HIDUPKATOLIK.com – Di Puja Mandala, orang belajar toleransi dan saling menghargai antar umat beragama.
BALI dan Hindu keduanya tak dapat dipisahkan. Ajaran Hindu-Bali merebak di seantero Bali. Disetiap daerah di Bali, dengan mudah dapat dijumpai beragam bagunan pura dari yang terbesar sampai terkecil. Gambaran yang menjadikan Bali sebagai “Pulau Seribu Pura”.
Namun wajah toleransi di Bali rasa-rasanya dapat menjadi teladan untuk daerah lain. Hal ini misalnya terlihat di Kompleks Pusat Peribadatan Puja Mandala, Nusa Dua, Bali. Di tempat ini terdapat tempat ibadah untuk lima agama yang berbeda, yaitu Masjid Ibnu Batutah, Gereja Maria Bunda Segala Bangsa, Gereja Kristen Bukit Doa, Vihara Budhina Guna, dan Pura Jagatnatha.
Tanpa Sekat
Gereja Maria Bunda Segala Bangsa sendiri juga berperan sebagai Gereja Paroki Bunda Segala Bangsa Nusa Dua, Keuskupan Denpasar. Gereja ini berdiri tepat bersebelahan dengan Masjid Ibnu Batutah.
Kepala Paroki Nusa Dua, Pastor Eventius Dewantoro mengungkapkan, kompleks Puja Mandala ini tidak berdiri begitu saja tetapi ada pesan toleransi yang ingin disampaikan. “Memasuki Puja Mandala orang tidak lagi berbicara tentang agama tetapi berbicara tentang pesan kemanusiaan seperti persatuan dan kerukunan antar umat beragama,” ungkap Pastor Venus.
Di Puja Mandala setiap orang bisa belajar toleransi, membangun kerukunan antar umat beragama. Pastor Venus melanjutkan, di Puja Mandala orang beragama diharapkan mampu melihat perbedaan sebagai landasan untuk membangun toleransi. “Tempat-tempat ibadah ini berdiri bukan suka-suka pemerintah tetapi ada pesan lain untuk merawat keberagaman di Bali.”
Sementara itu penjaga Masjid Ibnu Batutah Mohammad Ajie mengakui, hal yang biasa bila setiap hari Minggu umat Paroki Nusa Dua pulang gereja dan menyalami umat Muslim yang kebetulan berada di depan masjid. Menjadi hal yang biasa juga bila para wisatawan ke Puja Mandala dan membagikan makanan dan itu disantap oleh karyawan-karyawati yang berada di Puja Mandala.
“Kadangkala kami makan bersama dan bercerita tentang masalah pribadi, keluarga, pekerjaan, bahkan soal politik dan aksi intoleransi di Indonesia. Kami saling mengenal antara satu dengan yang lain. Syukur karena selama ini belum pernah ada konflik karena beda agama di Puja Mandala,” ujar pria asal Yoyakarta ini.
Hal yang menarik juga adalah menjelang Doa Angelus pada jam 18.00, lonceng Gereja selalu berbunyi. Menara lonceng tersebut berada persis di sebelah kiri masjid. Sehabis lonceng gereja, dilanjutkan dengan suara azan magrib.
Kadangkala umat Muslim yang mau salat selalu berpatokan bukan pada suara azan tetapi bunyi lonceng. “Bila sore hari kita bisa mendengar bunyi lonceng dan suara azan itu seperti lagu orang-orang surgawi. Kalau mau sholat, umat Muslim pasti mengikuti bunyi lonceng,” ungkap Ajie.
Awalnya Paroki Nusa Dua adalah salah satu stasi dari Paroki St Fransiskus Xaverius Kuta dan dibentuk sejak tahun 1992.
Semenjak Gereja Maria Bunda Segala Bangsa dibangun tahun 1995 bersama lima tempat ibadah lainnya, aktivitas paroki berpusat di gereja ini. Uskup Denpasar Mgr Silvester Tung Kiem San meningkatkan status dari stasi menjadi paroki definitif pada 16 Oktober 2011.
Yusti H. Wuarmanuk
Comment:perbedaan adalah fitrah Krena perbedaan lah dunia ini terasa indah
# salam damai