyum kepada Martha ibunya. Dari kerlingan mata gadis kecil itu, Martha melihat sesuatu seperti ingin dikatakan oleh Marselina. Tetapi tak ada satu katapun keluar dari mulut putrinya itu selain senyum yang begitu manis.
Saat menyanyi “Bapa Kami”, Martha menggenggam erat tangan putrinya, menengadah dan menatap salib besar di depan. Entah mengapa, ia tersekat dan merasakan sesuatu yang aneh di hatinya waktu ia sampai pada kalimat “ampunilah kesalahan kami, seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami” dan seketika itu juga ia tak sanggup melanjutkan lagu itu.
Marselina mengetahui itu, namun terus menggenggam tangan mamanya.
“Salam damai Tuhan,” kata Romo sewaktu berjabatan tangan dengan Martha dan Lina usai Misa di depan gereja.
“Salam, Romo,” pungkas mereka.
“Bapa Frans katanya bulan depan mau pulang, kah?”
“Puji Tuhan rencananya begitu, Romo. Tolong doakan suami saya itu Romo,” jawab Martha tersenyum.
Frans memang sangat disukai banyak orang termasuk Romo dan anak-anak di gereja karena kepribadiannya ramah dan menyenangkan. Ia aktif dalam kegiatan-kegiatan gereja maupun di desanya. Ia juga senang membantu mengajar anak-anak sekolah minggu.
Biasanya ia menceritakan kisah raja-raja dalam Alkitab yang dikemas nya menjadi seperti kisah super hero kesukaan anak-anak tersebut. Namun, karena alasan ekonomi, sudah hampir setahun ia meninggalkan desa dan merantau ke Surabaya.
“Tunggu sebentar e, ada telepon dari saya punya teman di Surabaya ini,” kata Romo menjauh beberapa langkah. Sementara itu, Lina sedang asyik berbicara dengan teman-teman sekolah minggunya.
“Iya, nanti kalau saya punya Bapa sudah pulang, kita akan dengar cerita tentang Raja Daud dan Salomo lagi,” teriaknya.
“Bu, Martha.”
“Ya Romo?”
“Sudah dengar kabar dari Surabaya?”
“Ada apa Romo?”
“Gereja St Maria tak Bercela dibom oleh teroris. Frans sedang dirawat di rumah sakit akibat luka di sekujur tubuhnya.”
Martha tak sanggup berkata-kata. Ia berlari masuk ke dalam gereja, menangis dan tersungkur di kaki altar. “Tuhan eee!!!” Ia berteriak sampai hilang suaranya.
Lina berlari mendapatinya dan menangis meraung-raung. Beberapa penjaga gereja dan Romo menggotong tubuh Martha yang pingsan, seorang biarawati menggendong dan menenangkan Lina yang masih sesenggukan.
Setelah sadar, Martha diberi tahu kalau suaminya masih dalam penanganan dokter.
***
Jam dinding menunjukkan pukul 22:30. Martha tetap tidak beranjak dari tempat duduknya. Ia terus memandang telepon genggamnya, kalau-kalau ada kabar dari Surabaya. Sekali lagi Marselina berkata, “Mama, ayo kita berdoa untuk Bapa. Seharian. Ayo Ma!”
Martha memeluknya, “Ayo sayang. Nyala kan lilinnya dulu.”
Lina berdiri menyalakan lilin di depan salib dan patung Maria, kemudian mereka mulai berdoa.
Marselina kemudian menutup matanya yang mulai berkaca-kaca, “Tuhan Yesus, sebentar lagi Papa pasti Kau sembuhkan, tapi Papa tidak punya banyak uang untuk membeli baju besi dan lembing baja supaya bisa selamat dari gangguan orang jahat itu lagi. Tolong Tuhan berikan lima butir kerikil batu yang licin dan sebuah umban padanya. Papa akan melawan orang-orang jahat itu seperti Raja Daud, supaya tak ada yang terluka lagi. Amin.”
