HIDUPKATOLIK.com – Survei Kompas (28/06/2018) tentang perhelatan elektoral yang telah kita laksanakan menunjukan bahwa pada umumnya rakyat tidak terpengaruh dengan sentimen kekerabatan dan politik dinasti. Bahkan dikatakan bahwa rakyat sudah mulai dewasa dengan memperlihatkan otoritas akal sehat dalam memilih. Ini adalah “secercah” harapan dan sekuntum mekar baru dalam praksis perpolitikan kita. Namun demikian, hal tersebut tidak serta merta menjadi tesis bahwa demokrasi kita kian matang.
Dikatakan demikian, karena masih ada praksis yang justru menjadi sengkarut demokrasi elektoral. Penyebabanya adalah para elite politik. Tatkala rakyat mulai menunjukan kematangan, mereka malah melegitimasi praksis berpolitik yang mendegradasi esensi demokrasi. Mereka menggunakan cara-cara pragmatis untuk mendapatkan insentif elektoral. Para elitelah yang menyebabkan demokrasi kita mengalami kemunduran masif.
Adalah benar bahwa dalam kampanye menjelang perhelatan elektoral, elite politik seringkali berbohong dan bombastis. Mereka menggelorakan aspek politik parsial, tanpa disertai paparan dan alasan empirik – akademik mengapa calon pemimpin tertentu layak didukung. Data-data tentang calon pemimpin “dimodifikasi” dan “disensor” melalui proses pragmatik.
Jejak rekam, kapabilitas dan kredibilitas calon pemimpin tidak dipresentasikan secara komprehensif dan apa adanya. Alhasil (sebagian) rakyat percaya begitu saja dengan apa yang mereka sampaikan. Konstruksi keputusan politik rakyat pun hanya lahir dari apa yang mereka ketahui tentang calon pemimpin dari para elite itu. Pengetahuan rakyat tentang calon pemimpin yang seharusnya menjadi faktor penting justru amat kurang.
Passion Elektoral
Gereja tidak boleh membiarkan rakyat terperangkap dalam proyek pragmatisme seperti ini. Gereja mesti membantu rakyat agar memiliki “passion” dalam menentukan keputusan politik. Rakyat mesti menjadi matra independen yang terlibat secara sadar dalam diskursus dan praksis demokrasi elektoral. Untuk itu, problem-problem sosial mesti dinventarisasi, dianalisis, ditematisasi, dikristalisasi dalam seperangkat pemikiran revitalitatif dan restoratif. Inilah yang mestinya menjadi basis dalam menghasilkan keputusan politik.
Untuk menunjang hal seperti ini, maka Gereja perlu mengarahkan rakyat agar melacak dan menelusuri kapabilitas dan kredibilitas setiap calon pemimpin berdasarkan data-data empirik. Data-data tersebut perlu dikaji lewat proses kognitif (Meyneel, 1976) dan bila perlu diuji melalui mekanisme akademik. Selanjutnya, data-data itu direfleksikan
lagi dalam terang Sabda Tuhan dan Ajaran Sosial Gereja. Proses refleksi tersebut mesti selalu berkorelasi dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pijar-pijar yang terlahir dari proses seperti inilah yang kemudian ditransformasi dalam program pastoral.
Gereja harus “mengajak warganya untuk menyadari hak dan kewajiban dalam bidang politik guna meningkatkan kesejahteraan umum” (GS no. 75). Arti kulasi dari “ajakan” Gereja tersebut mesti termaktub serentak termanifestasi dalam setiap program pastoral dibidang sosial-politik. Membantu rakyat untuk menyelidiki secara saksama data-data tentang calon pemimpin serta melakukan kajian tentang visimisi mereka merupakan cara untuk merealisasikan hal tersebut.
Sementara itu “kewajiban dalam bidang politik” dapat dilakukan lewat usaha untuk mengetahui calon pemimpin secara benar dan bukannya dari “promosi” para elite saja. Dengannya, rakyat dibantu untuk “memperoleh pengetahuan akan kebenaran” (1Tim 2:4) tentang calon pemimpin dan “berpegang pada kebenaran yang telah diterima dan diyakini” (2Tim 3:14).
Rakyat mesti sadar bahwa “pengetahuan akan kebenaran menjadi sesuatu yang pokok dalam iman” (Lumen Fidei no. 23). Dengannya pula, rakyat terhindar perangkap politik parsial hasil konsensus sepihak para elite saja. Alhasil “passion” elektoral rakyat pun dikonstruksi melalui proses rasional dan berjalan diatas landasan moral yang kuat.
Inosentius Mansur