HIDUPKATOLIK.com – Berkarya mengurus keuangan seminari menjadi salah satu perutusannya. Meski usianya kian renta, semangat merasulnya terus berkobar demi melayani sesama.
Setelah makan malam, puluhan seminaris memenuhi ruangan Ekonom Seminari. “Bruder, simpanan uang saya masih berapa, ya?” celetuk seorang seminaris. Dengan tenang, Bruder Gebhardus Sutter SJ melihat wajah si seminaris dan langsung menyebutkan jumlah nominal uang, tanpa harus melihat buku keuangannya terlebih dulu. Dapat dipastikan, jawaban itu selalu tepat! Bahkan di Seminari Menengah St Petrus Kanisius Mertoyudan, Magelang, Jawa Tengah, Bruder kelahiran Swiss, 7 Juni 1931, ini dikenal punya hafalan yang amat kuat. Tanpa harus menanyakan nama dan nomor keuangan, ia langsung bisa tahu kala ditanya tabungan atau hutang si seminaris.
Para seminaris menitipkan uang saku mereka padanya. Lalu mereka akan mengambil uang saku itu saat akan digunakan untuk memenuhi keperluan sekolah atau pribadi. Dengan setia, Br Sutter akan melayani mereka satu per satu.
Br Sutter bertugas mengurusi keuangan di Seminari Mertoyudan selama 18 tahun (1980-1998). Ketika ia masih berkecimpung dalam pelayanan keuangan di Seminari Mertoyudan, banyak seminaris yang pernah dilayaninya sudah menjadi imam. “Di antara para seminaris dan anak didik sudah banyak yang menjadi romo, bahkan ada yang menjadi uskup,” kenangnya. Nomor keuangan para seminaris itu pun masih lekat dalam ingatannya. Tak heran, ketika berjumpa dengannya, acapkali pertanyaan pertama yang terlontar ialah: “Bruder, nomor keuangan saya berapa?” Kenangan ini seolah terpatri dalam diri para anak didiknya.
Menjadi Bruder
Sutter merupakan sulung dari delapan bersaudara. Dua adik perempuannya mengikuti jejak dalam panggilan hidup selibat sebagai biarawati. Ia berasal dari keluarga terpandang di daerahnya–hamparan wilayah yang subur untuk pertanian dan peternakan. Orangtuanya memiliki lahan pertanian dan peternakan melimpah. Sebagai anak sulung, ia diharapkan bisa mewarisi dan melanjutkan usaha keluarga di bidang pertanian dan peternakan.
Namun, harapan orangtua tak seiring dengan asa yang menggebu di hati si sulung. Panggilan Tuhan terus mengetuk pintu hatinya. Sutter pun memutuskan masuk Serikat Yesus sebagai Bruder pada usia 27 tahun. Ia menjalani masa formasi di Swiss. “Saya ingin diutus ke tanah misi,” ungkap Bruder Sutter. Keinginan itu menjadi impian sekaligus dorongan untuk bergabung dalam korps tentara Kristus sebagai Bruder Yesuit.
Pilihan menjadi bruder itu bukan karena tidak memenuhi syarat menjadi imam. Panggilan sebagai bruder ialah pilihan! Inilah salah satu sarana khas untuk melayani demi kebaikan banyak orang sehingga iman Katolik kian dikenal secara mendalam.
Sebagai Yesuit muda, Br Sutter mengemban perutusan untuk menangani asrama yang berpenghuni sekitar 300 anak. Asrama ini merupakan sebuah kolese yang terletak di perbatasan antara Swiss dan Austria. Naluri sebagai peternak dan petani melekat dalam dirinya. Untuk memenuhi kebutuhan dan kecukupan gizi anak-anak, ia memelihara sapi perah, babi dan ayam. Lahan yang tersedia di kompleks asrama pun dijadikan sebagai lahan pertanian. Lahan itu ditanami jagung, kentang dan sayuran.
Misionaris di Indonesia
Kerinduan untuk merasul ke tanah misi terus bergema dalam dirinya. Br Sutter pun mengajukan surat permohonan pada Pater Provinsial setempat. Bahkan, pengajuan permohonan itu ia buat hingga empat kali.
Pada 1969, keinginannya berkarya ke tanah misi akhirnya dikabulkan. Br Sutter diutus ke Indonesia. Medan kerasulan perdananya ialah Salatiga, Jawa Tengah. Kesulitan bahasa menjadi tantangan awal yang menghadang. Dengan tekun ia terjang kerikil-kerikil kecil itu. Ia belajar Bahasa Indonesia dengan pengantar Bahasa Belanda dari para Pater Yesuit Belanda yang telah meladang di bumi pertiwi, terutama di Jawa Tengah.
