HIDUPKATOLIK.com – Saat sidang Hak Asasi Manusia (HAM) II yang diadakan Komisi Nasional (Komnas) HAM, Komnas Perempuan, dan Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada Desember dua tahun lalu, saya berjumpa dengan seorang perempuan jemaat Gereja Pantekosta di Indonesia (GPDI) Rancaekek, Jawa Barat, bernama Kori. Ia memberi kesaksian tentang gerejanya yang dianiaya sejak 2011. Pendeta dan umat diintimidasi, pagar gereja disegel, sarana-sarana di dalam gereja dirusak sampai pada upaya kriminalisasi sang pendeta.
Warga intoleran dan hakim di Pengadilan Negeri Sumedang menggunakan alasan bahwa GPDI Rancaekek belum memiliki surat ijin mendirikan bangunan (IMB) gereja. Pendeta Bernard Maukur memilih dipenjara tiga bulan daripada membayar pidana denda 25 juta rupiah. Gereja tempat beribadah GPDI Rancaekek dikembangkan di bidang tanah tempat tinggal Pendeta Bernard. Gedung memang belum memiliki IMB untuk gereja, karena proses menjadi gereja yang masih evolutif.
Pendeta Bernard dan Kori telah berusaha mengurus IMB, namun terkendala syarat yang ditetapkan melalui Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) No. 9/2006, No. 8/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat. Mereka sudah berhasil mendapatkan dukungan lebih dari 60 warga sejak awal 2012, tetapi tidak berhasil mendapatkan pengesahan dari kepala desa setempat. Sang kepala desa juga tidak setuju dengan keberadaan gereja di wilayahnya.
Kasus GPDI Rancaekek hanya satu contoh kondisi penganiayaan terhadap gereja. Masih banyak kasus serupa dengan pola penganiayaan yang berbeda. Setara Institute mencatat, pada 2012, terdapat 371 kasus pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan, yang diduga dilakukan aparat negara sebanyak 145 kasus dan dilakukan warga negara sipil sejumlah 226 kasus.
Dari total 226 kasus yang dilakukan warga negara, 50 peristiwa dialami Gereja Kristen, aliran keagamaan minoritas sebanyak 42 peristiwa, Syiah mengalami 34 peristiwa, dan Ahmadiyah dengan 31 peristiwa, dan selebihnya dialami individu. Dari keseluruhan peristiwa, Setara Institute mencatat 38 tempat ibadat yang mengalami gangguan dengan rincian: 25 gereja, lima masjid Ahmadiyah, tiga tempat ibadat aliran keagamaan Islam, dua tempat ibadat umat Buddha dan satu tempat ibadat Syiah, serta sebuah tempat ibadat umat Konghucu.
Open Doors International menetapkan Indonesia sebagai negara ke-47 dari 50 negara di dunia dengan tingkat penganiayaan gereja tertinggi di dunia dalam catatan awal 2014. Korea Utara berada di urutan pertama diikuti Somalia dan Suriah. Negara Asia Tenggara lain yang ada dalam daftar ini adalah Vietnam pada urutan ke-18, Myanmar ke-23, Brunei ke-24, dan Malaysia urutan ke-40.
Realitas penganiayaan ini tentu sangat memprihatinkan dan merendahkan martabat bangsa yang telah menyepakati pencantuman hak asasi manusia dalam UUD 1945 hasil amandemen. Ironi, masih ada beberapa peraturan, termasuk Peraturan Menteri Bersama, yang dalam pelaksanaan telah menjadi dasar pembatasan gerak ibadat umat beragama, termasuk Kristen dan Katolik. Proses reformasi politik dan hukum memang masih berjalan. Semoga kelompok-kelompok propluralisme semakin berkembang agar bisa turut menciptakan kebijakan yang adil bagi semua. Bagaimana dengan umat Katolik dalam menghadapi penganiayaan gereja di Indonesia?
Pengalaman saya selama ini, mudah sekali mengajak umat Katolik untuk membantu Gereja Katolik yang dianiaya. Gereja Katolik memiliki jejaring luas dan relatif kuat dari lokal hingga tingkat internasional. Namun, kondisi berbeda dialami Gereja Kristen yang organisasinya kecil, seperti GPID. Permasalahan yang mereka alami serupa dengan yang dialami umat Katolik, namun kekuatan mereka menangani kasus sangat berbeda. Sudahkah kita membangun persaudaraan yang hakiki dan menunjukkan solidaritas dengan sesama umat Kristen lain yang teraniaya?
Sandra Moniaga
HIDUP NO.20, 18 Mei 2014