HIDUPKATOLIK.com – Beberapa keuskupan dan tarekat memiliki perkebunan sawit. Gereja berharap agar kehadiran sawit mengedepankan misi option for the poor.
Sudah lima tahun, Yohanes Lohokbauw menjadi Buruh Harian Lepas (BHL) di Perkebunan Kelapa Sawit Bintang Timur Riko, Banjarmasin, Kalimantan Timur. Sejak tahun 2000, Anes, demikian sapaannya, tiba di Banjarmasin. Pria kelahiran Maumere, 55 tahun silam ini bercerita, ia ingin mengubah nasib dengan hijrah ke Kalimantan. Ia berharap beban ekonomi keluarga di Maumere dapat teratasi.
Hanya berbekal secarik kertas alamat dari seorang saudaranya, Anes tiba Banjarmasin. Ia tak sendiri. Sedikitnya 51 kepala keluarga dari Nusa Tenggara Timur (NTT) yang tinggal bersamanya. Mereka terdaftar sebagai umat Stasi Hati Kudus Jenebora, Paroki Santa Maria Fatima Penajam, Keuskupan Agung Samarinda.
Bila dihitung, sedikitnya 200 kepala keluarga dari NTT yang bekerja sebagai buruh perkebunan sawit di paroki ini. Mereka tersebar di perkebunan sawit di empat kecamatan di Kabupaten Penajam Paser Utara yaitu Babulu Barat, Waru, Penajam, dan Sepaku.
Rata-rata kehidupan Anes bersama keluarga dari NTT terbilang cukup memprihatinkan. Lokasi perkebunan yang jauh dari perkampungan membuat mereka benar-benar terisolasi. Mereka kadang dipaksa bekerja seharian dengan upah hanya sekitar 40-65 ribu per hari, pun dengan resiko kerja yang sangat tinggi. Mereka ditampung di barak yang tak layak huni, jauh dari fasilitas umum dan kesehatan yang memprihatinkan. “Kami susah mendapatkan sarana air bersih dan harus tergantung pada air hujan atau sungai yang kadangkala tercemar. Kami ingin pulang tetapi belum punya uang yang cukup,” keluh Anes.
Devisa dan Perjuangan
Anes mungkin satu dari sejuta kisah perjuangan para buruh sawit. Di saat komoditas primadona Indonesia ini menjadi pemasok terbesar pemasukan negara, sejuta buruh harus menanggung derita. Kontribusi sub sektor perkebunan terhadap perekonomian nasional meningkat dan itu didukung oleh keringat dan air mata Anes dan para pejuang perkebunan lainnya.“ Kami tidak kecewa dengan situasi ini, kami hanya butuh diperhatikan layaknya manusia yang bermartabat,” harap Anes.
Refleksi Anes kiranya menjadi perhatian pemilik perkebunan sawit khususnya keuskupan- keuskupan atau tarekat tertentu. Manajer Kelapa Sawit milik Keuskupan Agung Makassar, Pastor Rufinus Rampun mengatakan, bertugas di perkebunan sawit seperti makan buah simalakama. Di satu sisi kehadiran sawit mendukung perekonomian keuskupan tetapi di sisi lain konsen Gereja tentang keberpihakan pada lingkungan dan martabat manusia.
Pastor Rufinus menjelaskan, ketika ditugaskan di perkebunan sawit, ia lantas menolak tugas ini. Ia sadar betul bahwa reksa pastoral di kebun, membutuhkan perjuangan, apalagi dirinya tak memiliki skill soal mengolahsawit. “Saya tentu menolak dan meminta kenapa tidak awam saja, tetapi demi ketaatan saya menerima tugas ini,” ujarnya.
Kini, Keuskupan Agung Makassar memiliki sekitar 200 hektar kebun sawit di daerah Lainbow, Desa Margolembu, Kecamatan Mangkutana, Luwuk Timur, Sulawesi Selatan. Sekitar tahun 2007-2010, Pastor Rufinus pernah menjadi bendahara perkebunan. Rata-rata pendapatan per bulan sekitar 500 juta. Namun hasil ini menurun sekitar 100-200 juta per bulan karena hampir 60 hektar sawit butuh peremajaan.
Pastor yang ditahbiskan 3 Agustus 2005 ini menjadi manajer untuk 22 karyawan tetap dan ratusan buruh lepas. Ia bercerita, dalam pelayanan, ia mencoba hadir tidak sebagai pimpinan tetapi sebagai teman kepada para karyawan. “Paling penting adalah hak dan kewajiban serta totalitas pelayanan kepada mereka,” ujar Pastor Rufinus.
Reksa pastoral di perkebunan sawit juga diadakan di Keuskupan Agung Medan (KAM). Dari informasi yang diperoleh, sekitar tahun 2015, seorang pastor dari sebuah tarekat diminta untuk berkarya di perkebunan sawit di daerah Kepenghuluan Sintung Induk, Kecamatan Tanah Putih, Kabupaten Rokan Hilir, Riau. Lahan yang dibeli secara bertahab tersebut dimanfaatkan untuk karya pelayanan keuskupan, khususnya meningkatkan ekonomi masyarakat yang kecil. “Kehadiran kelapa sawit pertama-tama bukan sekadar mencari keuntungan tetapi untuk membantu keuskupan secara finansial. Tetapi paling penting, menyiapkan lapangan kerja bagi masyarakat,” ujar Uskup KAM, Mgr Anicetus Bongsu Sinaga OFMCap.
