HIDUPKATOLIK.com – Modernitas membawa tantangan yang tak sedikit bagi Gereja Katolik Rusia.
Umat Katolik di Rusia tetap saja berkembang meski sangat lambat. Di sebuah negara yang modern, tantangan dalam kehidupan masyarakat menjadi amat kompleks. Berikut petikan wawancara dengan Pastor John Seran SVD, misionaris Indonesia yang kini berkarya di Rusia
Adakah sesuatu yang menarik yang Pastor temukan selama menjalani karya misi di Rusia?
Saya bertugas di Paroki Transfigurasi Tuhan di wilayah Siberia. Hal pertama yang menarik ialah kehadiran umat untuk misa Minggu tidak sebanyak di Indonesia. Lima tahun lalu ketika kami baru setahun di sana jumlah Pastor yang merayakan misa itu lebih banyak daripada jumlah umat yang hadir. Padahal saat perayaan Kamis Putih dan Jumat Agung. Kedua, di sana tidak seperti di Indonesia bahwa semua orang harus terlibat untuk menyanyi. Ketiga, mereka sangat menjunjung tinggi Sakramen Pengampunan. Jadi setiap hari Minggu satu jam sebelum Misa mereka meminta untuk mengaku.
Mengapa jumlah umat di sana sangat sedikit?
Di sana Katolik minoritas. Gereja itu dibersihkan sama Pastor dan susternya saja karena tidak ada umat yang datang. Rata-rata untuk semua Paroki di wilayah Rusia itu umatnya sedikit dan anak mudanya juga sedikit. Dulu mereka hidup puluhan tahun tanpa pelayanan sakramen oleh pastor sewaktu komunis berjaya. Nah, karena dipengaruhi oleh iman orang Polandia, walaupun mereka tidak dilayani oleh imam, tetapi mereka tetap mempertahankan iman mereka dan berdoa.
Setelah komunis runtuh dan tahun 90’an itu SVD baru memulai berkarya di sana. Lalu untuk jumlah umat, mereka berkembang perlahan. Gereja Rusia punya masa depan karena di sana hampir setiap hari orang datang mencari tahu tentang agama Katolik karena sebagian besar masih menganggap agama Katolik itu suatu sekte. Memang banyak orang menganggap Gereja Katolik tidak berkembang di sana. Bukan tidak berkembang tetapi berkembang perlahan.
Adakah kesulitan dan tantangan yang Pastor jumpai dalam karya ini?
Tantangan pertama sebelum kita berpastoral adalah cuaca dulu. Cuaca di sana kan sangat dingin kalau musim dingin dan musim dingin itu sangat panjang. Tantangan yang kedua ialah mengenai kehidupan perkawinan karena saya enam tahun di sana belum pernah menikahkan satu orang pun. Mereka hanya jadi “boyfriend and girlfriend”. Jadi ya pacaran sebulan merasa cocok tinggal bersama di satu tempat. Ini adalah tantangan yang paling besar bagi kami. Nah memang dulu ada yang mendaftarkan diri untuk menikah dan saya cerita sedikit tentang hukum perkawinan namun perkawinan Katolik terlalu berat bagi mereka. Kalau tidak bahagia lagi kan bisa cari yang lain dan itu budaya yang ada di Rusia.
Jadi bagaimana Gereja bersikap untuk itu? Mereka sudah tinggal bersama tetapi mau mengaku (dosa) supaya bisa dapat komuni. Sikap Gereja kita tidak bisa toh, usai mengaku setelah itu mereka tetap tinggal bersama. Tantangan ketiga adalah aborsi. Akibat pergaulan bebas aborsi sangat tinggi. Di paroki saya hampir 60% perempuan dewasa sudah pernah melakukan aborsi lebih dari satu kali, aborsi secara hukum disana legal. Sekarang yang menjadi persoalannya itu bahwa setelah melakukan aborsi memang kalau pertama kali melakukan yang tidak merasakan apa-apa tapi kalau sudah dua tiga kali ya mereka sudah kayak orang linglung, depresi.
Apa refleksi Pastor saat ini berkaitan dengan pengalaman-pengalaman yang Pastor jumpai di ladang misi Rusia?
Refleksi pengalaman saya selama berkarya di sana sejauh ini ternyata saya menemukan ada banyak hal yang sebenarnya mau mengajak kita bertahan sebagai seorang imam di mana sebagai pastor kita harus lebih banyak melihat kepada kerahiman Allah. Ketika kita hanya mengandalkan hukum yang berjalan, hukum yang ada maka banyak hidup orang yang tak terselamatkan karena banyak orang yang menginginkan keselamatan tapi mereka tidak mau menempuh cara yang ditunjukkan atau seperti yang ditunjukkan dalam hukum itu.
Felicia Permata Hanggu