Di Salatiga, Br Sutter bekerja di Kursus Pertanian Taman Tani (KPTT). Inilah wadah pembekalan agen-agen muda di bidang pertanian. Kursus ini diikuti kaum muda di sekitar Salatiga hingga luar Jawa. Tujuannya, menyiapkan kaum muda agar mencintai profesi sebagai petani, mampu mandiri dan menggerakkan petani lain di daerah asalnya. Mereka dididik tentang teori dan praktik bertani. Namun selain bertani, mereka juga diajari beternak. Selama 11 tahun, Br Sutter melayani di KPTT (1969-1980).
Selepas dari Salatiga, ia menjalani perutusan di Seminari Mertoyudan. Br Sutter diminta mengurus keuangan para seminaris, baik uang saku, sekolah maupun asrama. Ia melayani sekitar 260-300 seminaris. Ia menghafal satu per satu nama, asal, nomor keuangan, bahkan saldo akhir uang saku titipan seminaris.
Tiap seminaris dibuatkan nomor keuangan dalam satu halaman buku untuk memudahkan pencatatan dan kontrolnya. Cara mencatat keuangan seminaris ini dilakukannya secara manual. Ia memakai buku tulis isi 100 lembar, lalu per lembar ia garisi dengan rapi menjadi beberapa kolom. Kolom-kolom ini digunakan untuk mencatat tanggal, jumlah setoran, peruntukan bayaran, titipan uang saku dan jumlah uang sakunya.
Meski dikenal pendiam, Br Sutter sebenarnya punya selera humor. Suatu saat, seorang seminaris datang ke ruang kerjanya untuk mengambil uang saku dalam jumlah tertentu. Rupanya uang yang ia titipkan tak cukup atau malah sudah habis. “Uang titipanmu sudah tidak ada kok mau mengambil? Itu namanya hutang,” kata Br Sutter. Sembari tersipu, seminaris itu segera mengoreksi permintaannya, “Maaf Bruder, tidak jadi mengambil uang, tapi hutang.”
Selain mengurus keuangan seminaris, Br Sutter melayani kebutuhan alat tulis dan perlengkapan mandi para seminaris. Kesetiaannya tak akan susut sedikit pun kala harus melayani seminaris yang hanya membeli kertas beberapa lembar. Ia juga mengurus kebutuhan asrama, kepegawaian dan perawatan gedung. Bahkan ia sukses beternak babi dan ayam, dan pernah mencoba beternak sapi. Hasil ternak ini dipakai untuk mencukupi kebutuhan gizi para seminaris dan karyawan.
Usai bertugas di Seminari Mertoyudan, Br Sutter berkarya di Seminari Menengah Wacana Bhakti dan SMA Kolese Gonzaga Jakarta (1998-2001). Lalu ia bermisi ke SMA Adi Luhur Nabire, Papua (2001- 2007), dan sejak 2007 hingga kini kembali bertugas di Jakarta. Selama di Papua, ia berjibaku mengelola SMA dan asrama. Sementara di Jakarta, ia dipercaya menangani keuangan seperti di Mertoyudan.
Pilihan Hidup
Br Sutter menghayati kaul religius sebagai pilihan hidup yang ikhlas dan tulus. Baginya, kaul bukan semata-mata pemenuhan aturan. “Hidup menghayati kaul itu pilihan bebas, tanpa paksaan siapapun. Menghayati kaul kemurnian bukanlah demi peraturan, juga bukan karena ada larangan untuk tidak menikah. Tapi sesungguhnya, dengan penuh kesadaran akan cinta pada Yesus, maka memilih hidup murni dan tidak menikah,” ungkapnya.
Selain setia menghayati pilihan, keteraturan pun mewarnai hidup pribadinya, pola makan, kerja dan doa. Tiap pagi ia tak pernah terlambat doa di kapel. Sebelum dan sesudah makan, ia selalu berdoa di kapel. Mengakhiri hari sebelum istirahat, ia pun berdoa di kapel. Keteraturan ini menjadi resep rahasia hidup sehat yang dibagikan pada seminaris dan koleganya. Keteraturan ini pun ia rasakan sebagai sumber kekuatan hidup dan karyanya. Baginya, dalam keteraturan ditemukan keakraban dengan Allah yang menyelenggarakan hidupnya sebagai Bruder Yesuit.
Br Sutter merasa, peziarahan panggilannya ialah proses pencarian terus menerus. “Saya tidak mencari posisi dan kedudukan terpandang. Saya hanya mencari keakraban dengan Tuhan Yesus,” tandasnya. Keakraban itulah yang membuatnya memilih untuk meninggalkan hak waris atas tanah; dan siap sedia meladang di manapun provinsial mengutusnya.
Br. Y. P. Sunari SJ
HIDUP NO.20, 18 Mei 2014