Reksa pastoral dengan memperhatikan masyarakat kecil terbukti dengan program-program yang ditawarkan keuskupan. Lewat Yayasan Karitas Pemberdayaan Sosial Ekonomi (PSE) KAM. Di Paroki Tebing Tinggi, pernah diadakan pelatihan kerajinan tangan dan limbah lidi kelapa sawit. Tahun 2016 lalu, PSE memberi latihan kepada ibu-ibu rumah tangga soal memanfaatkan limbah lidi kelapa sawit. Mereka diajarkan membuat piring tempat buah, tempat parcel, tempat kolekte, dan sebagainya.
Jejak Kaki Allah
Terkait reksa pastoral beberapa keuskupan, Ketua Komisi Justice Peace and Integrity of Creation-Ordo Fraterum Minorum (JPIC-OFM), Pastor Aloysius Gonsaga Goa Wonga OFM mengungkapkan sejauh ini JPIC-OFM mengamati banyak perusahaan sawit di tiga pulau besar yaitu Sumatera, Kalimantan, dan Papua. “Ekspansi sawit besar-besaran ini meningkat terus setiap tahun diiringi dengan permintaan pasar yang semakin meningkat,” katanya.
Pastor Alsis, demikian sapaannya, membenarkan bahwa industri sawit salah satu roda ekonomi Indonesia. Potensi ini memposisikan kelapa sawit sebagai bisnis yang cukup sentral dan sarat kepentingan. Tetapi, industri ini menyumbang deforestasi besar-besaran seperti penyerapan air yang dibutuhkan kelapa sawit begitu besar.
JPIC-OFM menemukan pengaruh industri sawit terhadap masyarakat begitu besar. Dalam rekam jejak ekspansi kelapa sawit oleh perusahaan-perusahaan besar terdapat beberapa dampak yang dirasakan seperti perampasan hak, persoalan konflikmasyarakat yang menjadi korban kebijakan, pertimbangan ekologi (kerusakan tanah), terjadi transmigrasi dimana melibatkan para pekerja khususnya yang berasal dari Indonesia Timur seperti NTT. “Tentu jaminan kesejahteraan ketenaga kerjaan sangat jauh dari yang diharapkan seperti upah dan jaminan sosial.”
Pastor Alsis menyayangkan bahwa Ada banyak Undang-Undang namun implementasinya sangat lemah. Terbukti di lapangan bahwa Pengusaha-pengusaha atau pemilik modal tidak memperhatikan masyarakat lokal dan kesejahteraan pekerja. “Mereka menekankan agar produktifitas terus meningkat akan tetapi kesejahteraan mereka kurang diperhatikan,” tegasnya.
Mengingat persoalan sawit tersebut, Pastor Alsis mengungkapkan JPIC berjibaku bersama jaringan yang lain, seperti Jaringan Tambang (JATAM), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Sekolah Ekonomika dan Demokratika (SDE), serta jaringan yang lainnya yang memiliki spirit yang sama. “Selama ini kita bersama denganteman- teman jaringan kita mulai mengadakan advokasi di wilayah Kalimantan. Di sana ada paroki yang ditangani Fransiskan dimana juga salah satu perusahaan sawit besar, Sinarmas,” bebernya.
Dalam pelaksanaanya berbagai upaya dilakukan agar kampanye-kampanye global tersampaikan kepada masyarakat dengan demikian mereka melek terhadap persoalan sawit. Hingga saat ini pelan-pelan masyarakat mulai paham persoalan industri sawit ini. “Mereka mulai menolak kehadiran sawit. Masyarakat juga melakukan demonstrasi dan menuntut hak hak yang harus mereka dapat,” jelasnya.
Senada dengan Pastor Alsis, Uskup Timika Mgr John Philip Saklil menyampaikan keprihatinannya terhadap kehadiran sawit yang merusak ekosistem alam dan sumber hak hidup masyarakat. Di Papua, misal, sagu sebagai pangan lokal dibabat untuk perkebunan sawit. Maka itu, keuskupan dengan gerakan “tungku api” – gerakan melindungi dan mengelola sumber hak hidup masyarakat berusaha menyelamatkan situasi ini.
Mgr Saklil menyayangkan alasan pemerintah dengan kehadiran kelapa sawit untuk semakin mempercepat pembangunan infrastruktur. Gereja menyadari bahwa tidak gampang melindungi dan mengelola hak hidup. Sebab di akar rumput, masyarakat lokal berada pada posisi tak berdaya dan akan lebih mudah melepaskan sumber hidupnya tanpa sadar akan hari esok. “Gereja harus berhadapan dengan segala ulah pengusaha yang tidak beropsi penyelamatan bagi masyarakat. Gereja tidak cukupmenjalankan program karitatif tetapi harus terlibat dalam gerakan transformatif yang menyentuh akar kemiskinan dan ketidakadilan,” demikian Mgr Saklil.
Yusti H. Wuarmanuk
Laporan: Willy Matrona