Martha tercengang mendengar doa putrinya itu. Berlinang air mata ia melanjutkan,“ Bunda Maria, seperti engkau menjadi hamba yang percaya dan patuh, doakan kami. Amin.”
Ada sedikit ketenangan di hati Martha setelah berdoa. Ia menghantarkan putrinya ke kamar dan menina-bobokannya dengan terisak, “Kasih, pasti lemah lembut, Kasih pasti memaafkan, Kasih pasti murah hati, kasih-Mu, kasih-Mu oh Tuhan.
Ajarilah kami ini saling mengasihi,
Ajarilah kami ini saling mengampuni
Ajarilah kami ini kasih-Mu ya Tuhan,
kasih-Mu kudus tiada batasnya…”
***
Malam berlalu. Ayam berkokok dan matahari mulai meninggi. Martha belum tidur sedikit pun. Terdengar ketukan di pintu rumahnya.“Assalamualaikum, Bu Martha.”
Mendengar salam itu, rasanya ia tak ingin membuka pintu tetapi ia teringat khotbah Romo kemarin. “Ampuni saya Tuhan” ia membatin sambil berjalan membuka pintu.
“Salam Pak Muhamad, Bu Sunarti dan nak Alifah,” ia mempersilahkan tamunya masuk.
“Lina di mana tante?” Alifah bertanya, “Kami bawakan singkong rebus untuk sarapan,” lanjutnya.
Martha dengan gembira menerima pemberian itu. “Lina masih tidur, sayang. Semalaman ia susah tidur.”
“Ya sudah, biarkan dia tidur dulu,” sambung Bu Sunarti.
“Kami turut menyesal dan sedih sekali atas kejadian ini Bu Martha. Kami hanya bisa bantu mendoakan kesembuhan Pak Frans dan korban yang lain,” Pak Muhamad berbicara.
“Terima kasih banyak Pak.” Balas Martha.
“Oh ya, nanti malam katanya pemuda pemudi desa kita akan mengadakan 1.000 lilin untuk perdamaian di Indonesia. Kita juga ikut e Bu Martha,” pungkas Bu Sunarti.
“Baiklah.”
Setelah Pak Muhamad sekeluarga pulang, Martha melihat telepon genggamnya lagi. Di layar Hp itu tertulis “ 1 pesan diterima”. Buru-buru dibukanya pesan itu.
“Martha dan Marselina sayang, saya baik-baik saja. Hanya beberapa luka tapi sudah ditangani dokter. Saya punya Hp juga su rusak karena kejadian kemarin. Beberapa hari lagi saya akan pulang dengan dana bantuan dari Gereja dan teman-teman kerja. Jangan kuatir sayang e. Tuhan itu ada. Saya rindu dan sayang kalian berdua. Frans.”
“Lina, sayang! Bangun dulu! Ini ada pesan dari kau punya Bapa!”
Lina segera terbelalak. “Bapa bagaimana, Ma? Bapa baik-baik saja ka? Bapa bilang apa?”
“Bapa su sembuh sayang, beberapa hari lagi dia akan pulang!” Martha memeluk Lina sambil terus mengucapkan syukur.
“Jadi, Tuhan tak usah kasi lima kerikil dan umban untuk Bapa toh, Lina?”
“Tetap kasi ka Mama,” potong Lina dengan cemberut. “Siapa tahu orang jahat tu masih punya teman,” sambungnya.
Martha mengangkat kedua alisnya lalu tersenyum. Kasih itu percaya.
Ia percaya bahwa Tuhan akan mengerjakan yang terbaik, bahwa kejahatan akan tumpas seperti Goliat yang jatuh dan mati setelah kerikil Daud menancap di kepalanya. Kasih itu bersukacita karena kebenaran, bukan berita hoax. Ia percaya bahwa kemenangan atas nama perdamaian akan datang.
Maria Yosefa Pandi