HIDUPKATOLIK.com – Panti Titipan Eugene Schmitz ini hadir untuk memelihara anak-anak yang terlantar. Untuk memenuhi kebutuhan sayur mayur, penghuni ramai-ramai mengolah lahan tetangga.
Menurut pendiri sekaligus pemimpin panti, Regina Sura Lolonrian dan Bruder Damianus Watun SVD, pilihan bagi anak-anak ikut mengolah lahan tetangga, bukan tanpa alasan. Anak-anak ini berasal dari keluarga petani. Maka jiwa petani, jiwa kerja ditumbuh kembangkan dalam diri mereka.
“Ada seorang tetangga yang berbaik hati meminjamkan lahan kosongnya. Kami pengelola dan penghuni ramai-ramai membersihkan dan menanam aneka sayur mayur dan buah-buahan. Selain untuk kebutuhan harian, sisanya kami jual untuk kebutuhan sekolah mereka,” ujar Regina Lolonrian saat ditemui di Panti Titipan Eugene Schmitz, Jalan Eugene Schmitz No. 6 Lamahora, Lewoleba, Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT), Selasa, 25/2.
Panti ini berawal dari niat dan panggilan Regina Lolonrian yang ingin menolong anak-anak yang dalam kesusahan: anak-anak yatim piatu, anak-anak dari keluarga yang mengalami tekanan ekonomi, maupun keluarga tidak lengkap atau mengalami gangguan mental. Untuk menolong anak-anak itu, Regina Lolonrian bekerja di Rumah Biara SVD di Bukit. Penghasilannya ia pakai untuk memelihara dan merawat anak-anak tersebut.
Bruder Damianus menceritakan, selama ini ada sejumlah donatur yang berbaik hati membantu panti. Mereka kebanyakan imam asal Lembata yang berkarya di Keuskupan Larantuka maupun di luar NTT, misalnya Jakarta. Selain itu, kalangan awam juga ikut memberi bantuan dengan caranya sendiri-sendiri. “Perhatian dari instansi pemerintah maupun provinsi secara berkala diberikan. Panti tidak punya donatur tetap,” jelas Bruder Damianus.
Bruder kelahiran Lembata ini menambahkan, langkah pengelola mengizinkan penghuni panti mengolah lahan tetangga bukan bermaksud mengeksploitasi tenaga mereka. Namun lebih dari itu, pihaknya menanamkan semangat kerja dan saling mendukung satu sama lain untuk meraih cita-cita. Hampir semua anak panti bersekolah. “Berkebun hanya bagian dari rutinitas usai sekolah. Tugas ini juga dikerjakan bergantian. Aktivitas hariannya sudah terjadwal. Misalnya, bangun pagi, berdoa, belajar, sarapan pagi, kemudian menyiapkan diri pergi sekolah,” lanjut Bruder Damianus.
Menurut Pembina panti, Pius Kulu Beyeng, kebanyakan anak panti berasal dari keluarga petani. Selain diajarkan disiplin dalam belajar dan berdoa, mereka juga diajarkan bagaimana bekerja untuk saling membantu. “Mereka menyiram tanaman di kebun secara bergantian. Kegiatan ini hanya mengisi waktu luang. Paling utama, mereka belajar dan berdoa. Waktu istirahat dan berolahraga sudah diatur. Begitu pula belajar sore disesuaikan dengan sekolah masing-masing,” kata Pius, pensiunan PNS di Lewoleba.
Terpanggil
Kehadiran panti ini bermula dari impian Pastor Eugene Schmitz SVD, Deken Lembata, Keuskupan Larantuka. Pater Schmitz, begitu misionaris asal Amerika Serikat ini disapa, ingin memelihara dan merawat anak-anak yang membutuhkan bantuan. Bantuan itu terutama bagi anak-anak yatim piatu, anak-anak putus sekolah, anak-anak dari keluarga tak mampu, orangtua yang pisah ranjang, bahkan dari orangtua yang terganggu secara mental. Kehadiran panti juga dimaksudkan untuk membantu orang-orang sakit dan anak-anak yang ditinggal pergi orangtua mereka untuk bekerja di luar negeri.
Karena itu, Pater Schmitz membantu Regina dengan memberikan sedikit uang. Regina, kelahiran Buriwutung, 18 Agustus 1970, adalah warga Lembata yang lama menghabiskan waktu bekerja di lingkup Gereja maupun pastoran di Keuskupan Larantuka. Ia, misalnya, pernah bekerja di Susteran CIJ Lewoleba, Susteran CIJ Damian Lewoleba, St Arnoldus Larantuka- Flores Timur, asrama putra Sekolah Teknik Menengah Bina Karya Larantuka, Rumah Biara SVD Bukit Lewoleba.
Pada 8 April 2003, dengan uang seadanya dan bantuan tenaga siswa-siswi serta instruktur STM Bina Karya, pembangunan fisik akhirnya dirampungkan. Rumah permanen sekaligus panti tersebut digunakan sebagai tempat tinggal sekaligus tumpangan bagi anak-anak. Kerinduan merawat dan menampung anak-anak dengan beragam persoalan mulai terwujud.
“Ada puluhan anak dari berbagai usia sekolah dapat ditampung di panti. Jumlah ini belum terhitung keluarga yang datang berobat, juga ibu-ibu yang menunggu kelahiran bayinya di panti ini,” kata Regina. Ia menambahkan, hingga saat ini ada 24 anak berbagai usia sekolah tinggal di panti: tujuh anak usia TK, 10 anak usia SD, lima remaja SMP, dan dua remaja SMA.
Beratap hati
Sejak berdiri, panti ini juga mempunyai mimpi besar. Kemandirian panti sangat ditekankan. Anak yang masuk panti dibawa ke dalam suatu lingkungan hidup yang baru. Menurut Bruder Damianus, di panti semua hal tak disiapkan secara memadai, sehingga anak-anak tidak “tinggal menikmati”. Karena itu, panti ini disebut sebagai panti mandiri. Panti ini ibarat sebuah keluarga. Semua diatur atau diurus oleh bapak, ibu, dan anak-anak. Itulah suasana yang ingin diciptakan. Para penghuni, jelas Bruder Damianus, membersihkan rumah, mencuci baju, memasak, kerja kebun, menata halaman, bahkan memelihara ternak. Tentu saja, semua pekerjaan disesuaikan dengan usia dan kesanggupan anak. “Kami bermimpi melihat panti sebagai rumah yang beratapkan hati. Panti ini ibarat induk ayam yang selalu merentangkan sayap melindungi anak-anaknya,” jelas Bruder Damianus.
Sebagai rumah beratapkan hati, lanjut Pius, panti ini pun menjadi rumah di mana damai sejahtera menjadi hal yang mudah dicari dan didapatkan. Ini juga sejalan dengan kutipan Sabda Allah dalam Injil Matius 25:35. “Karena ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan. Ketika Aku haus, kamu memberikan Aku minum. Ketika Aku seorang asing, kamu memberi aku tumpangan di dalam rumahmu….”.
Karena itu, panti ini juga berkomitmen membuka hati lebar-lebar untuk anak-anak yang kurang mampu, terutama dari desa, yang membutuhkan penginapan. Panti ini juga masih memberikan tumpangan bagi orang-orang yang mencari pengobatan ke dokter atau rumah sakit. Bahkan, ibu-ibu yang hendak melahirkan.
Ansel Deri/Hermien Botoor
HIDUP NO.19, 11 Mei 2014