HIDUPKATOLIK.com – Saya punya masalah dengan istri. Kami sering bertengkar karena kecemburuan istri yang berlebihan. Saya merasa terkekang dengan rasa cemburu ini. Istri saya cemburu terhadap masa lalu saya. Kecemburuaan ini membuat saya selalu berusaha menjaga jarak dengan klien saya yang wanita, hingga berdampak buruk ke pekerjaan. Istri saya juga suka mengungkit segala hal, baik itu secara materi ataupun emosional. Saya merasa putus asa. Saya sudah curhat kepada orang terdekat dari keluarga saya, juga keluarga istri. Dari mereka saya tidak mendapat solusi. Tiap malam saya berdoa supaya istri saya berubah. Saya benar-benar merasa sedih. Apakah saya salah memilih pendamping hidup? Mohon pencerahannya, apa yang harus saya lakukan untuk membuka pikiran istri saya?
Eko, Jakarta
Pak Eko yang sedang merasa bingung dan putus-asa, … Saya bisa merasakan bagaimana perasaan Bapak menghadapi istri yang belum bisa menerima dan memahami tentang diri Anda yang mencintai sepenuh hati dan mau menerima kekurangan/kelebihan istri, sehingga bapak menjadi jengkel. Apalagi bapak sudah berusaha sedemikian rupa, namun istri tidak kunjung berubah.
Saya mengucapkan terima kasih, Bapak telah berkenan untuk menyampaikan permasalahan ini ke Rubrik Konsultasi Keluarga Majalah HIDUP. Harapan saya, dengan keluhan bapak ini, istri bisa ikut membaca. Dan, Semoga jawaban atas kasus ini dapat memberikan masukan Bapak, juga istri.
Membangun rumah tangga, pada dasarnya adalah menyatukan dua kepribadian yang berbeda. Di samping itu, juga menyatukan pendidikan, pengalaman hidup, latar belakang pola asuh orangtua, status ekonomi, maupun latar belakang budaya, dan lain-lain. Pasangan yang tidak jauh berbeda, mudah untuk menyatukan. Namun, bila sangat jauh berbeda, sangat sulit untuk menyatukan; dan tentunya banyak kendala yang harus dihadapi selama berumah tangga.
Dengan adanya perbedaan tersebut, apakah berarti pasangan tidak bisa disatukan? Bisa disatukan!! Namun, tentunya tergantung bagaimana masing-masing bisa atau tidak untuk saling memahami perbedaan tersebut, saling menghormati dan menghargai. Di samping itu, sejauh mana usaha masing-masing untuk menyesuaikan diri dalam beragam perbedaan tersebut. Tentunya, butuh proses. Ada yang mampu dengan cepat, namun ada yang membutuhkan waktu yang sangat lama, bahkan terus berproses seumur hidup. Alat yang terpenting dalam menyatukan adalah komunikasi berlandaskan saling keterbukaan antara suami dan istri.
Komunikasi yang dimaksudkan tidak hanya soal bicara, namun juga bahasa tubuh atau perilaku: verbal maupun non-verbal. Jadi, apa yang diucapkan juga terlihat dalam perilaku yang dinampakkan. Misal, bila suami-istri saling mencintai dan menyayangi,selain mengucapkan cinta dan kasih sayang, tentunya juga menampakkan perilaku yang mewujudkan cinta dan kasih sayang tersebut seperti merawat pada waktu pasangan sakit, saling memberi hadiah pada waktu pasangan ulang tahun, dsb. Bila komunikasi tersebut tidak berjalan dengan baik, tentu akan terjadi pertengkaran, dan ujung-ujungnya bisa terjadi perceraian.
Mencermati permasalahan Bapak, saya percaya Bapak telah melakukan komunikasi dengan istri, secara verbal dan non-verbal.
Namun, pertanyaannya: apakah perkataan yang disampaikan kepada istri juga diwujudkan dalam perilaku Bapak? Kalau memang sudah dilakukan, namun ternyata istri belum bisa menerima, pasti ada komunikasi yang salah. Oleh karena itu, kita harus melihat dari sudut pandang istri untuk menemukan kesalahan berkomunikasi tersebut. Untuk itu, saya sarankan, Bapak bersama istri mendatangi psikolog perkawinan. Kalau ternyata istri Bapak tidak kooperatif untuk diajak ke psikolog perkawinan demi keutuhan rumah tangga, berarti kesalahan tidak pada diri Bapak. Dengan demikian, Bapak fokus saja dengan pekerjaan Bapak, tidak usah terlalu mempedulikan istri. Yang terpenting, Bapak sudah berbuat baik untuk keluarga dan Tuhan.
Haryo Goeritno
HIDUP NO.20, 8 Mei 2014